Saya mulai mengerjakan tulisan ini setelah membaca artikel yang ditulis A.S. Laksana di salah satu harian lokal, perihal kebiasaan membaca kita dalam bentuk negasi. Artikel dengan judul ‘Kejayaan Orang-Orang yang Tidak Membaca’ tersebut, membahas laku presiden kita yang kekurangan kosa kata tiap kali berpidato atau diwawancarai oleh pihak media. Hal ini terjadi, menurut A.S. Laksana, karena presiden kita kurang memiliki minat baca. Seperti kita tahu, salah satu dari sekian banyak keuntungan yang diperoleh pembaca adalah menjadi manusia yang lebih kaya kosa kata.
Masih
menurut A.S. Laksana, dalam artikel lainnya yang terbit kira-kira awal tahun
2015, pendidikan kita memang telah gagal menanamkan minat dan kebiasaan baca pada
masyarakat, khususnya pada anak-anak didik. Lagipula, orang-orang yang tidak
membaca buku pun, nyatanya, bisa sukses dalam menjalani kehidupan−tergantung
apa perspektif mereka tentang kehidupan. Orang-orang bisa menjadi ‘sukses’
sebagai apa saja tanpa hidup dengan dunia literasi.
Pengusaha
yang kaya raya, politikus yang terpilih dua kali periode sebagai wakil rakyat,
pegawai negeri sipil dengan gaji tetap, dan artis yang terkenal dengan harta
berlimpah, bahkan seorang presiden, toh bisa hidup tanpa kegemaran membaca. Sadar
atau tidak, kita sebenarnya tengah merayakan keberhasilan orang-orang yang
kebanyakan tidak gemar atau bahkan tidak membaca buku sama sekali. Akhirnya,
kita makin kehilangan daya dorong agar gemar membaca.
Kalau
tidak salah, Plato−filsuf yang berguru dari Socrates sekaligus menjadi guru
dari Aristoteles, mengatakan bahwa konsep negara ideal hanya dapat terealisasi
jika golongan tertinggi dalam sebuah negara dipegang oleh para pemikir dan
pecinta kebijaksanaan. Tentu saja, menjadi manusia pemikir dan bijaksana
meniscayakan pengetahuan yang luas, yang salah satu jalannya adalah gemar
membaca. Saya tidak yakin, untuk konteks saat ini, kita bisa menemukan manusia
yang pemikir dan bijak, tanpa hidup dengan kebiasaan membaca.
Memang,
bersepakat dengan A.S. Laksana, tidak sedikit orang-orang berjaya di Indonesia
kini, tidak terlahir dari tradisi membaca. Belum lagi untuk sampai pada tahap
‘pembaca yang baik’. Tapi kita juga tidak bisa melupakan beberapa nama besar yang
terlahir dari tradisi literasi, yang sangat layak menjadi panutan. Bung Hatta, Wakil
Presiden pertama Indonesia; Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia
yang menjadi calon kuat penerima penghargaan sastra kelas dunia sejak 1981; dan
Buya Hamka, ulama dan sastrawan penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar (Mesir) dan Universitas
Kebangsaan (Malaysia) sekaligus, adalah tokoh yang hidup dengan tradisi
membaca (dan juga menulis) yang terjaga hingga akhir hayat.
Mengagumkannya,
bahkan di dalam penjara, ketiganya tetap menghabiskan nyaris seluruh waktu
mereka dengan buku-buku. Di dalam penjara, kebebasan tetap diteguk lewat
percikan pengetahuan dari buku-buku.
Sayangnya,
mereka hanyalah sebagian kecil, untuk tidak mengatakan minoritas, dari orang-orang
berjaya yang terlahir dengan ketekunan membaca. Jika demikian, barangkali
masalahnya adalah, di negeri ini, orang-orang berjaya kerap kali dihargai dan
dimuliakan karena perkara meterialistis dan pragmatis semata. Kekuasaan,
jabatan, dan harta berlimpah berbanding lurus dengan seberapa tinggi seseorang
dihargai dalam suatu masyarakat.
Menjadi
pembaca yang baik, kalau boleh sedikit melankolis, barangkali memang menjadi
seseorang yang siap melawan arus. Bisa jadi dianggap tidak kekinian. Bertahan
dengan bertumpuk-tumpuk buku yang kadang kala menjenuhkan. Tapi bukankah
memang, pembaca yang baik, mengutip Franz Magnis-Suseno, berarti “membiarkan
diri ditarik keluar dari penjara perhatian berlebihan pada diri sendiri”.
Sebelas
tahun silam, sebuah buku bertajuk ‘Bukuku Kakiku’ ditulis oleh orang-orang
‘besar’ yang barangkali masuk dalam kriteria “pembaca yang baik” ala A.S.
Laksana. Beberapa nama dari mereka adalah Budi Darma, Mochtar Pabottingi, Remy
Sylado, dan Yohanes Surya. Ada 24 manusia penggila buku yang menulis kisah
mereka di kumpulan tulisan itu. Dari beberapa pembacaan saya, pada dasarnya
mereka bukanlah orang-orang yang namanya tersohor dan dibicarakan oleh
masyarakat umum dengan gegap gempita.
Karena
membaca, meminjam kembali istilah Franz Magnis-Suseno, sebenarnya hanyalah “cara
untuk membuatmu bisa melihat dunia [dan] manusia”, bukan untuk menjadi manusia yang
dilihat, lantas terjebak pada definisi ‘kejayaan’ yang artifisial.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Rabu, 09 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar