Jumat, 19 Juni 2015

Sekelumit Cerita tentang Gabah


Syahdan, adalah Joko Tarub, pemuda desa dari tanah Jawa, beristrikan gadis dari kahyangan. Keluarga ini tak pernah kekurangan beras. Meski sang istri selalu memasak setiap hari, namun gabah-gabah tak kunjung habis hingga bertahun-tahun.

Hingga tragedi terjadi, sang istri tak patuh pada aturan memasak yang menjadi rahasia mengapa hanya butuh sebulir beras untuk bisa menghasilkan sepanci nasi. Akhirnya gabah semakin berkurang, dan tersingkaplah sudah tempat di mana selendangnya di sembunyikan. Selendang itu berada di dasar peti beras. Selendang yang merupakan tiket baginya untuk kembali ke kahyangan.

Cerita rakyat tersebut, tertanam dan tumbuh turun-temurun di kepala anak-anak kita. Saya sendiri mendapati cerita tersebut pada saat berada di bangku sekolah dasar. Sebenarnya, bukan tentang Joko Tarub-nya saya menggunakan cerita tersebut untuk memulai tulisan ini. Tapi cerita perihal kebiasaan masyarakat kebanyakan di Indonesia saat menyimpan persediaan makanan pokoknya di dalam rumah.

Sama seperti Joko Tarub yang menyimpan berasnya di dalam peti, di beberapa daerah lain juga punya cerita yang sama, dengan nama yang berbeda. Orang-orang Sunda punya ruang khusus untuk menyimpan beras di rumah mereka, bernama padaringan. Ruang ini berada di belakang rumah, berdampingan dengan dapur. Suku Minangkabau memiliki bangunan sendiri yang disebut sibayau-bayau, bangunan berkaki enam untuk menyimpan beras guna memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara untuk penyimpanan beras yang akan digunakan untuk kegiatan sosial, mereka memiliki sitinjau lauik yang hanya berkaki empat. Wadah untuk menyimpan beras itu sendiri disebut rangkiang.

Jika orang Minangkabau menyebut rangkiang, maka orang Bugis pada umumnya menyebut rakkeang (dalam kamus Bahasa Bugis berarti tingkap dalam). Orang-orang Bugis dulunya menyimpan persediaan gabah di atas rumah. Rakkeang adalah ruang tertinggi di dalam rumah. Karenanya, benda-benda pusaka, gabah, dan persediaan makanan lain yang berasal dari hasil bumi bisa ditempatkan di sana. Penempatan gabah di bagian tertinggi ruang rumah secara simbolik dimaknai sebagai penghargaan atas padi sebagai sumber kehidupan.

Setiap kali selesai panen, sebagai bagian dari kerja-kerja komunal di sawah, para petani Bugis dahulu melakukan pesta panen yang disebut mappadendang (berdendang; bersuka cita). Pesta ini sebagai lambang kesyukuran dan kebahagiaan atas keberhasilan memanen pada musim tersebut. Saat gabah telah disimpan di dalam rumah, setiap keluarga melakukan ritual mabbaca doang. Berdoa kepada Tuhan karena diberi kelimpahan rezeki berupa padi sebagai sumber makanan untuk bertahan hidup.

Ibu saya suatu waktu datang berkunjung ke kos saya. Ditegurnya saya saat membuang sisa nasi yang sudah basi di kloset (karena tidak ada tempat khusus untuk cuci piring, saya mencuci alat-alat makan di kamar mandi, dan jika ada sisa makanan, saya langsung membuangnya ke kloset). Kata saya, pada akhirnya saat buang hajat, makanan itu akan lari juga ke sana, jadi tidak apa. Tapi kata ibu saya, “ettamu (ayahmu) adalah seorang petani. Kau tak boleh memperlakukan nasi seperti itu. Mabusung ki’ matu’ (nanti kita berdosa)”.

Menurut Ibnu Arabi, alam tidak lain adalah saudara manusia. Alam kadang disebut sebagai al-insan al-kabir (manusia dalam skala besar). Manusia sesungguhnya sangat dekat dengan alam semesta, dan karena itu, mencintai alam adalah mencintai kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk apa-apa yang dihasilkan oleh alam itu, sebagai sebuah pemberian dari Tuhan.

Selain sebagai sumber makanan, padi juga adalah salah satu mata pencaharian keluarga kami. Ibu saya percaya, ada hubungan intim antara kami dengan padi. Pengetahuan ibu saya ini, dalam kajian dasar pengetahuan, tentu ditolak oleh penganut materialis dan platonik. Ibu saya mengakui adanya pengetahuan metafisis, sebuah landasan pengetahuan yang lebih dekat dengan landasan pengetahuan Islam. Hubungan yang tidak tampak secara materi, namun ada pada hubungan yang sifatnya jauh melampaui materi antara tubuh manusia dan padi itu sendiri.

Perihal menghargai makanan, saya jadi ingat pesan Muhammad sallallahu alayhi wasallam. Tidak boleh seseorang mencela makanan yang ada di depannya, seburuk apa pun makanan itu. Jika tidak enak, lebih baik diam, atau tinggalkan. Makanan, kata nabi, tidak boleh dicela.

Nabi memesankan secara simbolik akan pentingnya manusia berlaku mulia kepada semesta, termasuk di hadapan makanan. Ibu saya, bahkan terhadap sisa padi, tak boleh di buang langsung ke tempat hajat. Gabah-gabah hasil panen, dalam tradisi banyak suku di Indonesia, Suku Bugis salah satunya; menyimpan gabah di “atas langit” yang merupakan bagian tertinggi di dalam rumah. Demikian cara-cara mereka menghargai makanan sebagai bagian dari diri mereka sendiri, bagian dari ciptaan.

Namun beriring bergantinya sawah-sawah menjadi rumah-rumah makan, juga rumah kayu menjadi rumah-rumah yang dibangun dengan beton. Ruang khusus berupa rakkeang semakin berkurang (hanya rumah panggung yang bahannya dari kayu yang punya rakkeang). Menemukan pesta mappadendang selepas panen hampir tidak mungkin. Tak ada lagi gabah di kedudukan rumah tertinggi. Gabah selepas panen hanya dimasukkan ke dalam karung dan dibiarkan begitu saja di pinggir jalan, menunggu pembeli atau pihak tengkulak datang mengangkutnya ke dalam mobil ‘pick-up’ atau truk-truk.


Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 19 Juni 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar