Bergerak
di jalan yang meminta waktu, pikiran, tenaga, dan masih banyak hal dalam diri
kita untuk kepentingan banyak orang, bahkan jika orang itu tidak kita kenal
sama sekali, sungguh bukan hal yang mudah. “Perlu keteguhan hati yang kuat dan
keras kepala untuk keyakinan akan kebenaran”, kata kawan saya, Rahiwati Sanusi.
Demikianlah saya kemudian memilih untuk kembali bergiat di tempat yang sama
saya bergiat beberapa tahun lalu. Saya meninggalkan komunitas ini untuk
melanjutkan studi selama dua tahun, dan kembali dengan menemukan komunitas yang
sama telah kehilangan banyak tangan-tangan yang pernah bergandengan bersama di
sana.
Kita
tahu bersama, di negeri yang kita cintai dengan malu-malu ini, ketidakdilan
masih terlalu sering mengagetkan mata kita di jalan. Buruh-buruh pabrik yang
kehilangan tenaga kerjanya dengan dibayar tidak sepadan dibanding dividen yang
diterima para pemegang saham perusahaan raksasa. Anak-anak di perempatan yang
kita temui menjual tissue lima ribu rupiah untuk tiga bungkus atau menjajakan
koran-korannya, padahal mereka berhak menikmati masa kanaknya tanpa dituntut bekerja untuk mengisi perut. Para
orang tua pemulung yang terampas kuasanya untuk menjual plastik yang ditemukan
di tengkulak dengan harga murah, karena mereka terikat perjanjian dengan
tengkulak tersebut dan bermukim di atas tanah tengkulak. Para petani, para
nelayan, dan para tukang becak yang tidak kuasa melawan sistem. Orang-orang
lemah dan marjinal itu masih bertebaran di mana-mana.
Sekolah
Rakyat KAMI memilih satu titik dari berjuta-juta titik di mana ketidakdilan
berkata dengan jelas di depan mata. Titik itu ada di kampung pemulung sekitar
kampus Unhas.
Kita
tidak tahu, kerja-kerja sukarela yang dilakukan sejauh apa akan membawa hasil
bagi mereka. Tapi setidak-tidaknya kita akan berada di sana, jika satu di
antara mereka butuh pendampingan untuk mengurusi tetek-bengek dalam mengurusi
administrasi di kantor-kantor pemerintahan, yang kita tahu, kadang-kadang
mereka bahkan takut ke sana karena malu tidak bisa dan tidak tahu bertanda
tangan. Kita ada saat koprasi-koprasi nakal datang menawarkan bantuan dana
berbunga kepada mereka yang terdesak untuk membayar biaya rumah sakit. Kita ada
untuk ikut belajar dan bermain bersama para anak-anak yang tidak menikmati masa
kanak untuk bermain dan belajar sebagaimana mestinya.
Sumber : Dokumen Pribadi [edit] |
Hari
ini adalah hari ulang tahun Dila. Tanpa ayah dan ibu, karena keduanya sedang menjadi tenaga
kerja di Malaysia, Dila tetap bahagia menjalani hari ini. Tanpa perayaan, Dila
tetap tertawa riang hari ini. Maafkan jika terlalu melankolis, tapi kebahagiaan
kecil saat berada di tengah-tengah mereka, sepadan untuk segala yang terberi─jika
pun memang ada sesuatu yang pantas disebut sebagai pemberian bagi mereka. Sebab
sesungguhnya, apa-apa yang berlebih dari kita, termasuk tenaga, waktu, dan
materi, sesungguhnya adalah hak mereka yang lemah bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar