Dalam penempatan tokoh-tokohnya, dan belajar dari karakter-karakter yang dibentuknya, saya bisa secara semena-mena menyatakan bahwa penulis “Semusim, dan Semusim Lagi” sedikit banyak dipengaruhi oleh penulis Jepang yang dua tahun ini masuk dalam nominasi Nobel Sastra. Kalau mau lebih tepatnya lagi, novel besutan pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini mengingatkan saya pada karya Haruki Murakami, “Kafka on the Shore”.
Kita
bisa meraba-raba kemungkinan itu dengan menyama-nyamakan penokohan yang muncul
pada kedua novel tersebut. Seorang anak sulung yang hidup dengan orang tua
tunggal, namun terasa seperti orang asing. Anak remaja itu kemudian meninggalkan
rumah tanpa izin. Tujuan kaburnya untuk mencari orang tua tunggalnya yang lain,
yang telah meninggalkannya sejak dia bahkan belum mampu melakukan proses
mengingat dengan baik−untuk menyimpan kenangan dengan orang tuanya tersebut. Dalam
proses pencarian anak itu, permainan konflik muncul dengan intens. Dan ya,
jangan lupa, baik novel Haruki, pun novel ini, kucing muncul dalam cerita. Meski
Andina lebih memilih ikan emas koki dibanding kucing sebagai “tokoh” yang
menemani “aku” pada sebagian besar kisahnya.
Dugaan
saya perihal pengaruh karya Haruki terhadap karya Andina Dwifatma menjadi lebih
kuat setelah membaca pengumuman UWRF 2015 (saya membuka HP dan secara acak
menemukan pengumuman ini saat jeda membaca novel Andina). Potongan isi surat
Pertanggungjawaban Kuratorial UWRF yang disusun oleh Eka Kurniawan, M. Aan
Mansyur, dan Ketut Yuliarsa itu berbunyi : “... kita bisa melihat beberapa di
antara mereka [16 penulis terpilih UWRF 2015] dengan cekatan menulis cerita ala
Haruki Murakami... ”. Dan, ‘beberapa’ yang dimaksud kemudian diperjelas dengan
penjelasan, “[h]al ini terlihat misalnya dalam karya-karya ... [salah satunya] Andina
Dwifatma ... ”.
Hal
yang menarik dari penjelasan para kurator UWRF, bahwa meski dipengaruhi oleh
penulis Jepang, mereka tetap mampu menceritakan hal yang berbeda dengan penulis
Jepang tersebut. Untuk karya Andina, “Semusim, dan Semusim Lagi”, ‘hal berbeda’
yang dimaksud dengan sangat gamblang terjelaskan lewat judulnya. Pemilihan
judul “Semusim, dan Semusim Lagi” dicomot dari puisi Sitor Situmorang, “Surat
Kertas Hijau” (1953).
Andina
memetik idenya dari puisi sastrawan Indonesia, dengan meminjam berbagai teknik menulis,
salah satunya dari Haruki Murakami. Eka Kurniawan mengangkat cerita tentang
kehidupan pada akhir masa kolonial pada novel “Cantik Itu Luka”-nya, dipengaruhi
Gabriel
García Márquez. Dan beberapa penulis keren, juga menempuh cara yang
sama.
Mereka,
para penulis yang baik itu, membaca karya-karya penulis yang dianggapnya keren,
dan belajar dari sana. Dan ini lah pola yang saya pelajari dari membaca
karya-karya mereka.
Kalau
kita mau terus belajar, selalu ada hal-hal menyenangkan yang bisa dipelajari
dari karya-karya yang baik. Pertanyaannya, bersediakah kita terus belajar ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar