“Untuk
mencari asal-usul penggambaran keluarga nasional, selain membaca buku-buku
pelajaran, saya juga menelusuri kembali sejarah nasional Indonesia.” Mengapa
Saya Sasaki Shiraishi, seperti dalam kutipan tersebut, memilih menggunakan
buku-buku pelajaran sekolah untuk melihat kondisi suatu bangsa?
Meminjam
penafsiran Antonio Gramsci, buku-buku pelajaran yang terlembagakan dalam
institusi pendidikan adalah salah satu dari berbagai alat hegemoni untuk
menyebarkan suatu ideologi dan atau kekuasaan di suatu negara. Dengan demikian,
sebagaimana di negara-negara lain, buku teks pelajaran sekolah dan buku yang
diperuntukkan untuk anak-anak adalah sarana yang cocok, untuk tidak dibilang
tepat, saat mempelajari landasan ideologi suatu rezim.
Anak-anak
adalah bagian dari masyarakat yang tidak terlalu mengontrol apa yang dibacanya,
baik karena pengetahuan awal mereka yang masih minim saat memilih buku atau pun
karena hampir semua dari mereka, kalau pun membeli buku-buku pilihannya, bukan
dengan uang saku sendiri, yang berarti bahwa mereka kemungkinan akan membeli
buku sesuai persetujuan si pemberi uang saku. Anak-anak dalam hal ini, tidak
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan bacaannya. Sementara apa yang
dibacanya semasa kanak, berpotensi membentuk cara berpikirnya hingga dewasa
kelak.
Perihal
ketidakbebasan memilih bacaan, ini tidak berbeda jauh kondisinya dengan buku-buku
yang disuguhkan di sekolah. Buku-buku telah disunting dari hal-hal yang
dianggap mengganggu bentukan sejarah negara yang ingin dibangun penguasa. Nama-nama
pahlawan yang banyak dikenalkan lewat buku teks pelajaran sejarah, misalnya.
Betapa saya masih ingat, di dalam buku pelajaran sekolah tingkat dasar, terjabarkan panjang lebar riwayat R. A. Kartini dan Cut Nyak Dien (yang keduanya adalah keturunan ningrat), dan sedikit sekali, atau bahkan tidak pernah menceritakan sosok Keumalahayati. Dan mari bayangkan apa yang akan terjadi dengan pikiran anak-anak SD kelas VI ketika mempelajari bab G/30S/PKI dengan sedikit diselipkan materi dari hasil penelitian John Rossa, “Dalih Pembunuhan Massal”, atau dari Ita Fatia Nadia dengan “Suara Perempuan Korban Tragedi ’65”-nya?
Betapa saya masih ingat, di dalam buku pelajaran sekolah tingkat dasar, terjabarkan panjang lebar riwayat R. A. Kartini dan Cut Nyak Dien (yang keduanya adalah keturunan ningrat), dan sedikit sekali, atau bahkan tidak pernah menceritakan sosok Keumalahayati. Dan mari bayangkan apa yang akan terjadi dengan pikiran anak-anak SD kelas VI ketika mempelajari bab G/30S/PKI dengan sedikit diselipkan materi dari hasil penelitian John Rossa, “Dalih Pembunuhan Massal”, atau dari Ita Fatia Nadia dengan “Suara Perempuan Korban Tragedi ’65”-nya?
Untuk
hal penghilangan beberapa sejarah dari bacaan anak-anak, saya bersepakat dengan
apa yang pernah dikatakan seorang penerima Pulitzer (2007). Adalah Ray Douglas
Bradbury, pernah menulis begini: Anda
tidak perlu harus membakar buku untuk memusnahkan budaya suatu bangsa. Hanya
dengan membuat mereka berhenti membaca tentang sejarah bangsanya saja.” Atau
dengan sengaja menghilangkan sejarah yang ‘mengganggu’ mungkin?
***
Menelusuri
bagaimana pembentukan sejarah bangsa dari buku pelajaran anak, kita bisa mundur
beberapa puluh tahun ke belakang. Pelajaran sekolah sebagai suatu konsep, telah
ada dan berkembang sejak lama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem kolonial yang diperkenalkan Belanda kepada masyarakat Hindia. Pelajaran
sekolah beserta buku-buku sebagai penyokong pembelajaran adalah alat yang
dibawa oleh Belanda pada awal abad ke-20 untuk menjinakkan kaum pibumi. Bacaan
lebih lanjut tentang ini dapat ditemui secara utuh pada bab ‘Kanak-kanak Dalam
Kelas’ di antara bab-bab yang terselip dalam buku Shiraisi, “Pahlawan-pahlawan
Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik”.
***
Buku-buku
yang kita baca, seumpama orang tua, melakoni peran merawat dan mendidik pikiran.
Menjadi pemantik & pendamping bertumbuhnya ide dan gagasan. Juga menjadi rumah
pulang guna melakukan refleksi dan kontemplasi. Bukankah demikian?
Eka
Kurniawan pernah menulis kurang lebih seperti ini: kita jelas tak mungkin
memilih orang tua biologis, tapi kita bisa memilih orang tua bagi perjalanan
intelektual kita. Nah, semisal kita
bukan seorang penulis yang memiliki karya yang dapat diwariskan bagi anak-anak guna
menjadi orang tua yang baik bagi pikiran-pikiran mereka, menawarkan mereka
buku-buku terbaik adalah alternatif yang mungkin bisa ditempuh untuk itu. Dalam
hal ini, kita telah percaya pada kapabilitas penulis dari buku-buku yang kita
pilih itu, tentu. Dan dengan cara demikian lah, setidaknya kita bisa menjadi
orang tua yang mampu memadukan dua peran sekaligus: menjadi orang tua biologis
dan juga orang tua intelektual bagi anak-anak kita.
Seperti
yang dipercaya Shiraishi, buku pelajaran adalah alat paling cocok untuk
mengontrol pikiran masyarakat suatu bangsa, jadi kita tidak ingin menyerahkan
anak-anak kita semata dikontrol oleh buku-buku pelajaran sekolah mereka kan?
Atau kalau kita sudah percaya sepenuhnya pada buku-buku teks pelajaran sekolah
untuk menjadi orang tua intelektual mereka, pendamping bagi pikiran anak-anak
kita, itu mungkin soal beda lagi.
Tapi
omong-omong, kalau pun kita ingin menawarkan anak-anak kita bacaan bagus, bagaimana
caranya jika ternyata sebagai [calon] orang tua, kita sendiri malah malas
membaca? Mungkin itu kontradiksi yang perlu dibereskan juga. Atau justru itu
lah yang perlu dibereskan terlebih dahulu ya?
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 26 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar