Senin, 10 Agustus 2015

Perempuan Penyelimut Cahaya


“Ya Ilahi, begitu sedikit pengetahuanku untuk meniti jalan-Mu. Bahkan, dalam pengetahuan yang sedikit itu pun seringkali kuragu. Karena itu, semoga Engkau berkenan menunjuki jalan yang benar, dalam perjalanan menuju-Mu.”

Doa di atas adalah doa Khadijah al-Qubra binti Khuwalid saat mengunjungi Bait al-Atik−saat ini kita kenal dengan nama Ka’bah atau Baitullah. Khadijah datang ke sana setelah malam sebelumnya ia didatangi mimpi berupa cahaya yang melingkupi seluruh tubuhnya. Mimpi itu membawa perasaan berbeda dari mimpi-mimpi yang lain. Khadijah tak tahu mesti bercerita kepada siapa perihal mimpi yang membuatnya gusar itu. Tak mungkin diceritakannya pada masyarakat kala itu, sebab ia takut menerima cemooh sebagai janda muda yang aneh. Khadijah telah dua kali menikah dan keduanya tidak berumur panjang, suami pertama meninggal dan suami kedua dzalim, karena itu Khadijah meninggalkannya. Selain itu, keanehan yang dilakukan Khadijah pada masa itu sudah begitu sering, beberapa di antaranya adalah kebiasaan memerdekakan budak secara sukarela dan membagi-bagikan koin emas kepada para janda dan orang tua yang lemah. Hanya sedikit, untuk tidak menyatakan tidak ada, orang kaya dan merdeka yang senang melakukan hal-hal demikian di masa itu.

Esok paginya, setelah malam didatangi cahaya dalam mimpi, Khadijah berlari melewati al-Hayat menuju Bait al-Atik. Di sana ia memohon kepada Tuhan, agar kelak dipertemukan dengan seseorang yang mampu menenangkan hatinya, memahami perasaannya, dan menghapus kegusarannya.

Saat kejadian ini terjadi, seperti yang dituliskan Sibel Eraslan dalam novel biografi, ‘Khadijah: Ketika Rahasia Mim Tersingkap’, dari terjemahan ‘Çöl ve Deniz’, Mekah tengah dikepung oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abyad al-Kabir. Bersamaan dengan kedatangan pasukan gajah yang datang dari Yaman itu, kita tahu, terlahirlah seorang bayi di tengah-tengah keluarga terbaik yang ada di Mekah. Nama keluarga ini adalah Bani Hasyim. Berdasarkan catatan penelitian Sirah Nabawiyah Al Mubarakfuri (1997), bayi tersebut lahir tepat pada Senin pagi, 9 Rabi’ul-Awwal. Proses kelahirannya membawa kekaguman bagi sang Kakek, Abdul Muththalib, yang mendampingi ibunya pada saat melahirkan−ayahnya wafat sejak dalam kandungan. Pintu rumahnya dilingkupi cahaya, runtuh sepuluh balkon istana Kisra, padam api yang biasa disembah orang-orang Majusi, dan beberapa kejadian lain yang diyakini sebagai tanda kerasulan saat kelahirannya. Dipeluknya cucu yang bercahaya, lalu dibawanya ke dalam Bait al-Atik−tempat yang sama di mana Khadijah datang memohon kepada Tuhan untuk dipertemukan dengan seseorang yang cahaya seperti dalam mimpinya.

Duhai, inikah cinta dari mereka yang bercahaya? Sebelum bertemu dalam proses mu’amalah mudharabah−Khadijah sebagai pemilik barang dagang dan Muhammad sebagai pedagangnya, jauh hari sebelumnya, keduanya telah dituntun dalam cahaya Ilahiah. Bertemu dalam doa dan harapan yang bertaut di Bait al-Atik. Di kemudian hari, saat bayi itu telah berumur 25 tahun, sementara Khadijah telah menua pada umur yang ke-40, keduanya saling menautkan hati. Beberapa buku sejarah menyatakan bahwa Khadijah adalah cinta sejati bagi lelaki cahaya tadi. Khadijah adalah perempuan yang dipinangnya dengan mahar tak tanggung-tanggung tingginya dari segi materi, terlebih dari segi cinta dan kesetiaan. Kita tahu, seumur hidup membersamai Khadijah, tak ada perempuan lain yang dinikahi lelaki itu. Khadijah adalah penyingkap rahasia mim−huruf awal dari seseorang bernama Muhammad.

Pada umurnya yang mencapai 40 tahun, sudah waktunya diturunkan wahyu Tuhan kepada Muhammad. Peristiwa tak terjangkau indera tersebut terjadi di Gua Hira. Setelah ditemui oleh malaikat yang diutus Tuhan, dengan tergopoh-gopoh Muhammad pulang ke rumah dari tempat persembunyiannya itu. Peristiwa ini kita sebut sebagai hari diturunkannya al-Quran, yang diyakini oleh banyak penulis sejarah nabi, terjadi pada malam-malam akhir di bulan Ramadhan. Al-Mubarakfuri salah satunya yang menulis secara jelas bahwa peristiwa tersebut terjadi di bulan Ramadhan pada tahun ketiga pengasingan Muhammad di Gua Hira. Beberapa pendapat lain menyatakan hari persisnya terjadi, yakni pada hari ke-17 Ramadhan.

Peristiwa itu membuat Muhammad merasa kedinginan dan berkeringat sekaligus. Khadijah menyelimutinya, memeluknya, menenangkan hatinya. “Jangan kau gusar kekasihku, tenangkan hatimu.”

Inilah yang terjadi. Setelah doa yang dipanjatkan Khadijah berpuluh-puluh tahun sebelumnya di Bait al-Atik, bukan Khadijah yang ditenangkan, tapi dialah yang menenangkan seseorang yang pernah dimintanya itu.

***

Suatu hari, kakak lelaki saya mengatakan, “jadilah seperti Aisyah, dia adalah perempuan yang cerdas”. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, kepadanya kukatakan, “jika ada perempuan yang kucita-citakan untuk menjadi seperti dirinya, itu adalah Khadijah.”

Jalan hidup yang dipilih perempuan bergelar Sayyidatu nisâ’il ‘âlamîn (pemuka wanita seluruh dunia) itu, kasih sayangnya kepada kaum yang lemah, perjuangannya merelakan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan suaminya, dan cintanya yang tidak ada sandingannya di mata Muhammad, adalah mata air inspirasi yang senantiasa mengalir dalam hidup banyak perempuan.


Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 10 Juli 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar