Minggu, 26 April 2015

Penulis Tak Berpensil




Membaca karya Hamsun, Sult, membuat saya teringat dengan kisah seorang gadis bernama Ma Yan. Hal ini terjadi barangkali juga karena beberapa hari lalu, saya menemukan novel Ma Yan di sebuah toko buku dengan tampilan baru, dengan ukuran yang lebih kecil dan sampul berwarna putih; versi yang pernah saya baca bersampul kuning.

Cerita yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro itu diangkat dari kisah nyata seorang anak perempuan yang berasal dari sebuah desa di pedalaman Cina. Ma Yan tergila-gila dengan apa yang disebutnya sebagai ‘belajar’, dan dia tidak mendapatkan apa yang ada di benaknya tentang belajar itu di rumah di mana dia hanya menjalankan tugas-tugas sebagai seorang perempuan pelanjut keturunan. Seorang perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup pandai memasak dan menyenangkan suami untuk kemudian menikah dan beranak-pinak. Demikian cara hidup manusia berjenis perempuan yang ada di desa Ma Yan.

Ma Yan jelas menolak itu. Dia ingin sekolah dan belajar lebih banyak. Sungguh sayang, keluarga kecil Ma Yan hanya mampu menyekolahkan dua orang anak, dan orang tua Ma Yan memilih dua adik lelaki Ma Yan untuk hal itu. Ma Yan kemudian mengirim surat kepada ibunya. Kalau tidak salah, di dalam suratnya, Ma Yan menyampaikan keinginan untuk sekolah dan berjanji tidak akan merepotkan kedua orang tuanya atas keinginannya itu. Ia hanya meminta untuk diizinkan bersekolah, tidak lebih.

Konsekuensinya, dia harus bekerja keras. Dan yang paling menyedihkan adalah saat dia ingin menulis menggunakan pensil, bukannya kapur, seperti apa yang selama ini digunakan di sekolah. Awalnya dia melihat temannya, yang adalah anak dari seorang bangsawan, membawa pensil ke sekolah, dan saat itulah dia begitu terpikat dengan alat tulis bernama pensil itu.

Ma Yan mulai menabung untuk bisa membeli pensil. Uang yang ditabung itu, tidak tepat juga untuk menyebutnya uang jajan, sebab seharusnya uang itu digunakan untuk membeli lauk. Maka, dalam beberapa pekan, Ma Yan rela makan tanpa lauk sama sekali demi membeli pensil. Dalam pekan-pekan tanpa lauk itu, dia sering muntah karena memakan makanan pokok yang sama setiap hari. Tanpa campuran apa pun di piringnya.

Sama dengan Ma Yan yang tidak punya pensil−padahal begitu ingin menulis, sosok ‘aku’ dalam novel Sult (Hunger), Hamsun, pun tidak punya pensil saat dia begitu ingin menulis pada suatu ketika. Hal ini terjadi karena ‘aku’ lupa mengambil pensil yang disimpan di dalam kantong jaket sebelum menyerahkannya kepada petugas pegadaian.

Sosok ‘aku’ adalah seseorang yang bercita-cita menjadi penulis, tapi hidupnya miskin. Begitu miskinnya, bahkan untuk makan pun dia harus menggadaikan jaket. Waktu itu sebenarnya bukan hanya karena kelaparan dia menggadaikan jaket, tapi dia bertemu dengan seorang nenek pengemis yang meminta uang padanya. Tidak ingin mengecewakan pengemis tua itu, dia berlari ke rumah gadai, dan itu tadi−dia menggadaikan jaketnya sendiri. Masih tersisa uang dari hasil gadai jaket setelah diberikan kepada pengemis, baru kemudian digunakannya untuk membeli makanan.

Sayang, saat menyerahkan jaket tadi, dia lupa mengambil pensil di dalam kantongnya. Padahal itu adalah pensil satu-satunya yang dipunyai si ‘aku’.

Kabarnya, novel ini mulai ditulis Hamsun saat berada di dek kapal Thingvalla. Kalau tidak salah, dari pembacaan saya di pengantar Hamsun, kisah di dalamnya adalah tentang dirinya sendiri: seorang pria miskin yang bercita-cita menjadi penulis, profesi yang tidak menjanjikannya uang untuk hidup lebih layak. Saking miskinnya Hamsun (dalam kehidupan nyata), sekali waktu saat hendak menyerahkan naskah kepada seorang redaktur koran Politiken, Edvard Brandes, si redaktur bahkan menerima naskah tersebut hanya karena tidak tega melihat wajah pucat dan pakaian lusuhnya. Dan yang kemudian terjadi adalah, setelah Edvard Brandes membaca naskah Hamsun, dia berkata “ini bukan bakat lagi, ini sederajat dengan Dostoyevsky!”. Penulis tak berpensil asal Norwegia itu, kita tahu, akhirnya disebut-sebut sebagai pembawa pengaruh sastra modern, dan memenangkan hadiah nobel kesusastraan 1920 pada kemudian hari.

***

Di dinding kamar kos, sengaja saya pasang nasihat William Faulkner begini, “Penulis hanya butuh sebatang pensil dan lembaran kertas”, untuk menyemangati diri sendiri. Namun setelah membaca Hamsun, tiba-tiba nasihat Faulkner tadi menjadi ganjil. Sebab jika yang dibutuhkan penulis hanya pensil dan kertas, saya seharusnya sudah menghasilkan lebih banyak karya yang baik dibanding Hamsun. Saya dan banyak anak muda yang berkeinginan untuk jadi penulis, sama sekali tidak kekurangan dua alat tulis itu. Apa yang diajarkan Hamsun lewat cerita ‘aku’ dalam novelnya adalah bahwa alat semata hanyalah alat. Pensil, kertas, dan untuk sekarang ini kita sebut saja laptop, tidak akan ada gunanya jika pemiliknya tidak juga mulai menulis dan terus meningkatkan kemampuannya untuk menjadi penulis yang baik.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 10 April 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar