Setelah gelombang beruntun teoresasi epistemologis bergerak melewati lima kurun sejarah penelitian di bidang sosial [versi Denzin dan Lincoln: tradisional, modernis (keemasan), genre yang kabur, krisis representasi dan kurun post modern (masa kini)], beragam sudut pandang kualitatif bermunculan. Kita bisa menyebut beberapa di antaranya: hermeneutika, strukturalisme, semiotika, fenomenologi, etnografi, studi kritis, dan banyak lagi. Berbagai jenis sudut pandang tersebut kemudian diadopsi oleh lintas disiplin ilmu sosial untuk dijadikan metode penelitian. Termasuk akuntansi, tentu saja.
Kita
boleh senang dengan banyaknya jalan yang bisa digunakan untuk menemukan jawaban
dari pertanyaan penelitian kita. Tergantung, metode mana yang lebih
mengakomodasi untuk sampai pada jawaban yang kita inginkan. Namun, sayang
sekali, karena metode-metode di atas tampaknya keren dan yah katanya antimainstream
(yang mengatakan dan mempolakan kubu-kubu seperti ini tidakkah masih terjajah
dengan pola pikir inti dan tepi?) maka banyak yang kemudian tertarik
mengadopsinya. Ini tentu saja membahagiakan, mengingat beberapa kalangan yang
menganaktirikan jenis penelitian dengan metode-metode tersebut. Tapi seperti
sisi Ying dan Yang, ini bisa jadi sebaliknya: menyedihkan!
Banyak
yang mengadopsi metode hanya karena metode itu keren. Penelitian sebagai unjuk
keren-kerenan? Huh! Saya sering
mendapatkan artikel atau tugas penelitian yang di bagian metode dijelaskan akan
menggunakan metode yang ‘wah’, tapi selanjutnya saya harus kecewa, karena
metode tersebut hanya terkesan tempelan belaka.
Saya
bisa mengambil contoh, dialektika tokoh X, misalnya. Saya membayangkan bagian
hasil penelitiannya akan penuh dengan hasil analisis yang tajam, yang meminjam
metode dialektika si tokoh X, cara berpikir si tokoh X. Tapi kemudian saya
harus kecewa. Metode hanya tinggal definisi saja. Tidak ‘hidup’ dalam
penelitian itu.
Nah,
menjawab judul tulisan ini, ‘Bagaimana Metode Penelitian Kualitatif yang Keren
Menurut Saya?’ Saya kira jelas, metode tidak sekedar buat gaya-gayaan. Tapi
hadir di seluruh proses penelitian itu. Mungkin benar apa yang dosen pembimbing
saya katakan, metode yang kita pilih itu seperti memilih iman. Saya, misalnya,
tidak hanya mengaku Islam, tapi nilai-nilai Islam itu harus menjadi napas dalam
setiap gerak saya (aamiin).
Barangkali terlalu berat pengandaiannya sih.
Tapi, saya rasa, itu tidak berlebihan.
Memilih
metode penelitian berarti menghadirkan karakter-karakter yang sejalan dengan
paradigma penelitian itu sendiri. Kan tidak lucu kalau penelitiannya pendekatan
kritis, tapi hasil penelitiannya hanya menyodorkan ‘apa yang ada’ (das sein). Bukan yang ‘seharusnya ada’ (das sollen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar