Rampunglah
sudah setengah semester membersamai dua kelas yang saya dampingi di semester
ini di tempat saya mengajar. Itu artinya, tibalah waktunya saya mengevaluasi
diri. Masih banyak yang perlu diperbaharui. Masih banyak ilmu akuntansi madya yang
belum kami pahami. Masih ada mahasiswa saya yang terlambat masuk kelas, meski
jumlahnya kini bisa dihitung jari. Masih ada juga mahasiswa yang diam-diam
mengeluarkan HP dari tasnya, entah untuk membalas pesan, atau sekedar
menjadikan layar HP-nya sebagai cermin. Masih ada juga yang belum belajar
sebelum presentasi. Banyak lagi hal yang masih kurang.
Tapi beriring
dengan itu, ada banyak kejadian membahagiakan di kelas. Ada banyak perubahan.
Ada banyak kemauan untuk memperbaharui diri.
Sumber : Dokumentasi Pribadi/Suasana Saat Presentasi |
Dengan
segala keterbatasan kami di kelas, saya selalu percaya, metode terbaik dalam
belajar bukan dengan menakut-nakuti atau menekan peserta didik. Biarkan mereka
belajar mencintai apa yang akan dipelajari. Tugas seorang pendamping kelas
(dosen) hanya memantik rasa cinta itu.
Duh
duh duh... hari ini di kelas, ada seorang mahasiswa yang menangis menceritakan
pengalamannya. Jadi, hari Ahad lalu, saya mengisi kelas pelatihan mahasiswa
baru, dan materi yang saya bawakan adalah membangun budaya literasi. Saya tidak
tahu, seberapa jauh materi itu berbekas di kepala mereka. Sampai kemudian, Mae,
salah satu peserta pelatihan itu yang juga menjadi peserta di mata kuliah saya
bercerita pada teman-temannya pagi ini. Tentang dirinya yang tersadar
menyia-nyiakan banyak waktu untuk tidak belajar. Tentang dirinya yang lebih
banyak baca status di media sosial ketimbang baca buku akuntansi. Dan, dia
bercerita sambil menangis. Saya terharu luar biasa.
Terharu
saya bukan karena diri saya, tapi karena kemauan Mae untuk menyadari dirinya
dan mau berbenah diri. Saya percaya, setiap anak punya potensi untuk berkembang
dan bertumbuh. Sebagai guru atau dosen, kita hanya perlu mendampingi mereka.
Mengingatkan potensi yang mereka punya.
Tentu
saja tidak selalu mulus. Saat ada-ada saja hal buruk yang saya temui di kelas,
seperti penampilan presentasi yang membuat peserta kelas tidak mengerti apa-apa
yang mereka jelaskan. Saya hanya bisa meminta mereka duduk, dan meminta peserta
kelas bertepuk tangan. Apa yang perlu ditepuktangani? Toh mereka boleh dianggap
gagal mempresentasikan materi? Tapi tidak, usaha mereka, sekecil apa pun itu,
kita menghargainya. Tentu saja sembari mengingatkan kepada presenter
selanjutnya agar menutupi kekurangan yang ada pada pertemuan pekan depan.
Pendidikan
itu membebaskan kan? Pendidikan itu memanusiakan manusia kan? Jadi kenapa harus
membuat mereka merasa ‘bodoh’?
Tidak
kurang rasa bahagia saya saat membaca tulisan salah satu mahasiswa yang
menangkap tindakan yang saya pilih itu sebagai bagian dari cinta untuk mereka.
Ini tulisan Eka :
“... Kemudian manfaat lainnya adalah sikap menghargai, proses yang selama ini dikerjakan, dari kita mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Jika itu tidak dihargai kita pasti akan merasa kecewa, meskipun saya banyak kekurangan dan masih banyak kesalahan, tapi Ibu Andis selalu menerima itu dengan senyuman dan menghargai hasil dari mahasiswanya...”
Terima
kasih Mae. Terima kasih Eka. Terima kasih semua. Saya bahagia jadi pendamping
kelas kalian. Pendamping mahasiswa yang mau belajar lagi dan lagi. Saya tahu
kalian membaca ini. Dan waktu dua setengah jam tidak cukup untuk menyampaikan
hal-hal seperti ini di kelas. Sebab itu catatan ini ditulis.
Kalian
hebat. Kalian juara. Tidak perlu rendah diri dengan melihat ‘kehebatan’ orang lain.
Kita hanya perlu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Selalu
belajar ya.
Penuh
cinta,
teman kalian : Andis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar