Membaca
karya Hamsun, Sult, membuat saya
teringat dengan kisah seorang gadis bernama Ma Yan. Hal ini terjadi barangkali
juga karena beberapa hari lalu, saya menemukan novel Ma Yan di sebuah toko buku
dengan tampilan baru, dengan ukuran yang lebih kecil dan sampul berwarna putih;
versi yang pernah saya baca bersampul kuning.
Cerita
yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro itu
diangkat dari kisah nyata seorang anak perempuan yang berasal dari sebuah desa
di pedalaman Cina. Ma Yan tergila-gila dengan apa yang disebutnya sebagai ‘belajar’,
dan dia tidak mendapatkan apa yang ada di benaknya tentang belajar itu di rumah
di mana dia hanya menjalankan tugas-tugas sebagai seorang perempuan pelanjut
keturunan. Seorang perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup pandai
memasak dan menyenangkan suami untuk kemudian menikah dan beranak-pinak.
Demikian cara hidup manusia berjenis perempuan yang ada di desa Ma Yan.
Ma Yan
jelas menolak itu. Dia ingin sekolah dan belajar lebih banyak. Sungguh sayang,
keluarga kecil Ma Yan hanya mampu menyekolahkan dua orang anak, dan orang tua Ma
Yan memilih dua adik lelaki Ma Yan untuk hal itu. Ma Yan kemudian mengirim
surat kepada ibunya. Kalau tidak salah, di dalam suratnya, Ma Yan menyampaikan
keinginan untuk sekolah dan berjanji tidak akan merepotkan kedua orang tuanya
atas keinginannya itu. Ia hanya meminta untuk diizinkan bersekolah, tidak
lebih.
Konsekuensinya,
dia harus bekerja keras. Dan yang paling menyedihkan adalah saat dia ingin
menulis menggunakan pensil, bukannya kapur, seperti apa yang selama ini digunakan
di sekolah. Awalnya dia melihat temannya, yang adalah anak dari seorang
bangsawan, membawa pensil ke sekolah, dan saat itulah dia begitu terpikat
dengan alat tulis bernama pensil itu.
Ma Yan
mulai menabung untuk bisa membeli pensil. Uang yang ditabung itu, tidak tepat
juga untuk menyebutnya uang jajan, sebab seharusnya uang itu digunakan untuk
membeli lauk. Maka, dalam beberapa pekan, Ma Yan rela makan tanpa lauk sama
sekali demi membeli pensil. Dalam pekan-pekan tanpa lauk itu, dia sering muntah
karena memakan makanan pokok yang sama setiap hari. Tanpa campuran apa pun di
piringnya.
Sama
dengan Ma Yan yang tidak punya pensil−padahal begitu ingin menulis, sosok ‘aku’
dalam novel Sult (Hunger), Hamsun,
pun tidak punya pensil saat dia begitu ingin menulis pada suatu ketika. Hal ini
terjadi karena ‘aku’ lupa mengambil pensil yang disimpan di dalam kantong jaket
sebelum menyerahkannya kepada petugas pegadaian.
Sosok
‘aku’ adalah seseorang yang bercita-cita menjadi penulis, tapi hidupnya miskin.
Begitu miskinnya, bahkan untuk makan pun dia harus menggadaikan jaket. Waktu
itu sebenarnya bukan hanya karena kelaparan dia menggadaikan jaket, tapi dia
bertemu dengan seorang nenek pengemis yang meminta uang padanya. Tidak ingin
mengecewakan pengemis tua itu, dia berlari ke rumah gadai, dan itu tadi−dia menggadaikan
jaketnya sendiri. Masih tersisa uang dari hasil gadai jaket setelah diberikan
kepada pengemis, baru kemudian digunakannya untuk membeli makanan.
Sayang,
saat menyerahkan jaket tadi, dia lupa mengambil pensil di dalam kantongnya.
Padahal itu adalah pensil satu-satunya yang dipunyai si ‘aku’.
Kabarnya,
novel ini mulai ditulis Hamsun saat berada di dek kapal Thingvalla. Kalau tidak salah, dari pembacaan saya di pengantar
Hamsun, kisah di dalamnya adalah tentang dirinya sendiri: seorang pria miskin
yang bercita-cita menjadi penulis, profesi yang tidak menjanjikannya uang untuk
hidup lebih layak. Saking miskinnya Hamsun (dalam kehidupan nyata), sekali
waktu saat hendak menyerahkan naskah kepada seorang redaktur koran Politiken, Edvard Brandes, si redaktur bahkan menerima naskah
tersebut hanya karena tidak tega melihat wajah pucat dan pakaian lusuhnya. Dan
yang kemudian terjadi adalah, setelah Edvard Brandes membaca naskah Hamsun, dia
berkata “ini bukan bakat lagi, ini sederajat dengan Dostoyevsky!”. Penulis tak
berpensil asal Norwegia itu, kita tahu, akhirnya disebut-sebut sebagai pembawa
pengaruh sastra modern, dan memenangkan hadiah nobel kesusastraan 1920 pada kemudian
hari.
***
Di
dinding kamar kos, sengaja saya pasang nasihat William Faulkner begini,
“Penulis hanya butuh sebatang pensil dan lembaran kertas”, untuk menyemangati
diri sendiri. Namun setelah membaca Hamsun, tiba-tiba nasihat Faulkner tadi
menjadi ganjil. Sebab jika yang dibutuhkan penulis hanya pensil dan kertas,
saya seharusnya sudah menghasilkan lebih banyak karya yang baik dibanding
Hamsun. Saya dan banyak anak muda yang berkeinginan untuk jadi penulis, sama
sekali tidak kekurangan dua alat tulis itu. Apa yang diajarkan Hamsun lewat
cerita ‘aku’ dalam novelnya adalah bahwa alat semata hanyalah alat. Pensil,
kertas, dan untuk sekarang ini kita sebut saja laptop, tidak akan ada gunanya
jika pemiliknya tidak juga mulai menulis dan terus meningkatkan kemampuannya
untuk menjadi penulis yang baik.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 10 April 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar