Beberapa
waktu lalu, saya iseng bertanya kepada seorang teman, “kamu mau punya anak
berapa nanti?”. Dengan yakin dan sedikit pongah dia menjawab, “sepuluh”. Terkaget-kaget
dibuatnya, saya langung menyusulkan pertanyaan lanjutan, “kok banyak sekali?
Kamu yakin bisa menghidupi semuanya dengan baik? Kamu yakin bisa mendidik
semuanya secara maksimal?”
“Ya,
biar nanti kalau sudah tua, tidak sepi. Coba bayangkan kalau kita sudah menua,
dan satu per satu anak-anak sudah pergi? Kalau banyak anak, misalnya yang tua
pergi, yang muda kan masih ada. Kan ‘persediaan’ anaknya banyak”, jawab si
teman tadi, coba menjelaskan kepada saya. Dia lalu melanjutkan, “soal bisa atau
tidaknya menghidupi, saya yakin Allah memberi rezeki kepada masing-masing anak.
Sementara soal mendidik, yah yang penting mereka semua tidak ada yang nakal.
Kan cukup”.
Waktu
itu, saya hanya bisa diam sembari memendam berbagai pertanyaan dalam benak.
Meski kurang setuju dengan jawabannya, percuma juga berdebat. Dalam hal ini,
saya sadar bahwa saya tidak berkapasitas mengguruinya atau bahkan sekedar
meluruskan pemahamannya. Bisa saja, jauh dari sadar, sayalah yang justru tidak
memahami benar bagaimana cara menjaga dan mendidik amanat-Nya.
***
Beberapa
hari menghabiskan waktu di suatu desa yang jauh dari keramaian membuat saya
menemukan sedikit jawaban baru. Di desa itu, jaringan telepon boleh dikata
tidak ada. Hanya ada satu jenis provider yang bisa masuk di desa itu, dan itu
pun untuk menggunakannya, kami harus menggantung HP di pintu jendela. Sedikit
saja posisi HP berubah, atau pintu jendela goyang, jaringan bisa langsung
hilang. Saya tidak bisa lupa saat saya menerima telepon dari suami sambil
menempelkan telinga di papan pintu jendela.
Saya
menetap beberapa hari di sebuah rumah yang merupakan bagian dari wilayah pondok
pesantren. Selain sekolah-sekolah agama yang berjenjang, pondok pesantren ini
juga memiliki satu lembaga sosial untuk merawat anak yatim dan atau piatu.
Kelas-kelas mereka masih terbuat dari papan-papan yang bersusun. Atap asrama
para santri, termasuk atap rumah pimpinan pondok pesantren, tersusun dari
anyaman daun rumpia. Mushallahnya berlantai campuran semen seadanya, dengan
ditutupi karpet plastik yang disusun berjajar mengikuti bentuk saf shalat─sebagian
lantai dibiarkan tanpa karpet, ayam atau kucing silih bergantian masuk untuk
buang hajat di sana, membuat santri secara bergantian mengepel bekas kotoran
hewan-hewan ini.
Sumber : Dokumentasi Pribadi/ Suasana Pesantren |
Ada
hal menarik yang saya pelajari dari kehidupan orang-orang di desa tersebut, khususnya
di lokasi pesantren tempat saya tinggal. Setelah shalat Subuh, anak-anak santri
mengaji secara bergantian di mesjid, sampai matahari muncul. Hal ini membuat
saya kagum. Berusaha menahan kantuk, anak-anak itu menghabiskan surah-surah
yang harus mereka baca, ditemani para guru ngaji masing-masing. Namun ada yang
menganggu saya. Saat sore hari tiba, anak-anak yang sama saya dapati
duduk-duduk termenung di bawah pohon. Tanpa kegiatan produktif. Bahkan anak
tertua pimpinan pondok, di suatu siang, termenung dan sesekali terkantuk-kantuk
kebingungan hendak melakukan apa di bawah pohon depan rumahnya.
Hampir
tidak ada alternatif lain untuk berkegiatan. Tidak banyak buku yang tersedia di
sana. Ada beberapa kitab yang diletakkan di rak-rak mushallah, dan sayangnya
tidak menarik untuk dibaca anak-anak tersebut untuk sekedar menjadi teman duduk
di sore hari.
Jujur
saja, pada masa sekarang-sekarang ini, saya kerap menyesali diri yang di masa
muda kehilangan banyak kesempatan untuk belajar banyak. Buku-buku yang minim,
dan tanpa bimbingan dari lingkungan terdekat yang mendukung suasana belajar
saya di masa kecil. Orang tua saya, dengan segala pemuliaan kepada keduanya,
terbatas dalam hal menciptakan lingkungan yang dapat membuat saya mencintai
kegiatan membaca.
Dan
demikianlah, mengapa saya cukup terganggu dengan santri-santri itu. Ingin
sekali membawakan mereka buku-buku bacaan dan mendekatkan mereka dengan
kegiatan membaca. Agar mereka tumbuh, tidak sekedar hebat dalam hablumminallah, tapi juga dalam hablumminannas. Mengutip tulisan Andi
Zulkarnain, kita butuh agamawan yang intelek, juga intelektual yang beragama.
Ingin sekali, melihat anak-anak santri itu tumbuh sebagai pecinta Al-Quran
sekaligus orang-orang cerdas yang menjadi cahaya di masyarakat suatu saat
nanti. Entah menjadi ilmuwan, aktivis sosial, pendidik, atau apa pun profesi
yang akan mereka geluti yang mampu memberi manfaat bagi banyak orang.
Kepada
teman saya, yang ingin memiliki anak sepuluh, generasi seperti apa yang ingin
dia hadirkan di dunia ini? Generasi seperti apa yang dia maksud dengan “yang
penting tidak nakal?” Apakah generasi yang lahir di dunia, makan, minum,
bekerja, menikah, beranak lalu mati? Generasi yang numpang lewat di dunia, di
mana ada atau tidaknya dia tidak memberi sumbangsih apa-apa bagi kehidupan?
Ataukah generasi yang dirindukan umat, yang bercahaya dalam akhlak dan menjadi
pembawa berbagai kebaikan di masyarakatnya? Generasi yang hidupnya menambah
kebaikan dan kematiannya membuat setiap orang yang mengenalnya bersedih karena
kehilangan sosok pejuang?
Ibrahim
Amini, dalam bukunya “Asupan Ilahi : Agar Tak Salah Dalam Mendidik Amanat-Nya”,
menulis bahwa setiap manusia berpotensi memiliki tiga jenis maujud dalam
dirinya. Pertama wujud materi yang menyebabkannya memiliki bentuk, warna, dan
pada akhirnya dapat bertumbuh. Wujud materi yang dimiliki manusia ini sama
seperti yang dimiliki tumbuhan. Kedua adalah wujud hewani. Wujud ini berupa
hawa nafsu, marah, bahkan kehendak untuk makan dan tidur. Semua wujud kedua ini
dimiliki oleh hewan. Oleh karena itu, jika manusia hanya hidup untuk makan,
minum, tidur, bekerja, memuaskan nafsu dan berketurunan, menurut Ibrahim Amini,
dia sama saja dengan hewan. Pembeda antara manusia dengan tumbuhan dan hewan
kemudian ada pada wujud ketiga. Wujud ini bersifat non-materi, dia adalah akal,
kalbu, hati, dan atau jiwa. Wujud inilah yang menyebabkan manusia mampu
mengaktualkan kemanusiaannya.
***
Jadi,
masihkah ingin melahirkan generasi “yang penting tidak nakal”? Ataukah generasi
yang mulia dalam pengetahuan, perbuatan, dan kebaikan sekaligus?
Ini
bukan tentang kita tidak percaya pada ke-Maha Kaya-an Tuhan sebab kita yakin
Dia selalu mencukupkan, bahkan jika pun anak-anak itu berjumlah lebih dari
sepuluh. Tapi ini tentang kemampuan mendidik dengan sebaik-baiknya. Manakah
yang lebih baik, satu mutiara atau sepuluh batu? Tapi tentu saja, melahirkan
generasi mutiara tidaklah mudah, tidak semudah mendatangkan jawaban “sepuluh”
dari pertanyaan, “kamu mau punya anak berapa nanti”?
Suatu
desa di Sulawesi Barat,
Desember
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar