Tanggal
tiga kala itu, setelah kita terikat lewat akad yang sah, kamu melangkah menuju
ruangan tempatku duduk diam dengan perasaan, yang andai kamu tahu, tidak mampu terlukis
sempurna dengan kata-kata apa pun itu. Terdengar lirih suaramu mengucap salam
dari arah pintu ruangan tempatku ‘disimpan’ saat prosesi akad, saya pun
tertunduk penuh khusyuk. Dadaku gemuruh. Bibirku bisu. Menyadari bahwa kau
melangkah mendekatiku di tanggal itu, sebagai seorang lelaki yang kini
statusnya sempurna berubah bagiku, membuat perasaan dan pikiranku semakin tak
karuan.
Masih
terekam jelas di ingatan, untuk pertama kalinya, kamu duduk di hadapanku sebagai
seorang laki-laki yang telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Di dalam
rumah Tuhan, ditemani kakak lelaki ibumu, kita dinikahbatinkan setelah prosesi
akad. Kata pamanmu, agar di mana pun kita berada, kita akan tetap menjadi
sepasang suami istri lahir batin. Meski pilihan-pilihan hidup membawa raga kita
dalam kondisi yang terpisah, hati kita akan selalu merasakan dan meresapi diri
sebagai sepasang kekasih. Seolah tahu bahwa kita akan menghadapi hari-hari yang
panjang tanpa hidup berdampingan. Ataukah memang nikah batin itu disiapkan pamanmu
untuk melewati hari-hari panjang seperti sekarang ini?
Dipandu
pamanmu, jemarimu menyentuh ubun-ubunku, mataku, hidungku, bibirku, leherku,
dan terakhir dadaku. Sebelum pernikahan, beberapa kali saya sempat bertanya
pada orang-orang tentang apa makna di balik sentuhan laki-laki pada bagian
tertentu tubuh perempuan saat setelah akad seperti yang kamu lakukan saat itu.
Jawaban yang saya dapat adalah sentuhan-sentuhan itu punya makna filosofis bagi
sepasang pengantin yang akan hidup bersama. Sentuhan di ubun-ubun agar pikiran
kita selalu sejalan dalam melewati jalan panjang kehidupan rumah tangga kita,
mata agar mataku selalu indah melihat dirimu dan sebaliknya, hidung agar saya
peka mencium aroma tubuhmu dan sebaliknya, bibir agar saya selalu mengeluarkan
kata-kata yang baik sebagai seorang istri dan kamu mampu menjaga dan membantuku
untuk itu dan demikian pun sebaliknya, leher agar segala asupan yang
melewatinya adalah yang halal lagi baik, dan dada agar hati kita senantiasa
tertaut.
Setelah
ritual nikah batin itu, tidak pernah kubayangkan, kamu, di hadapan orang-orang,
menyerahkan mahar dengan kalimat-kalimat yang makin membuatku tidak karuan saja.
Seperangkat perhiasan, sebagai lambang dari keindahan, kamu serahkan beriring
kalimat, “kuserahkan mahar ini kepadamu, seperti apa yang kamu inginkan,
sebagai tanda rasa kasih dan sayangku kepadamu karena Allah”. Bagaimana bisa
kugambarkan diri dan perasaanku saat itu? Saya yang mengaku mencintai buku-buku
ini, mencintai kegiatan tulis-menulis, jangankan mampu mengeluarkan kalimat
indah untuk membalas kalimatmu, bahkan saya kehilangan daya untuk sekedar
mengatakan terima kasih. Semua orang diam menunggu jawabanku, tapi tidak
kunjung juga pita suaraku bekerja. Habis kataku dibuatmu, dan itu berlanjut
hingga sekarang (tiap kali kamu merajuk dan atau memuji, seringkali saya hanya
diam di depanmu, saya sebenarnya terlebih sering kehabisan kata saat berhadapan
denganmu). Karena tidak kunjung bersuara, pamanmu akhirnya memecah keheningan
dengan menyuruhmu meletakkan mahar dengan wadah berbentuk hati merah itu di
tanganku. Kuterima, dan kamu membukanya. Kamu mengambil cincin yang tertanam di
dalamnya. Setelah memasangkan cincin itu di jari manisku, masih dipandu
pamanmu, kamu mengecupku─kecupan pertamamu sebagai seorang suami. Tiba-tiba
seorang perempuan, yang di kemudian hari kutahu sebagai seseorang yang kamu
hormati di tempatmu bekerja, mengambil ibu jariku dan ibu jarimu, lantas
mempertemukannya. Kuat dan erat, ibu jari kita dipertemukan dan digenggamnya. Sebuah
ritual yang bermakna agar pernikahan kita terjalin dalam ikatan yang satu dan kokoh.
Lepas itu, selesailah prosesi sakral yang terekam dengan jelas itu. Tidak ada
satu prosesi pun yang terlupa olehku yang sebenarnya pelupa akut ini.
Kemudian
ingatan membawaku pada saat kita akhirnya tiba di pelaminan. Duduk bersandingan
bersama kakakku dan istrinya, kita menerima tamu-tamu yang turut berbahagia dan
berdoa untuk kebahagiaan kita. Sungguh saya kaku dan kikuk bahkan setelah
prosesi sakral itu telah usai. Di tengah-tengah salam dan senyuman saat
menjabat para tamu undangan, kamu berbisik, “uhibbukifillah” (saya mencintaimu karena Allah). Dengan suara pelan yang semoga kamu mendengarnya, kujawab kamu dengan
“wa aydhan” (dan saya juga).
***
Empat
bulan sudah setelah dirimu berbalas ijab
qabul dengan ayahku. Pada akhirnya, kita bertemu dengan hal-hal yang kurang
menyenangkan dari diri masing-masing.
Ada
masa saat saya merasa kamu tidak memahamiku. Pula barangkali, ada masa saat
kamu berpikir bahwa saya hanya hidup dengan cara pandang sendiri.
Ada
masa saat saya merasa seharusnya kita tidak boleh menulis selembar pun catatan
pernikahan kita dengan perpisahan dan lantas saya menyalahkanmu atas perpisahan
kita, padahal saya tahu bahwa saya telah memilih dan menerimamu secara sadar,
beserta pilihan-pilihan hidupmu. Pula barangkali, ada masa ketika kamu merasa
saya tidak hadir sebagai pendukungmu di saat kamu justru membutuhkan dukungan.
Ada
masa ketika saya merasa hanya remah-remah di matamu. Pula barangkali, ada masa
ketika kamu merasa saya terlalu banyak menuntutmu.
Ada
masa ketika saya mengetahui cerita tentang suami teman saya yang dengan rela
hati mencuci piringnya sendiri dan menyediakan teh hangat untuk istrinya pada
pagi hari tanpa diminta, dan saya cemburu. Pula barangkali, ada masa ketika
kamu melihat istri temanmu yang pandai dan cekatan di dapur, dan kamu
menemukanku terbata-bata belajar menemukan cara memasak yang baik di rumah,
lantas kamu pun cemburu.
Ada
masa, yang kita tahu, hanya dalam masa empat bulan saja, cacat-cacat diri kita
mulai bermunculan. Tanpa kita inginkan sekali pun.
Tapi
beriring dengan itu pula, ada masa ketika kamu terlelap dan saya, seperti
biasa, bangun di penghujung malam untuk berdoa pada Tuhan setelah penuh haru
terbangun sebagai seorang perempuan beruntung bersuamikan dirimu. Pula ada masa
saat di suatu sore saya menunggumu sambil ketiduran di mushallah tempatku
mengajar, agak lama karena kamu masih ada kerjaan di tempatmu mengajar, lalu di
sore yang gerah itu, kamu tiba-tiba berkata, “saya beruntung memilikimu”.
Ada
masa ketika saya melihat seorang teman lelaki yang kurang peka dan kurang baik
dalam memuliakan teman-temannya yang lain, lantas saya begitu bersyukur
bersuamikan lelaki yang selalu ingin berkata “iya” saat temannya butuh bantuan
dan peka dengan hal-hal yang kadang tidak terpikirkan oleh lelaki pada umumnya.
Pula ada masa saat kita berbelanja di sebuah mini market dan kamu berkata,
“saya harus rajin mengingatkan diri sendiri agar tidak lapar mata. Sepertinya
saya yang harus menjaga diri saat berbelanja, bukan malah istriku”.
Ada
masa ketika saya begitu merasa beruntung hidup dengan seseorang yang mau
membaca apa saja dan belajar dari siapa saja. Pula barangkali, ada masa ketika
kamu berbahagia tidak perlu membeli buku semacam tetralogi buruh Pramoedya
Ananta Toer, karena istrimu ini, jauh hari sebelum kamu ingin menghadiakannya kepadaku,
sudah mengoleksinya terlebih dahulu.
Ada
masa ketika saya merasa beruntung bersuamikan seseorang yang perutnya tidak
pilih-pilih soal makanan, dan mau menyantap apa saja yang disediakan di meja
makan. Pula barangkali, ada masa ketika kamu sedikit bahagia, saat tahu bahwa
ada perempuan yang merapikan barang-barangmu yang berantakan di lemari hingga
kudengar kalimatmu, “begini ya kalau sudah punya istri, barang-barang jadi
rapi”.
Ada
masa ketika saya terpesona saat suatu ketika kita shalat bersama, lalu kamu
berbalik menghadapku, dan kamu mengajakku berdoa bersama, yang isinya tentang
harapan agar pernikahan kita menjadi berkah bagi semesta. Betapa harunya saya
mendengar kalimat-kalimat doamu. Pula barangkali, ada kebahagiaan di balik
senyummu saat di suatu Jumat pagi kuminta kamu membaca Al Kahfi
berganti-gantian denganku, kamu selembar pertama, saya lembar berikutnya, dan
seterusnya.
Ada
masa-masa ketika kita berdua saling bersyukur memiliki satu sama lain. Merasa
istimewa dan beruntung sebab saling dipilih dan memilih, dipertemukan oleh
Tuhan dalam ikatan suci pernikahan.
Tapi
terkadang, kesedihan, kemarahan, kejengkelan, ketidaksyukuran, membuat kita
lupa pada keberuntungan-keberuntungan yang membahagiakan itu. Kita ini memang
masih begitu kurang bersyukurnya. Padahal Tuhan telah banyak memberi
kebahagiaan lewat dirimu dalam hidupku, dan semoga kamu pun merasa demikian.
Kadang-kadang
masalah sepele menjadi begitu besar karena ketidaksabaranku. Kadang-kadang juga
kamu lupa untuk lebih berhati-hati menjaga perasaanku.
Memang,
sebagaimana layaknya manusia, kita bukan pasangan yang sempurna. Kita hanya dua
manusia yang mencoba tetap bergandengan untuk bisa saling mendukung menjadi
insan yang paripurna di antara ketidaksempurnaan kita. Kita hanya dua manusia
yang keinginannya menikah bukan sekedar untuk berbahagia sebagai pasangan
kekasih, tetapi untuk kembali kepada Tuhan sebagai hamba yang telah selesai
dengan amanah-amanahnya, dengan saling mendukung dalam mahligai pernikahan.
Mari
mengintrospeksi diri. Semoga perasaanmu kepadaku, dan perasaanku kepadamu,
senantiasa melimpah hingga esok dan esoknya lagi. Hingga tidak jera-jera diri
kita untuk mau kembali memperbaiki diri.
Selamat
merayakan cinta kembali.
*Pada
satu bulan pertama di tanggal tiga, saya sedang berada di luar kota untuk
merampungkan studi. Saya menuliskan catatan sederhana untuk merayakan
kebahagiaan dan mengabadikan kenangan di bulan pertama itu. Pada bulan
berikutnya, tepat di tanggal tiga, saya dan kamu sudah tidak terpisah jarak
lagi. Kita berboncengan dari kota kelahiranmu menuju kota kelahiranku selama
tidak kurang empat jam. Saya tidak menulis apa-apa, tapi saya mengingat dan
menginsyafi tanggal tiga itu, tentu. Berada di sampingmu kala itu, lebih dari
cukup untuk merayakan kebahagiaan. Sudah dua kali tanggal tiga ini, kamu berada
di luar negeri untuk memulai studimu. Kutulis catatan ini untukmu. Jika pun di
tanggal-tanggal tiga mendatang saya lupa menulis catatan, semoga kamu selalu
ingat dan yakin bahwa aku
mencintaimu─mencintai ketabahanmu mencintaiku.
Yours.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar