Tiga
hari dengan awal pagi yang sama, saya bergegas meninggalkan kosan. Di deretan
lorong berikutnya, setelah beberapa puluh meter dari kosan, saya singgah di
tempat Pak Dadang. Sarapan. Pagi ini, perpustakaan buka jam 8. Hari Senin-Jumat
buka jam 7. Hari ini Sabtu, tutupnya pun lebih awal dari biasanya−jam 6 sore.
Saya
melewati dua orang lelaki paruh baya yang sedang mengobrol ringan di samping
rumah Pak Dadang. Seorang di antaranya memegang rokok setengah batang yang belum terhisap. Seorang lagi, luput dari perhatian saya. Saya mengenali yang
memegang rokok sebab beberapa hari sebelumnya, dia membantu saya mengukur badan. Dia
sepertinya seorang penjahit, meski saya tidak begitu yakin karena tempat di
mana dia mengukur badan saya lebih layak disebut ruang tamu. Tapi jelasnya,
atas instruksi ibu-ibu yang saat itu sedang duduk di tempat yang sama kedua
lelaki tadi mengobrol, saya bisa ke rumah lelaki tadi. Memintanya untuk
menolong saya mendapatkan ukuran pakaian yang harus dikirim ke Makassar
untuk suatu keperluan. Dia tidak memberi jawaban angka, saat saya tanyakan padanya
berapa yang harus saya bayar atas jasanya mengukur ukuran pakaian saya. Tidak,
jawabnya. Tidak usah.
Di
sela-sela sendokan sarapan nasi rames, Pak Dadang membungkus beberapa gorengan
dan bubur di samping saya. Agak berbisik, dia katakan, “untuk bapak tukang
sampah”. Saya mengintip ke depan. Penglihatan saya menangkap sebuah gerobak sampah yang disampingnya berdiri sepasang kaki seorang lelaki. Pak Dadang menyerahkan
bungkusannya. Tanpa menerima imbalan uang seharga makanan yang sudah dibungkus.
Istrinya, sembari menggendong cucunya, terlihat biasa saja. Mungkin mereka
terbiasa memberi dengan cara seperti itu, batin saya.
Pada
seruputan terakhir teh saya, datang dua lelaki muda. Hendak sarapan nasi juga,
tapi nasi sudah habis terjual pagi itu. Pak Dadang masuk ke dalam rumah,
setelah mengatakan kepada kedua pemuda itu, “tunggu sebentar, nasinya di piring
saja ya. Ayo masuk!”. Dia tidak ingin mengecewakan pembelinya, barangkali. Nasi
di dalam rumah, yang disiapkan untuk keluarga, dibawanya keluar. Dihidangkan kepada dua pembeli tadi. Saya juga pernah beberapa kali mendapatkan nasi di
piring saat datang agak siangan. Kata Pak Dadang, nanti saya kelaparan di
kampus. Saya harus sarapan dulu.
Setelah
membayar satu bungkus nasi rames dan sebuah gorengan−teh disediakan gratis−sejumlah
tiga ribu rupiah, saya meninggalkan Pak Dadang yang masih sibuk menata
gerobaknya untuk bersiap-siap keliling Pleburan. Saya kembali melewati dua
lelaki tua yang sedang mengobrol tadi. Masih dengan cara yang sama, tersenyum dan sedikit membungkuk. Dibalasnya lelaki penjahit itu dengan cara
yang sama pula dan mengatakan “monggo”, yang sedikit
lebih keras dari yang saya ucapkan.
Saya
tiba di perpustakaan didahului satu orang pengunjung yang sedang duduk di depan
loker. Dia belum mengisi buku daftar pengunjung. Nama saya menempati urutan
pertama lagi, setelah dua hari berturut-turut juga menempati kolom yang sama pada
daftar pengunjung di ruang referensi. Perpustakaan Daerah Jawa Tengah ini,
terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama terdapat beberapa bagian: ruang
bermain dan belajar anak, tempat pengurusan kartu perpustakaan, beberapa bangku
besi untuk duduk mengantri mengurus kartu, dua toilet, mushallah, ruang loker,
tempat absen digital pengunjung, tempat pegawai dan administrasi umum, dan
sebuah ruang referensi−yang menempati lokasi paling besar di lantai satu. Di
dalam ruang referensi terdapat lantai mini untuk belajar atau mengerjakan
tugas. Kursi dan mejanya di susun membentuk format segi empat, yang kursinya saling berhadapan. Tiga
hari ini saya menghabiskan waktu mengerjakan tesis, sejak perpus buka sampai
tutup, di lantai mini itu. Pada hari-hari biasa, saya berada di lantai II. Di
ruangan buku-buku fiksi, tempat di mana saya bisa menemukan buku Kawabata,
Shakespeare, Sylvia Plath, dan penulis-penulis novel asing lain yang karyanya susah untuk saya dapatkan jika ingin membacanya. Kadang jika mengantuk di
sana, saya beralih ke ruang berkala yang berada di tengah lantai II, tempat
koran-koran dan majalah disuguhkan secara berkala. Atau jika tidak, saya ke
ujung kanan lantai II, melewati ruang baca untuk anak-anak yang berisi buku bergambar
dan cerita anak. Di sana, ruang bagi yang ingin membaca buku pengetahuan umum.
Beribu-ribu buku berjejer rapi, dipisahkan sesuai disiplin keilmuan. Mulai dari sejarah hingga kesehatan.
Hari
ini, saya harus meninggalkan perpustakaan lebih awal lagi. Seperti Sabtu
biasanya, pukul 3 sore. Beberapa pekan ke depan, setelah melakukan ujian tutup
studi saya (aamiin), saya akan meninggalkan tempat ini. Juga meninggalkan kebiasaan saya
makan di tempat Pak Dadang sebelum ke surga kecil yang ada di Semarang ini.
Ass, menarik juga catatan ringannya. Bisa ndak ya kita kumpulin catatan pengalaman anak-anak Sulsel yg belajar di Jawa ..?
BalasHapusWah, menarik idenya. Tapi saya sedang harus mengerjakan tugas yang lain.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus