Kamis, 03 Desember 2015

Empat Bulan Belajar Meleburkan Ego Bersamamu


Tanggal tiga kala itu, setelah kita terikat lewat akad yang sah, kamu melangkah menuju ruangan tempatku duduk diam dengan perasaan, yang andai kamu tahu, tidak mampu terlukis sempurna dengan kata-kata apa pun itu. Terdengar lirih suaramu mengucap salam dari arah pintu ruangan tempatku ‘disimpan’ saat prosesi akad, saya pun tertunduk penuh khusyuk. Dadaku gemuruh. Bibirku bisu. Menyadari bahwa kau melangkah mendekatiku di tanggal itu, sebagai seorang lelaki yang kini statusnya sempurna berubah bagiku, membuat perasaan dan pikiranku semakin tak karuan.

Masih terekam jelas di ingatan, untuk pertama kalinya, kamu duduk di hadapanku sebagai seorang laki-laki yang telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Di dalam rumah Tuhan, ditemani kakak lelaki ibumu, kita dinikahbatinkan setelah prosesi akad. Kata pamanmu, agar di mana pun kita berada, kita akan tetap menjadi sepasang suami istri lahir batin. Meski pilihan-pilihan hidup membawa raga kita dalam kondisi yang terpisah, hati kita akan selalu merasakan dan meresapi diri sebagai sepasang kekasih. Seolah tahu bahwa kita akan menghadapi hari-hari yang panjang tanpa hidup berdampingan. Ataukah memang nikah batin itu disiapkan pamanmu untuk melewati hari-hari panjang seperti sekarang ini?

Dipandu pamanmu, jemarimu menyentuh ubun-ubunku, mataku, hidungku, bibirku, leherku, dan terakhir dadaku. Sebelum pernikahan, beberapa kali saya sempat bertanya pada orang-orang tentang apa makna di balik sentuhan laki-laki pada bagian tertentu tubuh perempuan saat setelah akad seperti yang kamu lakukan saat itu. Jawaban yang saya dapat adalah sentuhan-sentuhan itu punya makna filosofis bagi sepasang pengantin yang akan hidup bersama. Sentuhan di ubun-ubun agar pikiran kita selalu sejalan dalam melewati jalan panjang kehidupan rumah tangga kita, mata agar mataku selalu indah melihat dirimu dan sebaliknya, hidung agar saya peka mencium aroma tubuhmu dan sebaliknya, bibir agar saya selalu mengeluarkan kata-kata yang baik sebagai seorang istri dan kamu mampu menjaga dan membantuku untuk itu dan demikian pun sebaliknya, leher agar segala asupan yang melewatinya adalah yang halal lagi baik, dan dada agar hati kita senantiasa tertaut.

Setelah ritual nikah batin itu, tidak pernah kubayangkan, kamu, di hadapan orang-orang, menyerahkan mahar dengan kalimat-kalimat yang makin membuatku tidak karuan saja. Seperangkat perhiasan, sebagai lambang dari keindahan, kamu serahkan beriring kalimat, “kuserahkan mahar ini kepadamu, seperti apa yang kamu inginkan, sebagai tanda rasa kasih dan sayangku kepadamu karena Allah”. Bagaimana bisa kugambarkan diri dan perasaanku saat itu? Saya yang mengaku mencintai buku-buku ini, mencintai kegiatan tulis-menulis, jangankan mampu mengeluarkan kalimat indah untuk membalas kalimatmu, bahkan saya kehilangan daya untuk sekedar mengatakan terima kasih. Semua orang diam menunggu jawabanku, tapi tidak kunjung juga pita suaraku bekerja. Habis kataku dibuatmu, dan itu berlanjut hingga sekarang (tiap kali kamu merajuk dan atau memuji, seringkali saya hanya diam di depanmu, saya sebenarnya terlebih sering kehabisan kata saat berhadapan denganmu). Karena tidak kunjung bersuara, pamanmu akhirnya memecah keheningan dengan menyuruhmu meletakkan mahar dengan wadah berbentuk hati merah itu di tanganku. Kuterima, dan kamu membukanya. Kamu mengambil cincin yang tertanam di dalamnya. Setelah memasangkan cincin itu di jari manisku, masih dipandu pamanmu, kamu mengecupku─kecupan pertamamu sebagai seorang suami. Tiba-tiba seorang perempuan, yang di kemudian hari kutahu sebagai seseorang yang kamu hormati di tempatmu bekerja, mengambil ibu jariku dan ibu jarimu, lantas mempertemukannya. Kuat dan erat, ibu jari kita dipertemukan dan digenggamnya. Sebuah ritual yang bermakna agar pernikahan kita terjalin dalam ikatan yang satu dan kokoh. Lepas itu, selesailah prosesi sakral yang terekam dengan jelas itu. Tidak ada satu prosesi pun yang terlupa olehku yang sebenarnya pelupa akut ini.

Kemudian ingatan membawaku pada saat kita akhirnya tiba di pelaminan. Duduk bersandingan bersama kakakku dan istrinya, kita menerima tamu-tamu yang turut berbahagia dan berdoa untuk kebahagiaan kita. Sungguh saya kaku dan kikuk bahkan setelah prosesi sakral itu telah usai. Di tengah-tengah salam dan senyuman saat menjabat para tamu undangan, kamu berbisik, “uhibbukifillah” (saya mencintaimu karena Allah). Dengan suara pelan yang semoga kamu mendengarnya, kujawab kamu dengan “wa aydhan” (dan saya juga).

***

Empat bulan sudah setelah dirimu berbalas ijab qabul dengan ayahku. Pada akhirnya, kita bertemu dengan hal-hal yang kurang menyenangkan dari diri masing-masing.

Ada masa saat saya merasa kamu tidak memahamiku. Pula barangkali, ada masa saat kamu berpikir bahwa saya hanya hidup dengan cara pandang sendiri.

Ada masa saat saya merasa seharusnya kita tidak boleh menulis selembar pun catatan pernikahan kita dengan perpisahan dan lantas saya menyalahkanmu atas perpisahan kita, padahal saya tahu bahwa saya telah memilih dan menerimamu secara sadar, beserta pilihan-pilihan hidupmu. Pula barangkali, ada masa ketika kamu merasa saya tidak hadir sebagai pendukungmu di saat kamu justru membutuhkan dukungan.

Ada masa ketika saya merasa hanya remah-remah di matamu. Pula barangkali, ada masa ketika kamu merasa saya terlalu banyak menuntutmu.

Ada masa ketika saya mengetahui cerita tentang suami teman saya yang dengan rela hati mencuci piringnya sendiri dan menyediakan teh hangat untuk istrinya pada pagi hari tanpa diminta, dan saya cemburu. Pula barangkali, ada masa ketika kamu melihat istri temanmu yang pandai dan cekatan di dapur, dan kamu menemukanku terbata-bata belajar menemukan cara memasak yang baik di rumah, lantas kamu pun cemburu.

Ada masa, yang kita tahu, hanya dalam masa empat bulan saja, cacat-cacat diri kita mulai bermunculan. Tanpa kita inginkan sekali pun.

Tapi beriring dengan itu pula, ada masa ketika kamu terlelap dan saya, seperti biasa, bangun di penghujung malam untuk berdoa pada Tuhan setelah penuh haru terbangun sebagai seorang perempuan beruntung bersuamikan dirimu. Pula ada masa saat di suatu sore saya menunggumu sambil ketiduran di mushallah tempatku mengajar, agak lama karena kamu masih ada kerjaan di tempatmu mengajar, lalu di sore yang gerah itu, kamu tiba-tiba berkata, “saya beruntung memilikimu”.

Ada masa ketika saya melihat seorang teman lelaki yang kurang peka dan kurang baik dalam memuliakan teman-temannya yang lain, lantas saya begitu bersyukur bersuamikan lelaki yang selalu ingin berkata “iya” saat temannya butuh bantuan dan peka dengan hal-hal yang kadang tidak terpikirkan oleh lelaki pada umumnya. Pula ada masa saat kita berbelanja di sebuah mini market dan kamu berkata, “saya harus rajin mengingatkan diri sendiri agar tidak lapar mata. Sepertinya saya yang harus menjaga diri saat berbelanja, bukan malah istriku”.

Ada masa ketika saya begitu merasa beruntung hidup dengan seseorang yang mau membaca apa saja dan belajar dari siapa saja. Pula barangkali, ada masa ketika kamu berbahagia tidak perlu membeli buku semacam tetralogi buruh Pramoedya Ananta Toer, karena istrimu ini, jauh hari sebelum kamu ingin menghadiakannya kepadaku, sudah mengoleksinya terlebih dahulu.

Ada masa ketika saya merasa beruntung bersuamikan seseorang yang perutnya tidak pilih-pilih soal makanan, dan mau menyantap apa saja yang disediakan di meja makan. Pula barangkali, ada masa ketika kamu sedikit bahagia, saat tahu bahwa ada perempuan yang merapikan barang-barangmu yang berantakan di lemari hingga kudengar kalimatmu, “begini ya kalau sudah punya istri, barang-barang jadi rapi”.

Ada masa ketika saya terpesona saat suatu ketika kita shalat bersama, lalu kamu berbalik menghadapku, dan kamu mengajakku berdoa bersama, yang isinya tentang harapan agar pernikahan kita menjadi berkah bagi semesta. Betapa harunya saya mendengar kalimat-kalimat doamu. Pula barangkali, ada kebahagiaan di balik senyummu saat di suatu Jumat pagi kuminta kamu membaca Al Kahfi berganti-gantian denganku, kamu selembar pertama, saya lembar berikutnya, dan seterusnya.

Ada masa-masa ketika kita berdua saling bersyukur memiliki satu sama lain. Merasa istimewa dan beruntung sebab saling dipilih dan memilih, dipertemukan oleh Tuhan dalam ikatan suci pernikahan.

Tapi terkadang, kesedihan, kemarahan, kejengkelan, ketidaksyukuran, membuat kita lupa pada keberuntungan-keberuntungan yang membahagiakan itu. Kita ini memang masih begitu kurang bersyukurnya. Padahal Tuhan telah banyak memberi kebahagiaan lewat dirimu dalam hidupku, dan semoga kamu pun merasa demikian.

Kadang-kadang masalah sepele menjadi begitu besar karena ketidaksabaranku. Kadang-kadang juga kamu lupa untuk lebih berhati-hati menjaga perasaanku.

Memang, sebagaimana layaknya manusia, kita bukan pasangan yang sempurna. Kita hanya dua manusia yang mencoba tetap bergandengan untuk bisa saling mendukung menjadi insan yang paripurna di antara ketidaksempurnaan kita. Kita hanya dua manusia yang keinginannya menikah bukan sekedar untuk berbahagia sebagai pasangan kekasih, tetapi untuk kembali kepada Tuhan sebagai hamba yang telah selesai dengan amanah-amanahnya, dengan saling mendukung dalam mahligai pernikahan.

Mari mengintrospeksi diri. Semoga perasaanmu kepadaku, dan perasaanku kepadamu, senantiasa melimpah hingga esok dan esoknya lagi. Hingga tidak jera-jera diri kita untuk mau kembali memperbaiki diri.

Selamat merayakan cinta kembali.

*Pada satu bulan pertama di tanggal tiga, saya sedang berada di luar kota untuk merampungkan studi. Saya menuliskan catatan sederhana untuk merayakan kebahagiaan dan mengabadikan kenangan di bulan pertama itu. Pada bulan berikutnya, tepat di tanggal tiga, saya dan kamu sudah tidak terpisah jarak lagi. Kita berboncengan dari kota kelahiranmu menuju kota kelahiranku selama tidak kurang empat jam. Saya tidak menulis apa-apa, tapi saya mengingat dan menginsyafi tanggal tiga itu, tentu. Berada di sampingmu kala itu, lebih dari cukup untuk merayakan kebahagiaan. Sudah dua kali tanggal tiga ini, kamu berada di luar negeri untuk memulai studimu. Kutulis catatan ini untukmu. Jika pun di tanggal-tanggal tiga mendatang saya lupa menulis catatan, semoga kamu selalu ingat dan yakin bahwa aku mencintaimu─mencintai ketabahanmu mencintaiku.


Yours.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar