Kepada
manusia yang hidup dipenuhi mimpi-mimpi dan kekhawatiran tentang masa depan
pribadi, mungkin ada baiknya membaca novel pertama pemenang Nobel Sastra 1957
yang berjudul ‘L’Étranger’. Albert Camus,
penulis keturunan Spanyol yang dibesarkan di Aljazair, dengan cerdas
mempertanyakan hal paling dasar dari kehidupan manusia, “untuk apa kita
hidup?”. Novelnya ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul ‘The Stranger’ dan beruntung diterbitkan
pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Orang Asing’ terbitan Obor.
Karya
Camus ini banyak mewarnai karya sastra dunia. Di Indonesia, kita bisa menyebut
nama Andina Dwifatma dan Sabda Armandio Alif sebagai dua di antara penulis-penulis
muda yang karyanya kental dengan nuansa absurditas yang dibawa oleh Camus.
“Ketika
masih sekolah, aku mempunyai banyak ambisi... Tetapi dengan cepat aku mengerti
bahwa semua itu tidak nyata penting” (hlm. 43).
“Akhirnya
kukatakan pada diriku sendiri bahwa yang paling bijaksana adalah tidak memaksa
diri” (hlm 114).
Dua
kutipan di atas, kira-kira bisa sedikit menggambarkan perihal mengapa Camus,
seorang penulis dan pemikir Eropa ini, akhirnya tiba pada satu kesimpulan yang
paling dikenal darinya, “la vie ne vaut
pas la peine d’être vêcue”. Hidup tak layak dijalani, katanya.
Bagi
Camus, pada akhirnya kita tiba pada suatu kematian. Setiap orang tidak dapat
mengelak dari yang namanya mati. Tapi akan sama saja; manusia berhenti bernapas
di umur 20 atau 50 tahun. Pada akhirnya akan dilupakan juga oleh orang-orang.
Itulah kenapa, dalam novelnya ini, Camus menjadikan sosok ‘aku’ tak juga takut
dengan kematian hingga akhirnya dihukum gantung oleh pemerintah.
Kalau
pada akhirnya kita hanya sekedar menumpang di dunia ini, kenapa kita ngotot dan
memenuhi kehidupan kita dengan mimpi-mimpi yang terkadang menyakiti orang lain?
Kenapa juga kita harus mengejar sesuatu yang pada akhirnya membuat kita
terasing, bahkan tak jarang menjauhkan kita dengan orang-orang yang kita
kasihi? Pertanyaan-pertanyaan ini lah yang kira-kira dibentangkan jawabannya
oleh Camus di sepanjang cerita dalam karyanya tersebut.
Kita
memaksakan diri untuk menjadi begini dan begitu, meski kita tak pernah
benar-benar paham untuk apa semua itu diusahakan dan diperjuangkan. Atau kita
sudah tahu itu untuk apa, tapi kehilangan pijakan, apakah pencapaian-pencapaian
itu benar-benar membawa kita pada tujuan dan makna hidup yang hakiki.
Kita
menyimpan terlalu banyak tuntutan orang di kepala, tanpa kita sadari. Hidup
berlomba-lomba memenangkan citra dan nama, untuk menunjukkan kehebatan di mata
publik. Hidup yang haus akan pengakuan. Ya, kita hidup pada zaman di mana
eksistensi kita, rupanya, ditentukan oleh penilaian orang lain.
Ambisi
pribadi yang meletup-letup. Lalu alpa menemukan jawaban untuk apa semua itu?
Padahal, Socrates pernah mengatakan kurang lebih; hidup yang tak terperiksa
secara filosofis adalah hidup yang tak layak untuk dijalani.
Albert
Camus mungkin salah dalam novelnya, setelah ‘aku’ memeriksa dan merenungi
kehidupannya, akhirnya ia menganggap bahwa hidup ini tak layak dijalani. Tapi
setidaknya, penulis kelahiran Mondovia itu telah sampai pada titik pemaknaannya
atas hidup ini. Meski memaknainya dalam bentuk negatif. Tapi bagi mereka yang
terus saja berlari, mengejar begitu banyak hal dalam hidup ini dan tak pernah
mengerti betul untuk apa semua itu diraih, bukankah itu ironis?
Sekali
lagi, Albert Camus mungkin salah dalam memaknai hidup ini sebagai perjalanan
yang tak ada artinya. Tapi tidakkah hasil perenungan Camus di dalam novel ini berhasil
mengejek-ejek kita yang masih berpijak di bumi, tapi tak pernah benar-benar
paham untuk apa sebenarnya kita hidup?
Akhirnya,
membaca karya Camus, tidak hanya memenuhi kebutuhan saya akan bacaan sastra
yang menyenangkan. Namun sebagai pembaca, saya terbawa pada perasaan yang
sentimentil dan refleksi yang dalam. Perasaan yang membawa ingatan saya pada
pertanyaan seorang guru pada sekitar tiga tahun silam, “mengapa sampai hari ini
kamu masih memutuskan untuk hidup?”. Apa guru saya itu juga pernah membaca
novel Camus ya?
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat,
29 Mei 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar