Desember
2011, “The Bell Jarr” Sylvia Plath
diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pada masa itu, saya belum tahu-menahu, oh jangankan Sylvia Plath,
sastrawan di Indonesia saja belum begitu banyak yang saya tahu. Bacaan saya,
meminjam istilah Eka Kurniawan, termasuk lambat bertumbuh.
Saya
sering membaca nama Sylvia Plath di beberapa ulasan tentang penulis puisi yang
difavoritkan. Sekitar sepekan lalu, saya membaca “Melihat Api Bekerja” milik M
Aan Mansyur, dan kembali menemukan nama Sylvia Plath di sana. Penasaran, saya memutuskan
memanfaatkan fasilitas Google untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Sylvia Plath
dan karya-karyanya.
Rupanya,
dia tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tapi juga penulis novel. “The Bell Jar” adalah satu-satunya novel
yang ditulisnya, dan pada awalnya diterbitkan dengan nama samaran, beberapa
pekan sebelum ia memutuskan bunuh diri. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam
25 bahasa, dan pada sampulnya Ahmad Tohari menyatakan novel ini pantas disebut
sebagai salah satu novel terbaik yang pernah ditulis. Selain sebagai penulis,
perempuan kelahiran Boston, 1932, ini kalau tidak salah juga pernah bekerja
sebagai pustakawan (saya lupa membacanya di mana).
Meski
termasuk telat membaca karya penulis yang wajahnya banyak dikagumi lelaki ini,
sejujurnya saya tidak begitu menyesal. Pada masa seharusnya saya membaca
novelnya, kalau boleh beralasan, saya sedang disibukkan dengan hal-hal
menyenangkan yang lain. Salah satunya, menjadi teman di Komunitas Sekolah
Rakyat KAMI. Lagi pula, di novel ini, Sylvia Plath memberi wejangan itu saya
kira: kau harus melakukan hal-hal yang membuatmu bahagia, itu terutama.
Bagaimana bisa kau membagi kebahagiaan kepada yang lain, kalau kau sendiri
tidak bahagia? Sayang sekali, Sylvia Plath pada akhirnya memutuskan untuk bunuh
diri di usianya yang masih terbilang muda. Yah, soal wejangan, paling susah
memang menasihati diri sendiri sih ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar