Sabtu, 21 November 2015

Rumah Baru KAMI


Sumber : Kak Ida (Edit)

 “Tempat terbaik di dunia ini adalah rumah.”

Sabtu yang gerimis, tanggal 21 Nopember 2015, niat menjemput buku-buku dan alat-alat sekolah KAMI di Kata Kerja akhirnya terwujud. Saya, Kak Ida, Ratna, dan Sari berkendara motor ke Kata Kerja menembus hujan yang turun sejak setengah jam sebelumnya. Kami sudah mendapatkan rumah untuk menampung peralatan-peralatan yang akan dijemput tersebut.

Awalnya, saya berencana menyewa sebuah rumah kontrakan di sekitar kampung pemulung. Namun jangankan rumah kontrakan, kamar pun tidak saya dapatkan. Sebenarnya, ada banyak kamar kosan di sekitar sana, namun pertimbangannya adalah akses anak-anak dan ibu-ibu akan sulit karena kamar-kamar tersebut berdempetan dengan kamar-kamar para mahasiswa yang notabene mereka butuh suasana tenang untuk belajar dan atau beristirahat. Tidak memungkinkan untuk digunakan beraktivitas bersama oleh kami.

Selain berencana membuka ruang belajar bagi anak-anak, tempat itu sedianya akan kami gunakan sebagai ruang belajar ibu-ibu untuk membuat kerajinan tangan dari kain Sabbe. Sekitar tiga tahun silam, saya dan Kak Ida pernah mendapatkan dana Program Kreativitas Mahasiswa dari Kemendikbud untuk program pelestarian kain tradisional bugis, kain Sabbe. Kami berdua berencana melanjutkan program yang kami rintis dan kemudian sempat terhenti selama dua tahun tersebut─dengan memberdayakan ibu-ibu yang ada di sana. Mohon doakan kami agar bisa menindaklanjuti rencana-rencana indah ini. 

“Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tidak ada kamar, rumah dari warga pun jadi. Malah jadi lebih baik sebenarnya.”
 
Beruntunglah kami, ternyata ada satu rumah yang tidak lagi berpenghuni di kampung pemulung. Rumah itu pernah ditempati oleh Dila bersama kedua orang tua dan seorang kakak perempuannya. Namun karena desakan ekonomi, kedua orang tua Dila akhirnya memutuskan merantau menjadi TKI di perkebunan kelapa sawit, Malaysia. Dila dan kakaknya, Ratna, kini tinggal bersama kakek-nenek mereka, bersama empat orang keluarga yang lain. Rumah yang mereka tempati itu, ada tiga bagian. Bagian pertama digunakan sebagai beranda sekaligus tempat menyimpan tumpukan pakaian bekas yang mereka terima tiap kali ada kegiatan baksos dan semacamnya. Beranda itu juga sebagai tempat kakek Dila beristirahat meluruskan badan setelah memulung seharian. Ruang kedua adalah tempat tidur, sekaligus ruang berkumpul, sekaligus ruang tamu, sekaligus ruang belajar anak-anak. Boleh dibilang ruang kedua ini multifungsi─karena tidak cukupnya ruang untuk masing-masing fungsi yang banyak tadi. Ruang ketiga, tepat berada di bagian belakang, adalah ruang memasak sekaligus ruang makan, sekaligus ruang cuci piring. Ukuran keseluruhan rumah berdinding trpileks dan baliho itu sekitar 7 x 7 cm. Tidak memungkinkan untuk disediakan ruang-ruang privasi bagi setiap keluarga. Semua ruang adalah tempat bersama.

Daeng Juma’, kakek Dila, mengizinkan kami menggunakan rumah orang tua Dila yang kini tidak dihuni itu. Alhamdulillah, selain lokasinya di lingkungan kampung pemulung yang akan memudahkan kami untuk belajar bersama, kami pun tak perlu mencari dan mengeluarkan dana untuk menyewa tempat nantinya.

***

Kembali ke proses kami berempat menjemput peralatan belajar tadi. Di Kata Kerja, kami bertemu Kak Aan dan seorang pustakawan lain. Keduanya membantu kami menurunkan peralatan tersebut dari lantai dua Kata Kerja. Karena barang-barangnya lumayan banyak untuk diangkut di motor, kami akhirnya menggunakan jasa bentor. Sari dan Ratna mendampingi barang-barang tersebut di atas bentor menuju ke sekolah kembali. Betapa romantisnya mereka berdua di dalam bentor bersama buku-buku di Sabtu sore selepas gerimis ini.

Sumber : Kak Ida (Edit)



Demikianlah akhirnya, kini kami punya rumah baru untuk menyimpan peralatan belajar. Rumah untuk kami menampung cerita, belajar, dan bermain bersama.

Sumber : Kak Ida (Edit)


Sumber : Kak Ida (Edit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar