Saya
baru saja membaca cerpen Umar Kayam, ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’. Di
buku kumcernya dengan judul yang sama ini, terdapat sepuluh cerpen yang dengan
membaca judul-judulnya saja, kita bisa tahu kalau isinya tentang pengalaman
hidup orang Indonesia saat bersentuhan dengan hal-hal yang berasal dari
luar negeri. Coba tengok misalnya, ‘Kimono Buat Istri’, ‘Musim Gugur Kembali di
Connecticut’, ‘Chief Sitting Bull’, dan tentu saja cerpen pertama di sana,
‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’. Mungkinkah ini karena penulisnya pernah
tinggal di luar negeri saat menempuh studi magister dan doktornya di luar negeri?
Entahlah.
Hal
yang paling menonjol dari cerpen ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’ itu, saya
kira, adalah suasana ceritanya yang begitu terasa. Caranya mendeskripsikan
lampu-lampu menara di Manhattan yang dibayangkannya seperti kunang-kunang di
desanya, baik lewat narasi, pun dalam bentuk obrolan tokoh, mampu membuat saya
membayangkan suasana yang dialami oleh tokoh. Atau setidaknya, penulisnya telah
berhasil memasukkan sebuah gambaran di kepala saya tentang apa yang dibayangkan
oleh si tokoh.
Hal
yang cukup mengganggu bagi saya hanya pada inti cerita. Bagi pembaca seperti
saya yang masih mencari-cari jawaban “cerita ini maksudnya apa?”,
“kesimpulannya apa”, atau “mau kasih pesan apa sih ini si penulis?”, karya seperti ini terasa ‘aneh’. Namun,
setelah membaca beberapa komentar positif tentang jejak karya Umar Kamam dan
mengetahui bahwa ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’ merupakan cerpen terbaik
pilihan majalah Horison tahun 1968, tidak ada alasan yang lebih baik yang bisa
saya temukan kecuali menyadari ketidakmampuan saya menangkap pesan di balik
cerpen Umar Kayam itu. Konsekuensinya, saya merasa gagal menjadi pembaca yang
baik, lagi dan lagi. Tapi tak apa. Sebab untuk belajar banyak, saya pikir, saya
butuh perasaan semacam itu. Dan mungkin memang demikianlah adanya karya yang
baik, membuat pembacanya mau belajar lagi dan lagi juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar