Judul
tulisan ini berasal dari ucapan seorang dosen di tempat saya menempuh
pendidikan tinggi. Apa yang disampaikannya itu, di kemudian hari, selalu saya
ingat hingga hari ini. Tiap kali bertemu tenaga pendidik, baik guru, dosen
atau bahkan seorang guru besar, yang merasa dirinya selalu benar, dalam hal ini
tidak berupaya memahami dan menghargai pendapat orang lain, saya jadi terkenang
ucapan dosen tadi.
Barangkali
dosen dengan tipe merasa-selalu-benar lupa bahwa mereka adalah rocker, di mana rocker juga manusia. Bisa salah. Bebas untuk dikritik−dengan
cara-cara yang baik dan benar, tentu saja.
***
Adalah
Amir Khan, pemeran utama film Bollywood yang naik daun sekitar tiga tahun
silam, 3 Idiots, pernah mengingatkan,
bahwa tugas seorang dosen tidak berhenti pada tahap memberi, tapi juga bersedia
menerima. Menerima ilmu dan pengetahuan baru yang berbeda dari orang lain,
termasuk yang berasal dari para mahasiswanya sendiri. Juga memiliki keluasan
hati untuk bersedia dikritik. Film ini, saya kira, layak direkomendasikan bagi
setiap orang yang terlibat dalam dunia pendidikan secara umum.
Dosen
yang ada dalam film tersebut membanggakan aturan-aturan yang tidak membebaskan.
Bagi sang dosen (yang merangkap sebagai rektor), pengalaman menjadikan kampus
yang dipimpinnya sebagai salah satu universitas terbaik di India, menjadi bukti
bahwa pola-pola yang ditempuh selama ini sudah berada pada jalur yang benar.
Membangun habitus untuk hidup disiplin tanpa kenal toleran sama sekali,
mengagungkan kompetisi (bukannya menularkan semangat belajar dengan cara
mencintai belajar itu sendiri) dan menghilangkan unsur “hati” dalam proses
interaksi dengan para mahasiswa.
Sekali
waktu, dia menolak mentah-mentah karya seorang mahasiswa tingkat akhir, sebuah
miniatur pesawat terbang yang dapat berfungsi sebagai kamera pengintai. Lebih
memilukan lagi, dia menganggap remeh karya tersebut. Dia membuangnya ke tong
sampah.
Tidak
ada usaha untuk menghargai proses yang sudah dilakukan si mahasiswa. Karya yang
tidak sesuai dengan ekspektasi sang dosen, layaknya remah-remah yang lebih
pantas diperlakukan seperti sampah. Apa yang kemudian terjadi adalah, mahasiswa
tadi stres, lantas memilih gantung diri di apartemennya.
Beginilah
sistem yang telah dibanggakan oleh sang dosen, secara tidak langsung membunuh manusia
yang terperangkap dalam sistem tersebut. Tidakkah ini mengingatkan kita dengan
kasus beberapa siswa yang bunuh diri karena gagal melewati ujian nasional pada
tahun-tahun silam di negeri ini?
Hal-hal
demikian, bagi Amir Khan, adalah suatu bentuk penindasan dalam dunia
pendidikan. Dia mengkritik habis-habisan pola-pola yang dilakukan oleh dosen
tersebut. Baginya, kampus semacam itu hanya memproduksi mahasiswa layaknya mesin.
Setelah lulus, menjadi siap pakai di pasar tenaga kerja.
Bagi
Amir Khan, siswa harusnya lebih banyak memahami daripada menghafal. Siswa tidak
boleh hidup dalam menara gading, yang berjarak dengan masyarakatnya. Siswa belajar
karena mencintai pelajarannya, bukan karena ketakutan dihukum. Dan pendidik
adalah seorang pembelajar, bukan subjek yang merupakan sumber kebenaran semata.
Saya jadi
ingat dengan salah satu teman bergiat di Sekolah
Rakyat KAMI (Komunitas Anak Miskin). Namanya Kadrina Rauf. Setiap kali ditanya
tentang apa yang dilakukannya di sekolah bersama anak-anak, dijawabnya: “kami
belajar dan bermain bersama. Kami semua adalah teman”.
Bagi
Kak Gina−begitu kami memanggilnya, dia bukanlah subjek, bukan seorang guru yang
datang mengajar di sekolah. Dia adalah seorang teman yang datang untuk belajar
bersama adik-adik KAMI.
Saya
menyadari, pelajaran yang saya dan teman-teman dapatkan justru lebih banyak
dari apa yang coba kami bagi kepada anak-anak di sekolah KAMI. Lebih dari sekedar
kesenangan saat belajar membaca, perkalian, mengaji, dan bermain bola hingga
membuat layang-layang bersama.
Pada
cerita yang lain, sekali waktu saat menjelang musim libur, dosen saya di Unhas
memanggil saya secara pribadi. Usut punya usut, beliau sedang mengevaluasi proses
belajar yang dilakukannya di kelas. Saya diminta berkomentar tentang proses
belajar selama satu semester itu, apa-apa yang patut dipertahankan, apa saja
yang dianggap tidak menambah kualitas pembelajaran, dan tidak lupa meminta ide
untuk perbaikan di kelas berikutnya.
Tidak
hanya saya (sebagai mahasiswa yang mengikuti kelasnya), ditanyai perihal
seperti itu. Beliau melakukan hal yang sama kepada para mahasiswa yang
diwalikannya.
Apa
yang dilakukan sang dosen adalah sebuah upaya untuk mau mendengar, mau memperbaiki
diri. Pengalaman mengenyam bangku sekolah, membuat saya cukup yakin, bahwa tidak
banyak tenaga pendidik di negeri ini yang bersedia melakukan hal yang sama. Mau
mengetahui isi kepala peserta kelas dan memberi ruang kepada [maha]siswa untuk
bersama-sama menjalankan proses belajar yang dianggap baik. Membebaskan dan
memanusiakan bukan?
Paulo
Freire, lewat ide 'Pendidikan Kaum
Tertindas'-nya, telah jauh-jauh hari mengingatkan, bahwa seorang pendidik
sama sekali tidak boleh memainkan peran penindas di dalam kelasnya. Kalau nasehat
Freire tersebut terlalu jauh untuk konteks negeri kita, coba yang dekat-dekat
saja. Multatuli−salah seorang penggagas pendidikan di Indonesia, toh juga pernah mengingatkan, bahwa
tugas manusia [sebagai seorang pembelajar] adalah menjadi sebenar-benarnya
manusia.
Akhirnya,
kepada para dosen yang selalu menyadari keterbatasannya sebagai manusia, dan
karena itu jauh dari ucapan “pokoknya begini dan begitu”, saya ingin mengucap
terima kasih. Tidakkah kita bersepakat bahwa laku menghargai cara pandang dan
senantiasa mau belajar, adalah laku sebenar-benarnya pendidik?
***
Oh ya,
dosen yang mengeluarkan pernyataan yang menjadi judul tulisan ini, tidak lain
adalah dosen pembimbing penelitian tugas akhir saya saat ini. Saya memanggilnya
“Pak Anis”, seorang pembimbing yang tidak pernah menganggap apa yang saya tulis
sebagai remah-remah, dan senantiasa berbesar hati membuka ruang bagi ide-ide
saya untuk bertumbuh. Negeri ini, saya kira, butuh lebih banyak tenaga pendidik
sepertinya.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 09 Mei 2015)
Tujuan dosen adlh "menghasilkan" mhswa yg lbh berwawasan darinya.
BalasHapus