Menjelang pukul empat dini
hari, kami berdua meninggalkan rumah kos menuju bandara. Saya mengantarnya,
seorang pria yang tepat dua pekan lalu mengucap kesediaannya untuk menjadikan
saya sebagai pakaiannya−dan dia sebagai pakaian saya.
Lepas saya mengantarnya di
pintu keberangkatan bandara Ahmad Yani, Semarang, ingin berteriak memanggillnya
yang semakin berlalu membelakangi saya. Usia pernikahan kami masih berbilang
hari, tapi atas pilihan-pilihan yang kami ambil dan bersedia secara sadar untuk
bertanggung jawab atasnya, saya dan dia kini menetap di kota berbeda. Beberapa
bulan ke depan, bahkan kami harus bersiap menetap di negara yang berbeda.
Ada beberapa, untuk tidak
mengatakan banyak, hal yang berubah setelah pernikahan. Barangkali setiap
pasangan yang baru menikah juga mengalaminya. Namun kalau ada hal yang penting
untuk direnungi, tidak lain adalah tentang diri saya sendiri yang masih jauh
dari predikat ‘perempuan yang mampu memuliakan suaminya’.
Saya tiba-tiba teringat
novel yang ditulis oleh seorang pemenang Nobel Sastra kelahiran India, Tagore,
tentang seorang perempuan yang bernama Bimala. Perempuan ini menjalani
kehidupan rumah tangganya dengan bahagia, tapi itu di awal masa pernikahan.
Tidak lama setelah pernikahan, Bimala ditinggalkan suaminya yang melanjutkan
studinya ke luar negeri. Bimala menetap di rumah mertuanya, dan mengabdikan
diri sebagai seorang menantu yang berbakti.
Namun apa daya, semakin
lama, Bimala mulai merasa jenuh dengan kehidupannya di rumah. Perselisihan
dengan suaminya akibat pemahaman mereka bertabrakan, keengganan
mengkomunikasikan masalah keuangan, saling mencurigai satu sama lain, dan
komunikasi yang buruk, mengobarkan api pertengkaran rumah tangga Bimala. Singkat
cerita, setelah konflik yang tidak henti-hentinya datang dan tidak mampu
dipecahkan, rumah tangganya berakhir dengan jalan yang menyedihkan.
Atas kisah tersebut, tidak
bisa tidak membuat saya bergidik. Meski begitu, kisah tersebut tetaplah kisah.
Syukur jika kami bisa belajar dari sana. Lagi pula, saya yakin, dia−suami
saya, adalah tipe manusia pembelajar. Semoga kami bisa belajar bersama untuk
kemudian tumbuh bersama.
Cinta yang begitu besar
memancar di matanya, setiap kali dia memandang saya, membuat saya selalu merasa
hebat−bahkan meski saya sadari sepenuhnya bahwa saya jauh dari kata ‘hebat’
itu. Meski masih begitu dini menyimpulkan, namun bersamanya, saya selalu risau
jika tidak belajar. Dan di sisi lain saya tahu, dia tidak pernah bosan memberi
saya waktu untuk berproses menjadi lebih baik.
Suami, tetaplah hebat.
Semoga pernikahan kita menjadi berkah bagi semesta.
“Aku mencintaimu−mencintai ketabahanmu mencintaiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar