Tak
kurang dari setahun, buku setebal 583 halaman ini akhirnya keluar dari jadwal
bacaan saya. Memasukkannya sebagai buku-yang-harus-dibaca-ulang dalam daftar
bacaan adalah harapan yang entah kapan bisa terealisasi, mengingat beberapa
bacaan prioritas yang masih menumpuk. Tapi buku ini layak dan pantas untuk
dibaca ulang. Ulasan yang detail terkait nama-nama orang, tempat dan waktu
cukup membuat pembaca mesti menajamkan ingatan saat menemukan nama yang sama,
dalam jeda halaman yang panjang.
Adalah
Muhammad, nama yang ditempatkan Michael Hart sebagai urutan pertama dalam
bukunya yang memuat 100 daftar manusia yang paling berpengaruh dalam panggung
sejarah dunia. Bahkan setelah buku tersebut direvisi berkali-kali sebab
dianggap kontroversial, nama tersebut masih di tempat yang sama. Michael Hart, seorang
ahli antropologi dan sejarah, tidak sungkan-sungkan mengakui kekagumannya
terhadap kehidupan Muhammad.
Membaca
Sirah Nabawiah adalah meretas kehidupannya, yang oleh Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfuri dimulai dengan mengenali kehidupan Muhammad, bahkan jauh hari
sebelum ia dilahirkan. Di mulai dari posisi bangsa Arab dan kaumnya, lalu
diikuti dengan penjabaran pembagian kelas oleh Kaum Quraisy sebelum kelahiran
Muhammad.
Saya
teringat salah satu sekuel film yang diedit oleh Joe Campana, Muhammad the Last Prophet. Film ini diawali
dengan cerita kesenangan berbalut kepongahan Abu Al Hakam saat menjadi pemimpin
di dataran Mekah. Bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya, ia menyambut para
penduduk Mekah maupun dari luar Mekah untuk datang menyembah patung-patung yang
dibuatnya dengan melemparkan koin-koin harta mereka di sekitar patung.
Koin-koin itu kemudian akan dimiliki Al Hakam dan kawan-kawannya. Al Hakam
dalam pelajaran agama semasa sekolah, kita kenal dengan nama Abu Jahal (dari
bahasa Arab “jahil” yang berarti bodoh).
Guna
mendatangkan para peziarah, para pemimpin ini menyuruh para budak membersihkan
patung-patung, tanpa bayaran. Masih dalam film yang sama, para pemimpin dapat
memiliki seorang budak dengan permainan-permainan yang sangat mengolok-olok
kemanusiaan. Misalnya dengan cara melempar batang besi yang harus tepat
sasaran. Jika tidak, seketika itu dia akan jadi budak. Atau dengan cara lain
yang lebih ekonomis, membelinya dari pemilik sebelumnya. Nyawa dan harkat
kemanusiaan diperjualbelikan tidak ubahnya barang.
Pada
masa inilah, Muhammad datang. Menolak semua hal tersebut dengan membawa ajaran baru,
yang kemudian tergambar dari kebahagiaan seorang budak bernama Bilal−dimerdekakan
Abu Bakar As Shiddiq. “Tidak ada yang
namanya kaya atau budak di mata Allah. Semua orang sama. Dan orang miskin tidak
boleh direndahkan dan dibenci, melainkan diperhatikan.” Kalimat inilah yang
disampaikan Muhammad pada awal penyebaran keyakinan yang dibawanya. Dan seperti
yang kita tahu, mereka para pengikut awal, sebagian besar adalah mereka yang
tertindas. Ini menjadi semacam peringatan keras, kepada kaum agamawan saat ini,
betapa ajaran yang dibawa Muhammad sangat memperhatikan orang-orang miskin nan
papa, tertindas dan tergilas oleh kuasa. Bukankah saat ini, kita rindu pada
mereka yang menggunakan simbol-simbol agama dalam dirinya, baik berupa pakaian pun
ucapan, turut dan terjun menyuarakan kemanusiaan? Melakukan perlawanan pada
penguasa yang dzalim dan menolak segala bentuk kebijakan yang mengucilkan mereka
yang tidak berdaya.
“Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan
dan kekufuran”, doa Muhammad. Doa ini sering dipelintir oleh sebagian
kalangan yang mengokohkan kelas-kelas baru dalam masyarakat dengan asumsi :
-Muhammad
membenci kemiskinan, karena itu kita tidak boleh miskin.
-Kita
harus kaya dan itu hanya dengan kerja keras sendiri.
-Sementara
mereka yang miskin, itu karena kemalasan mereka sendiri.
Aduh!
Padahal,
seseorang pernah bertanya pada Aisyah, bagaimana dia dan Muhammad bisa bertahan
hidup sebab selama ini tidak pernah dilihatnya adonan roti dan hidangan daging
domba hingga Muhammad wafat. Hanya ada “dua
hal, korma dan air”, kata Aisyah.
Muhammad
membenci kemiskinan akibat penindasan, tapi ia menyayangi orang-orang miskin. Bahkan
cara hidupnya sendiri sama seperti cara hidup kebanyakan umatnya yang ‘kecil’.
Muhammad juga membenci perbudakan, tapi bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan
pembebasan para budak. Maka segala arogansi kekuasaan, diskriminasi kulit,
penumpukan kekayaan yang kesemuanya mengarah pada struktur ekonomi yang
menindas, dilawannya dengan konsisten. Bahkan jika dengan itu, dia harus
berhadap-hadapan dengan paman-pamannya sendiri, para pemimpin Quraisy.
Kita
tahu, perbudakan adalah hal yang mengakar pada masa sebelum kelahiran Muhammad.
Maka, menghilangkannya tidak bisa seketika saat Muhammad mengumumkan kerasulannya.
Selama hidup, Muhammad pun masih memelihara budak, yang dalam penjelasan buku
shirah pemenang lomba penulisan sejarah Islam ini, beberapa didapatkan melalui
tawanan perang. Namun, Muhammad perlahan-lahan−tetapi konsisten−membuka jalan
pembebasan atas manusia dari perbudakan yang telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat saat itu. Kita bisa meraba hal ini dengan mengetahui bahwa
sehari sebelum wafat, Muhammad memerdekakan seluruh pembantu laki-lakinya (hlm
557). Nama budak yang cukup dikenal, Zaid bin Haritsah, tidak hanya
dimerdekakan, tapi bahkan dijadikan anak angkat semasa hidupnya. Sementara dua
nama perempuan ini : Juwairiyah binti Al-Harits dan Shafiyah binti Huyai bin
Akhthab, adalah dua tawanan perang yang tidak hanya dibebaskan, tapi diangkat
derajatnya dengan menjadikan keduanya sebagai istrinya sendiri. Menganalisis
lebih jauh, keduanya pun adalah anak perempuan kepala suku yang cukup
berpengaruh pada masanya. Maka pernikahan itu, selain pembebasan, juga sebagai
upaya politik taktis Muhammad memenangkan hati kepala suku yang memiliki
pengikut dengan jumlah yang tidak sedikit. Di zaman Muhammad menyebarkan Islam,
masyarakat sangat menjunjung tinggi sikap saling memuliakan sesama besan atau
menantu. Maka dengan pernikahan itu, Muhammad membuka jalan menyebarkan Islam
dengan cara yang lebih kekeluargaan. Pada kondisi ini, lagi-lagi, siapa pun lelaki
yang mengaku hendak berpoligami dengan alasan sunnah tanpa memahami konteks
Muhammad berpoligami, ada baiknya membuka kembali lembaran sejarah kehidupan
Muhammad.
Dalam
shirah ini, penulis cukup lengkap mengurut nama-nama istri nabi beserta
beberapa penjelasan kehidupan Ummahatul
Mukminin. Tentang topik ini, dapat dibuka di sepanjang bab yang berjudul
‘Rumah Tangga Nabawi’ (hlm 563-570).
Masih
begitu banyak−dan tidak akan pernah ada habisnya kisah keteladanan itu hingga
umat manusia masih melanjutkan keturunannya−untuk dikisahkan. Beberapa kisah
itu, ada di dalam buku Al-Mubarakfuri. Membacanya adalah membaca perjalanan
seorang manusia yang berakhlak kitab suci. Membacanya adalah usaha membuka
pintu-pintu cahaya, sebab dia tiada lain adalah manusia yang terlahir dengan
cahaya dari tubuh perempuan bernama Aminah, yang diturunkan oleh Yang Maha Cahaya.
Salam
dan salawat semoga senantiasa tercurah kepada kekasih-Nya, Muhammad. Allahumma salli ‘ala Muhammad, wa ‘ala aaliy
Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar