Syahdan,
adalah Joko Tarub, pemuda desa dari tanah Jawa, beristrikan gadis dari kahyangan.
Keluarga ini tak pernah kekurangan beras. Meski sang istri selalu memasak
setiap hari, namun gabah-gabah tak kunjung habis hingga bertahun-tahun.
Hingga
tragedi terjadi, sang istri tak patuh pada aturan memasak yang menjadi rahasia
mengapa hanya butuh sebulir beras untuk bisa menghasilkan sepanci nasi.
Akhirnya gabah semakin berkurang, dan tersingkaplah sudah tempat di mana
selendangnya di sembunyikan. Selendang itu berada di dasar peti beras.
Selendang yang merupakan tiket baginya untuk kembali ke kahyangan.
Cerita
rakyat tersebut, tertanam dan tumbuh turun-temurun di kepala anak-anak kita.
Saya sendiri mendapati cerita tersebut pada saat berada di bangku sekolah dasar.
Sebenarnya, bukan tentang Joko Tarub-nya saya menggunakan cerita tersebut untuk
memulai tulisan ini. Tapi cerita perihal kebiasaan masyarakat kebanyakan di
Indonesia saat menyimpan persediaan makanan pokoknya di dalam rumah.
Sama
seperti Joko Tarub yang menyimpan berasnya di dalam peti, di beberapa daerah
lain juga punya cerita yang sama, dengan nama yang berbeda. Orang-orang Sunda punya
ruang khusus untuk menyimpan beras di rumah mereka, bernama padaringan. Ruang ini berada di belakang
rumah, berdampingan dengan dapur. Suku Minangkabau memiliki bangunan sendiri
yang disebut sibayau-bayau, bangunan
berkaki enam untuk menyimpan beras guna memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara
untuk penyimpanan beras yang akan digunakan untuk kegiatan sosial, mereka
memiliki sitinjau lauik yang hanya
berkaki empat. Wadah untuk menyimpan beras itu sendiri disebut rangkiang.
Jika orang
Minangkabau menyebut rangkiang, maka
orang Bugis pada umumnya menyebut rakkeang
(dalam kamus Bahasa Bugis berarti tingkap dalam). Orang-orang Bugis dulunya menyimpan persediaan gabah di atas
rumah. Rakkeang adalah ruang
tertinggi di dalam rumah. Karenanya, benda-benda pusaka, gabah, dan persediaan
makanan lain yang berasal dari hasil bumi bisa ditempatkan di sana. Penempatan
gabah di bagian tertinggi ruang rumah secara simbolik dimaknai sebagai
penghargaan atas padi sebagai sumber kehidupan.
Setiap
kali selesai panen, sebagai bagian dari kerja-kerja komunal di sawah, para petani
Bugis dahulu melakukan pesta panen yang disebut mappadendang (berdendang; bersuka cita). Pesta ini sebagai lambang kesyukuran dan kebahagiaan atas
keberhasilan memanen pada musim tersebut. Saat gabah telah disimpan di dalam
rumah, setiap keluarga melakukan ritual mabbaca
doang. Berdoa kepada Tuhan karena diberi kelimpahan rezeki berupa padi
sebagai sumber makanan untuk bertahan hidup.
Ibu
saya suatu waktu datang berkunjung ke kos saya. Ditegurnya saya saat membuang
sisa nasi yang sudah basi di kloset (karena tidak ada tempat khusus untuk cuci
piring, saya mencuci alat-alat makan di kamar mandi, dan jika ada sisa makanan,
saya langsung membuangnya ke kloset). Kata saya, pada akhirnya saat buang
hajat, makanan itu akan lari juga ke sana, jadi tidak apa. Tapi kata ibu saya,
“ettamu (ayahmu) adalah seorang
petani. Kau tak boleh memperlakukan nasi seperti itu. Mabusung ki’ matu’ (nanti kita berdosa)”.
Menurut
Ibnu Arabi, alam tidak lain adalah saudara manusia. Alam kadang disebut sebagai
al-insan al-kabir (manusia dalam
skala besar). Manusia sesungguhnya sangat dekat dengan alam semesta, dan karena
itu, mencintai alam adalah mencintai kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk
apa-apa yang dihasilkan oleh alam itu, sebagai sebuah pemberian dari Tuhan.
Selain
sebagai sumber makanan, padi juga adalah salah satu mata pencaharian keluarga
kami. Ibu saya percaya, ada hubungan intim antara kami dengan padi. Pengetahuan
ibu saya ini, dalam kajian dasar pengetahuan, tentu ditolak oleh penganut
materialis dan platonik. Ibu saya mengakui adanya pengetahuan metafisis, sebuah
landasan pengetahuan yang lebih dekat dengan landasan pengetahuan Islam.
Hubungan yang tidak tampak secara materi, namun ada pada hubungan yang sifatnya
jauh melampaui materi antara tubuh manusia dan padi itu sendiri.
Perihal
menghargai makanan, saya jadi ingat pesan Muhammad sallallahu alayhi wasallam. Tidak boleh seseorang mencela makanan
yang ada di depannya, seburuk apa pun makanan itu. Jika tidak enak, lebih baik
diam, atau tinggalkan. Makanan, kata nabi, tidak boleh dicela.
Nabi
memesankan secara simbolik akan pentingnya manusia berlaku mulia kepada semesta,
termasuk di hadapan makanan. Ibu saya, bahkan terhadap sisa padi, tak boleh di
buang langsung ke tempat hajat. Gabah-gabah hasil panen, dalam tradisi banyak
suku di Indonesia, Suku Bugis salah satunya; menyimpan gabah di “atas langit”
yang merupakan bagian tertinggi di dalam rumah. Demikian cara-cara mereka
menghargai makanan sebagai bagian dari diri mereka sendiri, bagian dari ciptaan.
Namun beriring
bergantinya sawah-sawah menjadi rumah-rumah makan, juga rumah kayu menjadi
rumah-rumah yang dibangun dengan beton. Ruang khusus berupa rakkeang semakin berkurang (hanya rumah
panggung yang bahannya dari kayu yang punya rakkeang).
Menemukan pesta mappadendang selepas
panen hampir tidak mungkin. Tak ada lagi gabah di kedudukan rumah tertinggi.
Gabah selepas panen hanya dimasukkan ke dalam karung dan dibiarkan begitu saja
di pinggir jalan, menunggu pembeli atau pihak tengkulak datang mengangkutnya ke
dalam mobil ‘pick-up’ atau truk-truk.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 19 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar