Gambar 1. Benteng
Rotterdam yang ada di Makassar (Sumber Gambar: Koleksi Pribadi)
|
Gambar 2. Bangunan di Rotterdam, Belanda (Sumber Gambar: nvo.or.id) |
*Kata “Rotterdam” pertama pada judul tulisan ini merujuk
pada Fort Rotterdam (Benteng
Rotterdam) yang ada di Makassar, yang merupakan peninggalan Bangsa Belanda.
Benteng tersebut sampai saat ini masih berdiri kokoh, berada di pusat keramaian
kota, menantang angin dari Pantai Losari. Sementara kata “Rotterdam” yang kedua,
merupakan nama sebuah wilayah yang ada di Negeri Belanda sendiri. Kota ini
dikenal sebagai jantung ekonomi Belanda. Lebih lanjut, lihat artikel “Mencicipi
Secuil Dunia Internasional di Rotterdam” di laman nvo.or.id (diakses tanggal 27
April 2015). Dua kata “Rotterdam” pada judul tulisan ini, sekedar untuk memetaforakan
hubungan yang pernah terjalin antara Belanda dengan Kota Makassar.
***
Menelusuri literatur sejarah arsitektur
dan tata ruang kota Makassar, beberapa fakta menarik mencuak. Bangunan-bangunan
bersejarah yang masih tetap tegak berdiri melawan arus cita-cita pembangunan
dan globalisasi, kemudian menjadi bukti tidak terbantahkan atas rekam jejak
Bangsa Belanda yang pernah berdiam di sana. Berpuluh-puluh tahun silam.
Salah satu jejak yang masih tertinggal
adalah ruang bagi para pejalan kaki. Dari ulasan Nurhady Sirimorok di salah
satu situs jurnalisme warga[1],
kita tahu, trotoar-trotoar yang ada sekarang, dibangun pada masa kedatangan
Bangsa Belanda[2].
Sementara ruas jalanan baru−baik yang baru dibuka maupun yang diperlebar oleh
pemerintah saat ini, nyaris tanpa trotoar.
Masih dari ulasan Nurhady, kita kembali
dipahamkan, bahwa Makassar dengan gedung-gedungnya yang kian hari kian melebar
nan menjulang, rupanya tak menyediakan ruang yang nyaman bagi para pejalan
kaki. Manusia-manusia dipaksa secara tidak sadar untuk hidup dengan
mesing-mesin yang tumpah ruah di jalanan. Menghasilkan kepenatan, kemacetan,
dan polusi yang menyesakkan rongga-rongga napas.
Pengalaman sekitar empat tahun hidup di
Makassar, tiap kali berkendara roda dua, mau tidak mau saya harus menggunakan
masker atau semacamnya, terutama di daerah jalan raya antar-kota. Selain
persiapan masker dan tak ketinggalan sarung tangan, hal lain yang perlu saya miliki
adalah keterampilan menyelip di antara kendaraan roda empat, dan atau
menggunakan trotoar jalan untuk lolos dari kemacetan. Itu pun jika trotoarnya
ada, jika tidak, pilihannya adalah melewati ruas jalan yang seringkali rusak.
Lantas apa yang terjadi dengan pejalan
kaki? Akibat tidak tersedianya trotoar yang memadai, dan ulah pengendara motor yang
menggunakan ruas jalan karena terjepit kemacetan, para pejalan kaki menanggung
kemungkinan risiko terdampar debu atau asap knalpot hingga terkaget-kaget oleh
bunyi klakson. Paling parah, pejalan kaki bahkan bisa tertabrak karena tidak
adanya ruang khusus bagi mereka di jalanan. Di Makassar, sangat jarang, untuk
tidak mengatakan tidak ada, orang yang mau berjalan di pinggir jalan raya
antar-kota karena berhadapan dengan risiko-risiko yang bahkan berujung maut.
Seorang kawan, yang adalah warga asli
Makassar, pernah menuliskan kisahnya dalam blog pribadinya ihwal kejadian dia
diserempet mobil. Waktu itu, dia dalam keadaan terpaksa harus berjalan kaki di
pinggir jalan raya. Namun apa daya, jalan raya seolah milik pengendara mesin,
sementara pejalan kaki seolah tidak punya tempat.
***
Mari sejenak beralih dari kepenatan kota
Makassar. Berjarak ratusan ribu kilometer dari Kota Daeng sana, di salah satu
sudut kota lain Belanda, sebuah tampakan trotoar yang membentang di sepanjang
jalan kota berkisah lain.
Tepatnya di Kota Hengalo, trotoar
dibangun tidak hanya untuk memanjakan pejalan kaki dengan ruasnya yang lapang.
Trotoar ini, pada lapisan bawahnya yang bersentuhan langsung dengan tanah, telah
disemprotkan titanium oksida. Bahan yang kemudian mampu menyerap Nitro
Oksidar−gas beracun yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor di jalanan−hingga
mengurangi polusi udara sampai sebesar 45%. Penemuan trotoar oleh ilmuwan dari University of Technology Belanda ini
kemudian terbit di Journal Hazardous
Material, dan dikenal sebagai sebuah terobosan baru untuk mengurangi polusi
di jalan raya.
Jauh sebelum penemuan trotoar ramah
lingkungan tersebut, kita tahu, kota-kota yang ada di Belanda memang punya
cerita yang indah-indah tentang kehidupan masyarakatnya saat menggunakan ruang
publik di jalan raya. Membaca novel Negeri
Van Oranje yang ditulis oleh
empat sekawan yang pernah bersekolah di negeri kincir angin tersebut, cukup
membuat saya yakin bahwa trotoar dan segala akses di jalan raya yang ada di sana
tidak perlu membuat penggunanya ketakutan untuk berjalan kaki, bersepeda, atau
menggunakan moda transportasi darat lainnya. Bagaimana mungkin kita bisa khawatir,
jika angkutan umum seperti taksi bahkan tidak diperbolehkan singgah di
sembarang pemberhentian? Demikian salah satu pengetahuan yang dipaparkan
Lintang dalam salah satu sekuel di novel tersebut.
Dan di Makassar, oh, jangankan taksi,
segala macam kendaraan bisa dihentikan di pinggir jalan. Rem mendadak dari
angkutan umum, itu soal biasa.
Pertama kali diterbitkan di laman nvo.or.id (Rabu, 29 April 2015)
Pertama kali diterbitkan di laman nvo.or.id (Rabu, 29 April 2015)
[1] Baca “Makassar Bukan untuk Manusia?” di
laman makassarnolkm.com (diakses tanggal 23 April 2015).
[2] Pada masa itu, kota Makassar hanya
memanjang dari Paotere di utara hingga ujung selatan Jalan Cenderawasih dan
Jalan Veteran; dan dari pantai hingga pasar Terong. Sementara Marosweg dan
Gowaweg adalah ruas jalan antar-kota, yang karena nyaris tidak berpenduduk,
tidak membutuhkan trotoar (Dalam bahasa Belanda ‘weg’ kira-kira berarti ruas jalan antar-kota, beda dengan ‘straat’ (street, Inggris) ruas jalan di tengah kota atau ‘laan’ yang lebih mirip avenue atau boulevard jalan lebar dengan lebih dari satu jalur di tengah
kota−atau kerap disebut Jalan Raya). Nurhady, Loc. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar