Minggu, 22 Maret 2015

Hamlet dan Ketidakpastian Masa Depan


Baru saja membaca karya klasik Shakespeare yang diterjemahkan Anton Kurnia, setelah melalui gubahan Charles Lamb dan Mary Ann Lamb yang kemudian disederhanakan oleh S.E. Paces. Kabarnya, tidak mudah memang memahami langsung karya Shakespeare, apalagi masih dalam bentuk naskah drama.

Membaca dua dari tiga naskah drama yang tersaji dalam bentuk cerpen (Hamlet dan Raja Lear), membuat saya memasuki kembali cerita yang sendu. Sebelumnya memang, membaca karya-karya Kawabata juga menawarkan hal yang sama, tapi cara Shakespeare lebih kental nuansa kesedihannya. Dunia di mana cerita berakhir dengan kesedihan, kesendirian dan air mata. Hamlet misalnya, yang ayahnya di bunuh oleh adik sang ayah sendiri, dan dia ditugasi oleh arwah ayahnya untuk membalasakan dendam ayahnya. Dan yang terjadi pada akhir cerita, tidak hanya sang paman yang terbunuh, pun ibu, bahkan Hamlet sendiri meninggal. Hamlet menutup kisahnya dengan “yang tersisa hanyalah kesunyian”. Pada cerita ketiga tidak berbeda jauh. Raja Lear terbunuh setelah didurhakai oleh kedua putrinya, dan kedua putri durhaka itu pun pada akhirnya meninggal akibat ketidaksetiaan keduanya.

Setidak-tidaknya, membaca cerita seperti ini menyadarkan kita, bahwa “hallo! Kehidupan ini ya begini ini.” Tidak selalu happy ending, di mana si miskin berubah jadi kaya, atau si malang menjadi sukses, atau tuan putri menikah dengan sang pangeran. Bahwa selalu ada hal-hal yang terjadi di luar harapan yang indah-indah.

Seperti apa yang dinyatakan Anton Kurnia pada kata pengantarnya, bisa jadi yang terjadi di dalam dunia khayal Shakespeare sebenarnya juga terjadi di sekeliling kita. Meski terpisah jarak waktu dan tempat yang seribu tahun cahaya dengan penulis, bukankah sesungguhnya kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan? Ya, kesedihan dan air mata, siapa pula yang bisa lolos dari dua hal ini semasa hidupnya?

Meski berakhir dengan memilukan, setidak-tidaknya hal yang paling mudah untuk kita pahami dari sini adalah, bahwa hidup ini tidak selalu lurus. Hari ini kita berbunga-bunga, besok kita tersayat-sayat. Hari ini kita berbahagia, siapa yang menjamin pada esok hari kita tak bersedih? Tapi justru, karena ketidakpastian itu, kita jadi memperjuangkan hal-hal yang kita yakini akan membuat kita bahagia atau setidaknya menjadi nyaman di esok hari. Mengikut apa yang pernah dikatakan oleh seorang ilmuwan (yang saya lupa namanya), kalau esok hari, kita sudah tahu apa yang akan terjadi, maka tidak akan ada lagi yang mau berjuang pada hari ini. Ketidaktahuan kita tentang masa depan membuat kita mau berupaya untuk memperbaiki diri, semampu kita. Dengan itu, dengan perjuangan atau apalah namanya, kita setidaknya telah mencukupkan keyakinan pada diri sendiri, bahwa usaha terbaik telah kita lakukan.


Sedangkan hari ini saja kita belajar, bekerja & berjuang, belum tentu besok kita menuai hasilnya, apatah lagi hanya berleha-leha dan bermalas-malasan? Sedangkan hari ini saja kita menanam benih di sawah, bisa jadi yang tumbuh malah rumput liar, apatah lagi tak menanam apa-apa? Jangan sekali-kali berharap memanen gabah deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar