Rabu,
21 Oktober 2015, saya berangkat ke Semarang dari Makassar menggunakan maskapai
penerbangan yang membagikan gratis koran kepada semua penumpangnya. Ada dua
pilihan koran waktu itu, koran pertama terbit skala nasional dan koran lainnya
adalah koran yang terbit dengan pembaca skala lokal. Saya mengambil koran
lokal. Harusnya, koran itu bisa saya baca di atas pesawat. Tapi karena saya
mengantuk─seperti kebiasaan saya setiap kali naik pesawat, saya hanya
memasukkan koran itu ke dalam tas. Kapan-kapan saja
dibaca, pikir saya.
Menjelang
setengah bulan di Semarang, koran itu belum juga saya baca. Dibuang ya sayang
juga. Eman-eman kalau kata teman
saya.
Akhirnya,
karena harus beristirahat di kamar saja seharian ini untuk memulihkan
kesehatan, saya lantas memutuskan mengepak barang yang akan saya bawa pulang ke
Makassar, dan koran itu saya sentuh juga. Alih-alih langsung membawanya ke tong
sampah, saya malah membuka halaman opininya. Setidak-tidaknya, ada tulisan yang
saya baca di dalamnya─sebelum membuangnya. Dan, di sinilah masalahnya. Saya
menemukan nama saya sebagai salah satu penulis di rubrik opini. Oh!
Sependek
ingatan ya, saya memang pernah mengirim naskah tulisan itu. Tapi sudah lama dan
sudah lupa juga kapan tepatnya saya mengirimnya. Karena waktu itu sudah makan
beberapa pekan tapi tidak ada respon dari pihak editor, saya mengirim naskah
itu ke koran lain─dengan sedikit memolesnya lagi. Tulisan itu kemudian terbit
di bulan Maret lalu lewat koran lain. Seperti biasa, sudah saya posting juga di
blog pribadi ini beberapa hari setelah terbit
Saya
tidak tahu, mungkin koran pertama tadi kekurangan naskah. Karena tidak ada yang
mengirim naskah dan rubrik opini harus tetap diisi, akhirnya naskah saya
dicomot--yang mungkin saja sudah jadi debu-debu di folder kumpulan naskah si
editor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar