Minggu, 16 Agustus 2015

Dua Pekan Menjadi Perempuanmu−Muh. Akbar Bahar


Menjelang pukul empat dini hari, kami berdua meninggalkan rumah kos menuju bandara. Saya mengantarnya, seorang pria yang tepat dua pekan lalu mengucap kesediaannya untuk menjadikan saya sebagai pakaiannya−dan dia sebagai pakaian saya.

Lepas saya mengantarnya di pintu keberangkatan bandara Ahmad Yani, Semarang, ingin berteriak memanggillnya yang semakin berlalu membelakangi saya. Usia pernikahan kami masih berbilang hari, tapi atas pilihan-pilihan yang kami ambil dan bersedia secara sadar untuk bertanggung jawab atasnya, saya dan dia kini menetap di kota berbeda. Beberapa bulan ke depan, bahkan kami harus bersiap menetap di negara yang berbeda.

Ada beberapa, untuk tidak mengatakan banyak, hal yang berubah setelah pernikahan. Barangkali setiap pasangan yang baru menikah juga mengalaminya. Namun kalau ada hal yang penting untuk direnungi, tidak lain adalah tentang diri saya sendiri yang masih jauh dari predikat ‘perempuan yang mampu memuliakan suaminya’.

Saya tiba-tiba teringat novel yang ditulis oleh seorang pemenang Nobel Sastra kelahiran India, Tagore, tentang seorang perempuan yang bernama Bimala. Perempuan ini menjalani kehidupan rumah tangganya dengan bahagia, tapi itu di awal masa pernikahan. Tidak lama setelah pernikahan, Bimala ditinggalkan suaminya yang melanjutkan studinya ke luar negeri. Bimala menetap di rumah mertuanya, dan mengabdikan diri sebagai seorang menantu yang berbakti.

Namun apa daya, semakin lama, Bimala mulai merasa jenuh dengan kehidupannya di rumah. Perselisihan dengan suaminya akibat pemahaman mereka bertabrakan, keengganan mengkomunikasikan masalah keuangan, saling mencurigai satu sama lain, dan komunikasi yang buruk, mengobarkan api pertengkaran rumah tangga Bimala. Singkat cerita, setelah konflik yang tidak henti-hentinya datang dan tidak mampu dipecahkan, rumah tangganya berakhir dengan jalan yang menyedihkan.

Atas kisah tersebut, tidak bisa tidak membuat saya bergidik. Meski begitu, kisah tersebut tetaplah kisah. Syukur jika kami bisa belajar dari sana. Lagi pula, saya yakin, dia−suami saya, adalah tipe manusia pembelajar. Semoga kami bisa belajar bersama untuk kemudian tumbuh bersama.

Cinta yang begitu besar memancar di matanya, setiap kali dia memandang saya, membuat saya selalu merasa hebat−bahkan meski saya sadari sepenuhnya bahwa saya jauh dari kata ‘hebat’ itu. Meski masih begitu dini menyimpulkan, namun bersamanya, saya selalu risau jika tidak belajar. Dan di sisi lain saya tahu, dia tidak pernah bosan memberi saya waktu untuk berproses menjadi lebih baik.

Suami, tetaplah hebat. Semoga pernikahan kita menjadi berkah bagi semesta.


“Aku mencintaimu−mencintai ketabahanmu mencintaiku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar