Sabtu, 15 Agustus 2015

Mereka yang Tidak Bersentuhan dengan Sekolah Formal


Apakah Anda pernah menonton film ‘Samin vs Semen’? Film dokumenter berdurasi 39 menit 25 detik ini berkisah tentang perjuangan orang-orang Samin yang tinggal di Jawa Tengah melawan kedatangan korporasi besar, Semen Gresik (sekarang Semen Indonesia), pada tahun 2007. Setelah mereka berhasil memenangkan gugatan menolak kedatangan Semen Indonesia, perusahaan ini memindahkan lokasi tujuan pembangunan pabriknya ke Rembang. Dan kita tahu bersama, peletakan batu pertama pembangunan pabrik tersebut telah dilakukan pada tengah tahun 2014.

Di sela-sela wawancara dengan orang-orang Samin, beberapa kali ditampilkan perjuangan ibu-ibu Rembang melawan para aparatur negara saat mencoba menghadang masuknya alat-alat berat di kampung mereka. Menurut mereka, kedatangan pabrik semen akan merusak ekosistem alam, terutama air yang sangat mereka butuhkan, dan tentu saja lahan yang digunakan untuk mengolah sumber makanan bagi penghidupan mereka.

Tapi maafkan saya, bercerita sedikit panjang soal kisah perlawanan itu. Tentu cerita di atas bukan maksud utama tulisan ini ditulis. Maka saya sarankan Anda untuk menonton film ini jika ingin mengetahui bagaimana perjuangan ibu-ibu itu mempertahankan tanah leluhur mereka. Youtube berbaik hati menayangkannya secara gratis. Cukup cari dengan kata kunci judul film tadi. Lagi pula, kisah-kisah memilukan tentang petani yang dirampas tanahnya seperti itu, saya pikir, banyak bertebaran di media-media sosial, yang sayangnya tampak tidak keren untuk diikuti ketimbang pergunjingan selebritas dan kisah hidup pribadi para penguasa dan pengusaha.

Baiklah, ada hal menarik yang ingin saya ceritakan dalam film yang memotret kehidupan para penduduk yang hidup di sepanjang pegunungan karst Kendeng tersebut. Pada salah satu sekuel, dua orang anak sedang belajar mengeja huruf di papan tulis hitam yang masih menggunakan kapur sebagai alat tulisnya. Pada sebagian besar dinding rumah, gambar hewan dan gambar-gambar lain terjejer; digunakan untuk media pembelajaran. Ibu mereka bercerita tentang anak-anaknya yang tidak menempuh pendidikan formal. Ia sendiri yang mengajari anak-anaknya di rumah.

Orang-orang Samin, sebagaimana pula banyak warga adat di negara ini (kita bisa menyebut Suku Baduy dan Suku Kajang di antaranya) tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah formal. Ada banyak penduduk yang tidak tersentuh, dan memang tidak ingin, menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga formal. Tulisan Butet Manurung, seorang aktivis pendidikan alternatif, dalam bukunya ‘Sokola Rimba’, cukup banyak bercerita perihal ini.

 “Tujuan [kami] menyekolahkan anak di rumah sendiri karena kami tidak mengejar pangkat dan jabatan. Tapi cita-citanya cukup memperbaiki tindakan dan ucapan.” Oh, tidakkah ucapan ibu ini berhasil mengolok-olok kita yang sekolah tinggi-tinggi tapi tidak pandai menjaga mulut untuk tidak saling menyakiti satu sama lain? Juga kita yang kenyang dengan buku dan diktat kuliah, tapi laku kita jauh dari sosok sebenar-benarnya manusia?

Mari menengok lanjutan ucapan ibu tadi : “[sementara] untuk mencukupi kebutuhan hidup cukup bertani. Kata leluhur kami, tujuan pendidikan bukan agar pandai. Yang penting mengerti. Kalau pintar, bisa digunakan untuk memperdaya. Atau menipu.”

Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, tentu. Terlebih tidak untuk mengajak Anda meninggalkan sekolah formal. Saya sendiri, tidak kurang dari 19 tahun hingga hari ini, telah mengenyam pendidikan di institusi formal hampir tanpa jeda. Bersekolah memberi manfaat, banyak! Hanya saja, menganggap bahwa orang yang telah mengumpulkan berbagai macam ijazah dari lembaga pendidikan formal, lebih berharkat dan bermartabat, atau lebih terdidik dan lebih beradab, dibanding yang tidak, itu sama saja dengan menisbahkakn segenap keagungan dan penghormatan pada pendidikan formal. Bukan pada proses belajar itu sendiri.

Lagipula, dalam kepercayaan orang Muslim yang tertuang dalam al Quran Surah Al Mujadilah (11), pengangkatan beberapa derajat oleh Tuhan, ditujukan kepada mereka yang mencari ilmu. Sekali lagi, yang mencari ilmu. Dan semoga kita sepakat, bahwa mencari ilmu tidak sama dengan mengenyam bangku sekolah. Bersekolah, adalah salah satu jalannya. Dan ini berarti masih ada jalan lain, yang tidak berhak untuk kita sepelekan. Meski itu hanya ilmu bercocok tanam yang diperoleh seorang pemuda dari ayahnya di sawah.

Kalau kita sama-sama bersepakat bahwa bersekolah adalah jalan untuk menuntut ilmu, bukan objek untuk meninggikan harkat dan dijadikan sebagai ajang keren-kerenan, kita tidak akan pernah dengan mudah mendapat ucapan sejenis ini lagi : “masa sudah sekolah di luar negeri begini dikira petani?”

Tuan-puan, memangnya kenapa kalau petani? Kita ini hanya remah-remah tulang dan kulit yang tidak bisa makan tanpa para petani itu.


Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 14 Agustus 2015)

2 komentar: