“Kita
tidak boleh dan tidak bisa memaksa orang lain untuk ke lapangan, sama seperti
apa yang kita lakukan. Masing-masing orang punya jalan sendiri untuk berkebaikan.”
Itu adalah jawaban yang dilontarkan Butet Manurung kepada saya, pada saat saya dan volunteer
Sekolah Rakyat KAMI yang lain, berkesempatan berdiskusi khusus dengannya di
acara Makassar International Writers
Festival, 2011 silam.
Kita
tidak boleh menentukan pilihan orang lain, apalagi menuntut mereka mengikuti jalan
yang kita pilih. “Ingat!”, masih lanjut Butet, “kita ini relawan. Manusia yang
bergerak berlandaskan kerelaan, bukan paksaan.”
Dari
penjelasan Butet, saya dan mungkin Anda yang membaca tulisan ini, kembali
diingatkan bahwa dalam melakukan gerakan sosial, kita tidak boleh merasa
‘paling’ dari yang lain. Seolah dengan kita menjadi relawan, kegiatan positif
orang lain menjadi ‘cemen’ dan ‘debu-debu’. Merasa paling baik dan merasa lebih
pahlawan dibanding orang lain.
***
Tentang
gerakan sosial, dalam beberapa literatur yang pernah saya baca, gerakan sosial
adalah gerakan yang memberdayakan. Orientasinya adalah suatu kelompok
masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana dengan gerakan-gerakan ‘kecil’ individu? Apakah
tidak dihitung sebagai gerakan sosial?
Untuk
menjawab pertanyaan itu, sejenak izinkan saya bercerita perihal kegiatan
seorang perempuan yang beberapa bulan ini saya panggil ‘Ibu’. Dia adalah
perempuan yang lebih dari separuh usianya dihabiskan mengabdi sebagai pendidik.
Meski bergaji tetap, dia selalu punya usaha sampingan. Salah satunya warung di
depan rumah.
Kalau
ditanya, kenapa ibu masih harus repot-repot buka warung, sementara gaji sudah
mencukupi? “Agar lebih banyak orang yang bisa dibantu”, jawabnya.
Di
rumah, ibu tidak hanya merawat dan membesarkan empat anak kandungnya. Dia sanggup
memenuhi kebutuhan hidup keluarga lain yang sudah yatim dan atau piatu, atau
keluarga lain yang hendak menitipkan anaknya karena alasan lainnya di rumah.
Perihal
banyaknya anak yang dirawat ibu, saban Ahad saya mengantarnya ke pasar, dia pernah
bercerita bahwa sewaktu di rumah masih banyak orang, dia selalu ke pasar
membeli banyak ikan untuk persediaan sepekan. “Sekarang, saya hanya perlu
membeli seperlunya”, kata ibu. Beberapa dari anak yatim yang dirawatnya, kini
sudah berkeluarga dan menetap di rumah yang berbeda.
Tidak
hanya di rumah, di sekolah tempatnya mengajar, ibu juga membuka warung
kecil-kecilan. Dia menjajakan makanan ringan kepada para siswa setiap jam
istirahat. Keuntungan jualan itu tidak untuk masuk di kantong pribadinya, tapi
dibagi kepada siswanya yang tidak membawa uang jajan ke sekolah. “Saya tidak
akan sanggup melihat ada anak yang datang ke sekolah dan hanya bisa bengong
melihat temannya menikmati jajan saat jam istirahat”, jelas ibu.
Masih
perihal kebaikan ibu, pagi di hari yang sama saat saya menulis naskah tulisan
ini, saya memakai helm baru berangkat ke tempat kerja. Itu artinya, helm lama
saya akan ikut menumpuk di rak helm bersama helm-helm yang lain. Kata ibu,
“tidak usah dibuang. Nanti kalau ada tamu yang datang dan tidak pakai helm,
dikasih saja helm itu. Siapa yang tidak punya helm, itu yang dikasih.”
Sepulang
dari kerja, ibu menyuguhi saya es buah pemberian temannya. Karena ibu suka
memberi, maka mudah saja orang-orang juga memberi kepada ibu.
Setelah
segelas berhasil saya habiskan, perut saya terasa penuh. Namun es buah tersebut
masih tersisa, jadi saya hendak masukkannya di kulkas. Tapi niat itu tertahan,
karena kata Ibu, lebih baik dibagikan kepada nenek di sebelah. Daripada besok
sudah rusak es buahnya, ada baiknya dimakan nenek.
Semoga
Anda tidak bosan membaca kebaikan ibu yang masih akan saya tuliskan─karena saat
ini kebaikan tidak semenarik fitnah, konflik dan pergunjingan untuk dinikmati
sebagai berita.
Sehari
sebelum kejadian helm-helman dan es buah itu, di pagi hari, seorang perempuan
datang bersama cucunya yang sedang menangis dalam gendongan. Mereka datang
mencari ibu untuk meminta tolong agar cucunya diobati. Di sekitar kompleks,
semua tahu bahwa ibu punya kelebihan dalam memijat anak bayi yang sakit.
Berlanjut
di siang harinya, ibu mendapat panggilan ke rumah tetangga untuk mengobati anak
yang lumpuh. Di tengah jalan pulang, ibu dihadang teman-temannya. Kata mereka,
ibu tak perlu membantu keluarga itu karena sering berlaku tidak baik kepada
ibu. Jawab ibu, “Selama ada yang meminta tolong dan saya sanggup menolong, saya
akan menolongnya. Persoalan dia pernah berbuat buruk kepada saya, biarkan itu
jadi urusan Tuhan”.
Ibarat
pohon mangga, ibu membalas lemparan batu dengan buah. Kita membalas keburukan
orang lain dengan kebaikan, demikian prinsip ibu. Pesan di dalam al Quran
menganjurkan kita untuk memaafkan. Ibu menjalankannya sebagai seorang muslim.
Ibu memilih memaafkan, lalu membalasnya dengan kebaikan.
***
Ibu
adalah perempuan yang kasihnya mencukupkan. Tidak massif perjuangannya, pun tidak
‘sehebat’ para aktivis sosial, tapi konsistensi kebaikan ‘kecil’-nya, adalah
teladan dalam beribadah sosial. Bersepakat dengan Butet Manurung, “Kita tidak
boleh dan tidak bisa memaksa orang lain berkebaikan seperti apa yang kita
lakukan. Masing-masing orang punya cara sendiri untuk melakukan aktivitas
sosialnya.”
Kepada
ibu, terima kasih sudah mengalirkan begitu banyak kebaikan. Negeri ini butuh
banyak perempuan sepertimu, yang melihat kebahagiaan dari seberapa konsisten
kita mampu berbuat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar