“Ya
Ilahi, begitu sedikit pengetahuanku untuk meniti jalan-Mu. Bahkan, dalam
pengetahuan yang sedikit itu pun seringkali kuragu. Karena itu, semoga Engkau
berkenan menunjuki jalan yang benar, dalam perjalanan menuju-Mu.”
Doa
di atas adalah doa Khadijah al-Qubra binti Khuwalid saat mengunjungi Bait al-Atik−saat ini kita kenal dengan
nama Ka’bah atau Baitullah. Khadijah
datang ke sana setelah malam sebelumnya ia didatangi mimpi berupa cahaya yang melingkupi
seluruh tubuhnya. Mimpi itu membawa perasaan berbeda dari mimpi-mimpi yang
lain. Khadijah tak tahu mesti bercerita kepada siapa perihal mimpi yang
membuatnya gusar itu. Tak mungkin diceritakannya pada masyarakat kala itu,
sebab ia takut menerima cemooh sebagai janda muda yang aneh. Khadijah telah dua
kali menikah dan keduanya tidak berumur panjang, suami pertama meninggal dan
suami kedua dzalim, karena itu Khadijah meninggalkannya. Selain itu, keanehan
yang dilakukan Khadijah pada masa itu sudah begitu sering, beberapa di
antaranya adalah kebiasaan memerdekakan budak secara sukarela dan
membagi-bagikan koin emas kepada para janda dan orang tua yang lemah. Hanya
sedikit, untuk tidak menyatakan tidak ada, orang kaya dan merdeka yang senang
melakukan hal-hal demikian di masa itu.
Esok
paginya, setelah malam didatangi cahaya dalam mimpi, Khadijah berlari melewati
al-Hayat menuju Bait al-Atik. Di sana
ia memohon kepada Tuhan, agar kelak dipertemukan dengan seseorang yang mampu
menenangkan hatinya, memahami perasaannya, dan menghapus kegusarannya.
Saat
kejadian ini terjadi, seperti yang dituliskan Sibel Eraslan dalam novel
biografi, ‘Khadijah: Ketika Rahasia Mim Tersingkap’, dari terjemahan ‘Çöl ve Deniz’, Mekah tengah dikepung
oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abyad al-Kabir. Bersamaan dengan
kedatangan pasukan gajah yang datang dari Yaman itu, kita tahu, terlahirlah
seorang bayi di tengah-tengah keluarga terbaik yang ada di Mekah. Nama keluarga
ini adalah Bani Hasyim. Berdasarkan catatan penelitian Sirah Nabawiyah Al Mubarakfuri (1997), bayi tersebut lahir tepat
pada Senin pagi, 9 Rabi’ul-Awwal. Proses
kelahirannya membawa kekaguman bagi sang Kakek, Abdul Muththalib, yang
mendampingi ibunya pada saat melahirkan−ayahnya wafat sejak dalam kandungan. Pintu
rumahnya dilingkupi cahaya, runtuh sepuluh balkon istana Kisra, padam api yang
biasa disembah orang-orang Majusi, dan beberapa kejadian lain yang diyakini
sebagai tanda kerasulan saat kelahirannya. Dipeluknya cucu yang bercahaya, lalu
dibawanya ke dalam Bait al-Atik−tempat
yang sama di mana Khadijah datang memohon kepada Tuhan untuk dipertemukan
dengan seseorang yang cahaya seperti dalam mimpinya.
Duhai, inikah cinta dari mereka yang
bercahaya? Sebelum bertemu dalam proses mu’amalah
mudharabah−Khadijah sebagai pemilik
barang dagang dan Muhammad sebagai pedagangnya, jauh hari sebelumnya, keduanya
telah dituntun dalam cahaya Ilahiah. Bertemu dalam doa dan harapan yang bertaut
di Bait al-Atik. Di kemudian hari,
saat bayi itu telah berumur 25 tahun, sementara Khadijah telah menua pada umur
yang ke-40, keduanya saling menautkan hati. Beberapa buku sejarah menyatakan
bahwa Khadijah adalah cinta sejati bagi lelaki cahaya tadi. Khadijah adalah
perempuan yang dipinangnya dengan mahar tak tanggung-tanggung tingginya dari
segi materi, terlebih dari segi cinta dan kesetiaan. Kita tahu, seumur hidup
membersamai Khadijah, tak ada perempuan lain yang dinikahi lelaki itu. Khadijah
adalah penyingkap rahasia mim−huruf
awal dari seseorang bernama Muhammad.
Pada
umurnya yang mencapai 40 tahun, sudah waktunya diturunkan wahyu Tuhan kepada
Muhammad. Peristiwa tak terjangkau indera tersebut terjadi di Gua Hira. Setelah
ditemui oleh malaikat yang diutus Tuhan, dengan tergopoh-gopoh Muhammad pulang ke
rumah dari tempat persembunyiannya itu. Peristiwa ini kita sebut sebagai hari
diturunkannya al-Quran, yang diyakini oleh banyak penulis sejarah nabi, terjadi
pada malam-malam akhir di bulan Ramadhan. Al-Mubarakfuri salah satunya yang
menulis secara jelas bahwa peristiwa tersebut terjadi di bulan Ramadhan pada
tahun ketiga pengasingan Muhammad di Gua Hira. Beberapa pendapat lain menyatakan
hari persisnya terjadi, yakni pada hari ke-17 Ramadhan.
Peristiwa
itu membuat Muhammad merasa kedinginan dan berkeringat sekaligus. Khadijah menyelimutinya,
memeluknya, menenangkan hatinya. “Jangan kau gusar kekasihku, tenangkan
hatimu.”
Inilah
yang terjadi. Setelah doa yang dipanjatkan Khadijah berpuluh-puluh tahun
sebelumnya di Bait al-Atik, bukan Khadijah
yang ditenangkan, tapi dialah yang menenangkan seseorang yang pernah dimintanya
itu.
***
Suatu
hari, kakak lelaki saya mengatakan, “jadilah seperti Aisyah, dia adalah
perempuan yang cerdas”. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, kepadanya
kukatakan, “jika ada perempuan yang kucita-citakan untuk menjadi seperti
dirinya, itu adalah Khadijah.”
Jalan
hidup yang dipilih perempuan bergelar Sayyidatu
nisâ’il ‘âlamîn (pemuka wanita seluruh dunia) itu, kasih sayangnya kepada
kaum yang lemah, perjuangannya merelakan seluruh harta kekayaannya untuk
perjuangan suaminya, dan cintanya yang tidak ada sandingannya di mata Muhammad,
adalah mata air inspirasi yang senantiasa mengalir dalam hidup banyak perempuan.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 10 Juli 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar