Apakah
Anda pernah menonton film ‘Samin vs Semen’? Film dokumenter berdurasi 39 menit
25 detik ini berkisah tentang perjuangan orang-orang Samin yang tinggal di Jawa
Tengah melawan kedatangan korporasi besar, Semen Gresik (sekarang Semen
Indonesia), pada tahun 2007. Setelah mereka berhasil memenangkan gugatan
menolak kedatangan Semen Indonesia, perusahaan ini memindahkan lokasi tujuan
pembangunan pabriknya ke Rembang. Dan kita tahu bersama, peletakan batu pertama
pembangunan pabrik tersebut telah dilakukan pada tengah tahun 2014.
Di
sela-sela wawancara dengan orang-orang Samin, beberapa kali ditampilkan perjuangan
ibu-ibu Rembang melawan para aparatur negara saat mencoba menghadang masuknya
alat-alat berat di kampung mereka. Menurut mereka, kedatangan pabrik semen akan
merusak ekosistem alam, terutama air yang sangat mereka butuhkan, dan tentu
saja lahan yang digunakan untuk mengolah sumber makanan bagi penghidupan
mereka.
Tapi
maafkan saya, bercerita sedikit panjang soal kisah perlawanan itu. Tentu cerita
di atas bukan maksud utama tulisan ini ditulis. Maka saya sarankan Anda untuk
menonton film ini jika ingin mengetahui bagaimana perjuangan ibu-ibu itu
mempertahankan tanah leluhur mereka. Youtube
berbaik hati menayangkannya secara gratis. Cukup cari dengan kata kunci judul
film tadi. Lagi pula, kisah-kisah memilukan tentang petani yang dirampas
tanahnya seperti itu, saya pikir, banyak bertebaran di media-media sosial, yang
sayangnya tampak tidak keren untuk diikuti ketimbang pergunjingan selebritas
dan kisah hidup pribadi para penguasa dan pengusaha.
Baiklah,
ada hal menarik yang ingin saya ceritakan dalam film yang memotret kehidupan
para penduduk yang hidup di sepanjang pegunungan karst Kendeng tersebut. Pada
salah satu sekuel, dua orang anak sedang belajar mengeja huruf di papan tulis
hitam yang masih menggunakan kapur sebagai alat tulisnya. Pada sebagian besar
dinding rumah, gambar hewan dan gambar-gambar lain terjejer; digunakan untuk
media pembelajaran. Ibu mereka bercerita tentang anak-anaknya yang tidak
menempuh pendidikan formal. Ia sendiri yang mengajari anak-anaknya di rumah.
Orang-orang
Samin, sebagaimana pula banyak warga adat di negara ini (kita bisa menyebut
Suku Baduy dan Suku Kajang di antaranya) tidak menyekolahkan anak-anak mereka
di sekolah formal. Ada banyak penduduk yang tidak tersentuh, dan memang tidak
ingin, menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga formal. Tulisan Butet
Manurung, seorang aktivis pendidikan alternatif, dalam bukunya ‘Sokola Rimba’,
cukup banyak bercerita perihal ini.
“Tujuan [kami] menyekolahkan anak di rumah
sendiri karena kami tidak mengejar pangkat dan jabatan. Tapi cita-citanya cukup
memperbaiki tindakan dan ucapan.” Oh, tidakkah ucapan ibu ini berhasil
mengolok-olok kita yang sekolah tinggi-tinggi tapi tidak pandai menjaga mulut
untuk tidak saling menyakiti satu sama lain? Juga kita yang kenyang dengan buku
dan diktat kuliah, tapi laku kita jauh dari sosok sebenar-benarnya manusia?
Mari
menengok lanjutan ucapan ibu tadi : “[sementara] untuk mencukupi kebutuhan
hidup cukup bertani. Kata leluhur kami, tujuan pendidikan bukan agar pandai.
Yang penting mengerti. Kalau pintar, bisa digunakan untuk memperdaya. Atau
menipu.”
Tulisan
ini tidak bermaksud menggurui, tentu. Terlebih tidak untuk mengajak Anda
meninggalkan sekolah formal. Saya sendiri, tidak kurang dari 19 tahun hingga
hari ini, telah mengenyam pendidikan di institusi formal hampir tanpa jeda.
Bersekolah memberi manfaat, banyak! Hanya saja, menganggap bahwa orang yang
telah mengumpulkan berbagai macam ijazah dari lembaga pendidikan formal, lebih
berharkat dan bermartabat, atau lebih terdidik dan lebih beradab, dibanding
yang tidak, itu sama saja dengan menisbahkakn segenap keagungan dan
penghormatan pada pendidikan formal. Bukan pada proses belajar itu sendiri.
Lagipula,
dalam kepercayaan orang Muslim yang tertuang dalam al Quran Surah Al Mujadilah
(11), pengangkatan beberapa derajat oleh Tuhan, ditujukan kepada mereka yang
mencari ilmu. Sekali lagi, yang mencari ilmu. Dan semoga kita sepakat, bahwa
mencari ilmu tidak sama dengan mengenyam bangku sekolah. Bersekolah, adalah
salah satu jalannya. Dan ini berarti masih ada jalan lain, yang tidak berhak
untuk kita sepelekan. Meski itu hanya ilmu bercocok tanam yang diperoleh
seorang pemuda dari ayahnya di sawah.
Kalau
kita sama-sama bersepakat bahwa bersekolah adalah jalan untuk menuntut ilmu,
bukan objek untuk meninggikan harkat dan dijadikan sebagai ajang keren-kerenan,
kita tidak akan pernah dengan mudah mendapat ucapan sejenis ini lagi : “masa
sudah sekolah di luar negeri begini dikira petani?”
Tuan-puan,
memangnya kenapa kalau petani? Kita ini hanya remah-remah tulang dan kulit yang
tidak bisa makan tanpa para petani itu.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 14 Agustus 2015)
Nice. Thank you :)
BalasHapusTerima kasih juga sudah membaca, Arinal. *Love you :)
Hapus