Baru
saja membaca karya klasik Shakespeare yang diterjemahkan Anton Kurnia, setelah
melalui gubahan Charles Lamb dan Mary Ann Lamb yang kemudian disederhanakan
oleh S.E. Paces. Kabarnya, tidak mudah memang memahami langsung karya
Shakespeare, apalagi masih dalam bentuk naskah drama.
Membaca
dua dari tiga naskah drama yang tersaji dalam bentuk cerpen (Hamlet dan Raja Lear), membuat saya memasuki kembali cerita yang sendu.
Sebelumnya memang, membaca karya-karya Kawabata juga menawarkan hal yang sama,
tapi cara Shakespeare lebih kental nuansa kesedihannya. Dunia di mana cerita
berakhir dengan kesedihan, kesendirian dan air mata. Hamlet misalnya, yang
ayahnya di bunuh oleh adik sang ayah sendiri, dan dia ditugasi oleh arwah
ayahnya untuk membalasakan dendam ayahnya. Dan yang terjadi pada akhir cerita,
tidak hanya sang paman yang terbunuh, pun ibu, bahkan Hamlet sendiri meninggal.
Hamlet menutup kisahnya dengan “yang
tersisa hanyalah kesunyian”. Pada cerita ketiga tidak berbeda jauh. Raja
Lear terbunuh setelah didurhakai oleh kedua putrinya, dan kedua putri durhaka
itu pun pada akhirnya meninggal akibat ketidaksetiaan keduanya.
Setidak-tidaknya,
membaca cerita seperti ini menyadarkan kita, bahwa “hallo! Kehidupan ini ya begini ini.” Tidak selalu happy ending, di mana si miskin berubah
jadi kaya, atau si malang menjadi sukses, atau tuan putri menikah dengan sang
pangeran. Bahwa selalu ada hal-hal yang terjadi di luar harapan yang
indah-indah.
Seperti
apa yang dinyatakan Anton Kurnia pada kata pengantarnya, bisa jadi yang terjadi
di dalam dunia khayal Shakespeare sebenarnya juga terjadi di sekeliling kita.
Meski terpisah jarak waktu dan tempat yang seribu tahun cahaya dengan penulis,
bukankah sesungguhnya kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan? Ya, kesedihan
dan air mata, siapa pula yang bisa lolos dari dua hal ini semasa hidupnya?
Meski
berakhir dengan memilukan, setidak-tidaknya hal yang paling mudah untuk kita
pahami dari sini adalah, bahwa hidup ini tidak selalu lurus. Hari ini kita
berbunga-bunga, besok kita tersayat-sayat. Hari ini kita berbahagia, siapa yang
menjamin pada esok hari kita tak bersedih? Tapi justru, karena ketidakpastian
itu, kita jadi memperjuangkan hal-hal yang kita yakini akan membuat kita
bahagia atau setidaknya menjadi nyaman di esok hari. Mengikut apa yang pernah
dikatakan oleh seorang ilmuwan (yang saya lupa namanya), kalau esok hari, kita
sudah tahu apa yang akan terjadi, maka tidak akan ada lagi yang mau berjuang pada
hari ini. Ketidaktahuan kita tentang masa depan membuat kita mau berupaya untuk
memperbaiki diri, semampu kita. Dengan itu, dengan perjuangan atau apalah
namanya, kita setidaknya telah mencukupkan keyakinan pada diri sendiri, bahwa usaha
terbaik telah kita lakukan.
Sedangkan
hari ini saja kita belajar, bekerja & berjuang, belum tentu besok kita
menuai hasilnya, apatah lagi hanya berleha-leha dan bermalas-malasan? Sedangkan
hari ini saja kita menanam benih di sawah, bisa jadi yang tumbuh malah rumput
liar, apatah lagi tak menanam apa-apa? Jangan sekali-kali berharap memanen
gabah deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar