Kata
Jalaluddin Rakhmat, penulis buku Tafsir Kebahagiaaan, ada sekelompok manusia
yang meletakkan kebahagiaan pada apa yang dimiliki. Sesuatu menjadi
menyenangkan ketika sesuatu itu miliknya, bukan karena sesuatu itu bermanfaat
baginya.
Seseorang
membangun rumah besar lebih dari yang diperlukan. Seseorang membangun kolam
renang di tengah-tengah rumah, meski lebih praktis dan lebih murah menyewa
kolam renang umum. Atau seseorang mengeluarkan sejumlah uang untuk membuat
taman, meski ia bisa berjalan-jalan di taman kompleks perumahannya tanpa harus
mengeluarkan uang. Kesenangan hidup orang ini, bukan karena tidur nyenyak
menempati rumah yang sudah dimiliki, tapi dari pernyataan “rumah ini milikku”.
Menurut
Sigmund Freud, gaya hidup “mempunyai” sejenis itu merupakan kepribadian yang
patologis. Kepribadian jenis ini terjadi karena orang tidak berhasil mencapai
kedewasaan penuh. Mengira bahwa harta atau apa saja yang dimiliki dapat
memuaskannya secara abadi.
Bagaimana
seseorang kemudian, bergantung pada apa yang dimilikinya. Jati diri,
kehormatan, kebahagiaan, hingga seluruh hidup, ditentukan dari apa yang
dipunyai. Akhirnya, ketika seseorang ini kehilangan apa yang dimilikinya, maka
hilang pula sebagian dari hidupnya. Ketika jabatan hilang, gairah hidup juga
lenyap. Ketika mobil tergores, yang terluka malah hati. Meletakkan kebendaan
dan hal-hal material jauh di dalam hatinya.
Modus
hidup demikian, menurut Erich Fromm, disebut sebagai modus “mempunyai” (having mode). Namun demikian, menurut
Fromm, modus ini memiliki sisi kontras, yakni modus “menjadi” (being mode). Modus “menjadi” adalah
modus hidup yang sehat. Dengan hidup bermoduskan “menjadi” bukan “memiliki”,
kebahagiaan akan diperoleh dari “memberi” bukannya “mengambil”. Lanjut Fromm,
jika hendak hidup sehat, kita harus menghentikan upaya mencari ketenteraman dan
jati diri dengan bersandar dari apa yang dimiliki.
Untuk
“menjadi”, masih menurut Fromm, kita harus mengeluarkan segala ego, segala
sikap “kepunyaanku”. Orang-orang bijak menyebut hal ini sebagai sebuah sikap
“fakir”. Kefakiran di sini bukan tidak mempunyai apa pun, melainkan tidak dalam
kepunyaan apa pun. Kefakiran diukur dari sikap, bukan dari jumlah harta.
Kefakiran,
kata Ibrahim Ibn Fatik─seorang pemikir dari Baghdad, ditandai dengan ketenangan
ketika tidak ada, dan pemberian dan pengorbanan ketika ada. Fakir berasal dari
modus “menjadi” yang ditandai dengan ketulusan memberi, berbagi, dan berkorban.
Bahkan kepada pihak yang tidak dikenal sekali pun.
Ya,
perasaan tidak memiliki apa-apa bukankah memang akan menjadikan manusia menjadi
legowo jika pada akhirnya akan
kehilangan? Dan bukankah memang, bagi kita yang bertuhan, kita sejatinya tidak
memiliki apa-apa?
Pernah
Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam
bercerita tentang kisah keteladanan si Fulan yang amat dekat dengan Tuhan.
Beberapa sahabat bertanya, apa gerangan yang dilakukan si Fulan hingga mendapat
kedudukan demikian. Jawab Muhammad sallallahu
‘alayhi wasallam, derajat tinggi itu diperoleh dari dua hal, salah satunya
adalah karena kedermawanannya, yang lainnya karena ketulusannya.
***
Dalam
dua hari pada tengah Nopember kemarin, tepat di lantai 18 Hotel Aston Makassar,
orang-orang dari Timur yang tengah menjalani proses ‘menjadi’-nya berkumpul.
Mereka orang-orang kampung yang lebih senang bekerja daripada tinggal mengeluh,
tulis Daeng Gassing di blog pribadinya perihal kegiatan ini. Mereka adalah
orang-orang yang bekerja dengan ketulusan untuk banyak orang.
Beberapa
di antara mereka, ada yang menggarap ide untuk menetapkan wilayah bank ikan
yang bebas dari pengeboman di Wakatobi, ada juga pasangan suami istri yang
berinisiatif mempersiapkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat desa
yang hidup di sekitar Rinjani yang rawan bencana, ada juga seorang laki-laki
paruh baya dari Bulukumba yang menginisiasi gerakan bertani tanpa bahan
kimiawi, dan jauh dari Sorong sana, ada sekelompok anak-anak yang tanpa pamrih
mendorong perahu ke lautan mengunjungi anak-anak di Raja Ampat untuk
mengajarkan mereka ekosistem pantai dan laut.
Kepada
merekalah kita patut belajar tentang keteladanan, sebagaimana Andy F Noya
menyebut mereka sebagai pahlawan dalam senyap, pahlawan yang tak tersorot
lampu.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat,
27 Nopember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar