Jumat, 13 November 2015

Kebahagiaan Itu Menular



Bergerak di jalan yang meminta waktu, pikiran, tenaga, dan masih banyak hal dalam diri kita untuk kepentingan banyak orang, bahkan jika orang itu tidak kita kenal sama sekali, sungguh bukan hal yang mudah. “Perlu keteguhan hati yang kuat dan keras kepala untuk keyakinan akan kebenaran”, kata kawan saya, Rahiwati Sanusi. Demikianlah saya kemudian memilih untuk kembali bergiat di tempat yang sama saya bergiat beberapa tahun lalu. Saya meninggalkan komunitas ini untuk melanjutkan studi selama dua tahun, dan kembali dengan menemukan komunitas yang sama telah kehilangan banyak tangan-tangan yang pernah bergandengan bersama di sana.

Kita tahu bersama, di negeri yang kita cintai dengan malu-malu ini, ketidakdilan masih terlalu sering mengagetkan mata kita di jalan. Buruh-buruh pabrik yang kehilangan tenaga kerjanya dengan dibayar tidak sepadan dibanding dividen yang diterima para pemegang saham perusahaan raksasa. Anak-anak di perempatan yang kita temui menjual tissue lima ribu rupiah untuk tiga bungkus atau menjajakan koran-korannya, padahal mereka berhak menikmati masa kanaknya tanpa dituntut bekerja untuk mengisi perut. Para orang tua pemulung yang terampas kuasanya untuk menjual plastik yang ditemukan di tengkulak dengan harga murah, karena mereka terikat perjanjian dengan tengkulak tersebut dan bermukim di atas tanah tengkulak. Para petani, para nelayan, dan para tukang becak yang tidak kuasa melawan sistem. Orang-orang lemah dan marjinal itu masih bertebaran di mana-mana.

Sekolah Rakyat KAMI memilih satu titik dari berjuta-juta titik di mana ketidakdilan berkata dengan jelas di depan mata. Titik itu ada di kampung pemulung sekitar kampus Unhas.

Kita tidak tahu, kerja-kerja sukarela yang dilakukan sejauh apa akan membawa hasil bagi mereka. Tapi setidak-tidaknya kita akan berada di sana, jika satu di antara mereka butuh pendampingan untuk mengurusi tetek-bengek dalam mengurusi administrasi di kantor-kantor pemerintahan, yang kita tahu, kadang-kadang mereka bahkan takut ke sana karena malu tidak bisa dan tidak tahu bertanda tangan. Kita ada saat koprasi-koprasi nakal datang menawarkan bantuan dana berbunga kepada mereka yang terdesak untuk membayar biaya rumah sakit. Kita ada untuk ikut belajar dan bermain bersama para anak-anak yang tidak menikmati masa kanak untuk bermain dan belajar sebagaimana mestinya.

Sumber : Dokumen Pribadi [edit]


Hari ini adalah hari ulang tahun Dila. Tanpa ayah dan ibu, karena keduanya sedang menjadi tenaga kerja di Malaysia, Dila tetap bahagia menjalani hari ini. Tanpa perayaan, Dila tetap tertawa riang hari ini. Maafkan jika terlalu melankolis, tapi kebahagiaan kecil saat berada di tengah-tengah mereka, sepadan untuk segala yang terberi─jika pun memang ada sesuatu yang pantas disebut sebagai pemberian bagi mereka. Sebab sesungguhnya, apa-apa yang berlebih dari kita, termasuk tenaga, waktu, dan materi, sesungguhnya adalah hak mereka yang lemah bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar