Minggu, 31 Mei 2015

Pesan dari Camus untuk Manusia yang Dituntut Ambisi


Kepada manusia yang hidup dipenuhi mimpi-mimpi dan kekhawatiran tentang masa depan pribadi, mungkin ada baiknya membaca novel pertama pemenang Nobel Sastra 1957 yang berjudul ‘L’Étranger’. Albert Camus, penulis keturunan Spanyol yang dibesarkan di Aljazair, dengan cerdas mempertanyakan hal paling dasar dari kehidupan manusia, “untuk apa kita hidup?”. Novelnya ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘The Stranger’ dan beruntung diterbitkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Orang Asing’ terbitan Obor.

Karya Camus ini banyak mewarnai karya sastra dunia. Di Indonesia, kita bisa menyebut nama Andina Dwifatma dan Sabda Armandio Alif sebagai dua di antara penulis-penulis muda yang karyanya kental dengan nuansa absurditas yang dibawa oleh Camus.

“Ketika masih sekolah, aku mempunyai banyak ambisi... Tetapi dengan cepat aku mengerti bahwa semua itu tidak nyata penting” (hlm. 43).
“Akhirnya kukatakan pada diriku sendiri bahwa yang paling bijaksana adalah tidak memaksa diri” (hlm 114).

Dua kutipan di atas, kira-kira bisa sedikit menggambarkan perihal mengapa Camus, seorang penulis dan pemikir Eropa ini, akhirnya tiba pada satu kesimpulan yang paling dikenal darinya, “la vie ne vaut pas la peine d’être vêcue”. Hidup tak layak dijalani, katanya.

Bagi Camus, pada akhirnya kita tiba pada suatu kematian. Setiap orang tidak dapat mengelak dari yang namanya mati. Tapi akan sama saja; manusia berhenti bernapas di umur 20 atau 50 tahun. Pada akhirnya akan dilupakan juga oleh orang-orang. Itulah kenapa, dalam novelnya ini, Camus menjadikan sosok ‘aku’ tak juga takut dengan kematian hingga akhirnya dihukum gantung oleh pemerintah.

Kalau pada akhirnya kita hanya sekedar menumpang di dunia ini, kenapa kita ngotot dan memenuhi kehidupan kita dengan mimpi-mimpi yang terkadang menyakiti orang lain? Kenapa juga kita harus mengejar sesuatu yang pada akhirnya membuat kita terasing, bahkan tak jarang menjauhkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi? Pertanyaan-pertanyaan ini lah yang kira-kira dibentangkan jawabannya oleh Camus di sepanjang cerita dalam karyanya tersebut.

Kita memaksakan diri untuk menjadi begini dan begitu, meski kita tak pernah benar-benar paham untuk apa semua itu diusahakan dan diperjuangkan. Atau kita sudah tahu itu untuk apa, tapi kehilangan pijakan, apakah pencapaian-pencapaian itu benar-benar membawa kita pada tujuan dan makna hidup yang hakiki.

Kita menyimpan terlalu banyak tuntutan orang di kepala, tanpa kita sadari. Hidup berlomba-lomba memenangkan citra dan nama, untuk menunjukkan kehebatan di mata publik. Hidup yang haus akan pengakuan. Ya, kita hidup pada zaman di mana eksistensi kita, rupanya, ditentukan oleh penilaian orang lain.

Ambisi pribadi yang meletup-letup. Lalu alpa menemukan jawaban untuk apa semua itu? Padahal, Socrates pernah mengatakan kurang lebih; hidup yang tak terperiksa secara filosofis adalah hidup yang tak layak untuk dijalani.

Albert Camus mungkin salah dalam novelnya, setelah ‘aku’ memeriksa dan merenungi kehidupannya, akhirnya ia menganggap bahwa hidup ini tak layak dijalani. Tapi setidaknya, penulis kelahiran Mondovia itu telah sampai pada titik pemaknaannya atas hidup ini. Meski memaknainya dalam bentuk negatif. Tapi bagi mereka yang terus saja berlari, mengejar begitu banyak hal dalam hidup ini dan tak pernah mengerti betul untuk apa semua itu diraih, bukankah itu ironis?

Sekali lagi, Albert Camus mungkin salah dalam memaknai hidup ini sebagai perjalanan yang tak ada artinya. Tapi tidakkah hasil perenungan Camus di dalam novel ini berhasil mengejek-ejek kita yang masih berpijak di bumi, tapi tak pernah benar-benar paham untuk apa sebenarnya kita hidup?


Akhirnya, membaca karya Camus, tidak hanya memenuhi kebutuhan saya akan bacaan sastra yang menyenangkan. Namun sebagai pembaca, saya terbawa pada perasaan yang sentimentil dan refleksi yang dalam. Perasaan yang membawa ingatan saya pada pertanyaan seorang guru pada sekitar tiga tahun silam, “mengapa sampai hari ini kamu masih memutuskan untuk hidup?”. Apa guru saya itu juga pernah membaca novel Camus ya?

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 29 Mei 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar