Beberapa
hari yang lalu, saya menghabiskan setengah hari di Perpustakaan Daerah Semarang
untuk menamatkan cerita Leo Tolstoy. Novel pendek pengarang Rusia itu
diterjemahkan oleh sastrawan besar kita, Pramoedya Ananta Toer. Dalam keadaan
kurang sehat, saya membaca tulisan Tolstoy seperti obat. Menyembuhkan. Ya, tulisan
yang baik─yang diterjemahkan dengan cara yang juga baik, terbukti membawa
dampak yang baik untuk pembacanya. Setidaknya begitulah yang saya rasakan,
meski setelah membacanya saya harus diingatkan kembali dengan perut yang agak
bermasalah.
Novel
itu bercerita tentang Katie, seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki
yang usianya jauh lebih tua darinya. Masa-masa awal pernikahan mereka, seperti
banyak cerita yang kita tahu tentang pengantin baru, adalah semata tentang
cinta yang sedang berbunga-bunga. Setelah dua bulan menikah, Katie sudah merasa
bosan dengan aktvitas yang sama setiap hari di rumah. Bangun, memasak untuk
suami, menunggu suami pulang kerja, lalu tidur. Kepada suaminya dia sampaikan,
dia ingin bergerak. Lalu suaminya yang pengertian ini, mengajak Katie berlibur
ke kota. Di kota itu, Katie merasa lebih berarti. Kehidupan dan pergaulannya di
kota membuat Katie merasa lebih dihargai, bukan lagi sebagai seorang perempuan
yang berlindung di balik suaminya. Tapi permasalahan terjadi. Suaminya merasa
tidak dihargai dengan kelakuan Katie. Maka sang suami memutuskan meninggalkan
Katie yang tetap ngotot tinggal di kota.
Singkat
cerita, Katie menyesali perbuatannya. Dia kembali ke rumah suaminya. Tapi
keadaan sudah berbeda. Cinta keduanya tidak lagi sama. Katie akhirnya harus
hidup bersesal diri karena menyia-nyiakan kebahagiaannya yang hakiki.
Kebahagiaan sebagai seorang istri.
Apa
yang dialami Katie tersebut, mengingatkan saya dengan seorang perempuan bernama
Hasri Ainun Besari. Ya, dia adalah istri Habibie. Ainun adalah warna kontras
dari Katie. Dia adalah perempuan yang menemukan kebahagiaannya di balik
kebahagiaan suaminya. Dia adalah perempuan yang menemukan arti gerak dari cinta
kasih yang dia berikan kepada Habibie.
***
Izinkan
saya bercerita, yang mungkin akan panjang, tentang peristiwa yang terjadi dua
hari sebelum saya membaca cerita Tolstoy itu. Malam itu, malam tasyakuran
wisudawan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip. Saya mewakili teman-teman
wisudawan ditunjuk membacakan sambutan wisudawan. Seperti yang sudah saya bayangkan,
saya menangis haru karena membaca naskah sambutan yang saya buat tiga jam sebelum
acara itu dimulai. Air mata saya tumpah karena mengingat dua orang laki-laki
yang tidak hadir pada wisuda saya. Laki-laki pertama adalah bapak saya. Saya
akan mengutip isi naskah pidato itu di sini :
Kepada laki-laki yang tidak sempat hadir
di ruangan ini untuk menyaksikan wisuda saya karena beliau terkena strok
ringan, dia adalah Bapak saya. Saya memanggilnya Etta. Seorang petani yang
selalu setia menunggu saya di rumah untuk pulang. Dia adalah orang yang selalu
mendukung setiap keputusan saya.
Setelah penyerahan piagam, acara
selanjutnya adalah sambutan dari dekan. Saya sebenarnya malu dan sedikit
menyesal sudah membacakan naskah sambutan yang sifatnya agak pribadi. Harusnya
saya tidak perlu bercerita tentang kondisi orang tua saya. Dampaknya, dekan
membahas isi sambutan saya. “Saat pertama kali masuk di kelas Mb Andis, Pak
Anis sudah pesan. Ada yang namanya Andis di sana, diajak aja gabung di Undip…
Undip gitu loh. Lima besar kampus top di Indonesia, kok ditolak. Akhirnya kita
tahu dari sambutannya tadi, beliau ingin dekat dengan orang tuanya”.
Mendengar
itu, saya hanya tersenyum simpul. Sesungguhnya
saya juga ingin dekat dengan laki-laki kedua yang tidak hadir di wisuda saya.
***
Sehari
setelah wisuda, bapak saya menelepon. “Bagaimana urusanmu? Kata mama kamu
diminta tinggal di sana ya? Kalau saya, terserah kamu saja. Tapi bagaimana
dengan suamimu?”
“Di
Makassar saja. Di Makassar saya masih bisa berbuat banyak.”, jawab saya. “Ya,
di Makassar saja kalau itu menurut kamu yang terbaik”, tutup bapak saya di
telepon.
Saya
jadi ingat peristiwa saat pertama kali, Pak Anis menawarkan saya untuk
bergabung di Undip. Sehari setelah penawaran itu diberikan kepada saya,
terpisah jarak yang jauh dari Semarang, di rumah saya sedang persiapan
menyambut rombongan tamu besar. Setelah mendengar tawaran Pak Anis, saya
menelepon mama saya di rumah. Saya menceritakan tawaran itu. “Jauh ya. Tapi
terserah kamu”, kata mama saya. “Lalu bagaimana dengan laki-laki yang
keluarganya akan datang ke rumah besok, Ma?”, tanya saya. “Tapi bukankah dia
akan meninggalkanmu di tahun pertama pernikahanmu? Terima saja dulu. Nanti kan
bisa pindah”, kata mama saya. “Tapi tidak selalu sesederhana itu, Ma”, jawab
saya.
Saya
menghubungi laki-laki itu. Meminta pendapatnya. Di ujung telepon, dia
menyerahkan keputusan kepada saya. “Ya sudah, tidak usah diterima.”, saya
memutuskan. “Kenapa?”, tanyanya memburu. “Biar kita bisa dekat”, tutup saya.
Demikianlah
akhirnya, saya memilih tidak menerima tawaran yang membuat saya dihubungi oleh
beberapa orang untuk memikirkan lagi keputusan saya itu. Keputusan yang membuat
orang akan melihat saya dengan tatapan aneh seolah mau berkata “sayang ya,
sudah ditawarkan kok ditolak”. Saya pernah menerima surel dari seorang dosen
yang menyuruh saya shalat istikharah karena tidak menerima tawaran itu.
Sejujurnya,
saya merasa tidak ada apa-apanya untuk tawaran itu. Kualitas saya, duh, jauh di antara dosen-dosen Undip.
Pak Anis, dosen yang tidak kurang sebagai orang tua ideologi saya di kampus,
entah bagaimana bisa, melihat saya dengan ekspektasi yang menurut saya berlebih.
Tuhan benar-benar menutupi aib dan kelemahan saya di mata Pak Anis.
***
Memilih
memutuskan untuk kembali menetap di Makassar, adalah perkara kompleks. Ada
banyak alasan untuk memutuskan meninggalkan tawaran yang menjanjikan di
Semarang, dan kembali ke Makassar dengan kesempatan mengabdi (sebagai dosen)
yang masih samar. Seperti yang saya selalu pegang, memilih dengan sadar berarti
bersiap dengan segala konsekuensi pilihan yang kita ambil. Dan dengan itulah
saya tidak ingin dan semoga tidak pernah menyesal dengan keputusan saya.
Mengutip sebuah pesan dari seorang guru: orang
yang dewasa adalah orang yang tahu mana pilihan yang paling baik untuk dirinya.
Bertanggung jawab atas pilihannya itu.
Memutuskan
menetap di Makassar, di kota suami saya menetap, tentulah tidak juga lantas
menjadikan saya sehebat Ainun. Butuh proses yang panjang dan usaha tiada henti
untuk menjadi sebaik-baik perempuan di mata suami. Hanya Tuhan dan suami saya
yang tahu, betapa banyak keburukan dalam diri saya sebagai seorang istri. Tapi
setidak-tidaknya, keputusan hidup bersama dengannya di kota yang sama, setelah
dia menyelesaikan studinya kelak, adalah usaha kecil untuk menjadikannya
istimewa. Usaha kecil untuk tumbuh dan hidup bersama.
Hidup
dalam rumah yang sama, bagi pasangan suami istri, meski tidak selalu penuh
bahagia, adalah jalan untuk mengusahakan kehidupan yang baik. Begitulah pesan
yang ingin disampaikan Tolstoy lewat tokoh Katie dan suaminya barangkali. Seperti
kalimat terakhir dalam novel tersebut : “Kebahagiaan
suami istri hanya terdapat dalam rumah tangga dan keluarganya sendiri yang
beres, teratur dan baik”.
Kepada
laki-laki kedua yang tidak hadir di wisuda saya, saya ingin mengutip tulisan
saya di ucapan terima kasih tesis saya: “Kepada Muh. Akbar Bahar, laki-laki
yang telah, tengah dan akan menjadi teman berjuang dalam hidup. Saya kehabisan
kata mendeskripsikanmu, kecuali “aku
mencintaimu−mencintai ketabahanmu mencintaiku.”
*Catatan
ini saya buat untuk merayakan cinta. Tiga bulan lalu, cinta kami lahir dalam
rumah Tuhan. Tidak selalu mudah jalan panjang ini, tapi semoga segala yang
tidak mudah itu membuat segalanya lebih indah dan layak untuk diperjuangkan.
Yours,
Semarang, 03 Nopember 2015
Yours,
Semarang, 03 Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar