Sabtu, 21 Maret 2015

Memilih Asupan untuk Otak Kita


Peringatan! Tulisan ini bukan perihal asupan empat sehat lima sempurna. Terlebih bukan tentang piramida makanan bergizi. Sebab saya tidak memiliki kapasitas pula untuk menuliskan hal-hal semacam itu.

Ini tentang pikiran kita dan bagaimana ia diberi asupan oleh kita sendiri. Seperti halnya tubuh, pikiran pun butuh makanan bergizi. Ada banyak jenis “makanan” bergizi baik−yang dapat menjadi asupan otak kita. Membaca kitab suci salah satunya. Tapi, kali ini saya ingin membahas bacaan yang lain, selain kitab suci.

***

Buku-buku tentang bagaimana selayaknya menjadi pekerja-jenis-apa-saja-yang-penting-sukses, tak bisa dielak, kian laris manis seperti sedang lomba maraton dengan buku-buku panduan dan trik mengumpulkan uang dalam waktu singkat di toko-toko buku. Masuk saja ke salah satu toko buku besar di negeri ini. Palingkan pandangan ke rak best seller atau new arrival. Tidak sulit menemukan mereka terpasang manis di antara jejeran buku, seolah menggoda pembeli, meminta dibawa ke meja kasir dengan segera.

Ada dampak yang kemudian ditimbulkan (saya tidak tahu pastinya, apakah berdampak langsung atau tidak, tapi jelas ini terjadi). Begini, akibat terlalu banjirnya buku-buku yang saya maksud sebelumnya, sebagian dari kita yang malas membaca atau mencari informasi tentang buku, mungkin akan memilih buku-buku yang kurang, untuk tidak dikatakan tidak memiliki, gizi di dalamnya. Selanjutnya, ini akan semakin membuat kita jauh dari ‘kesehatan’ nalar dan daya pikir. Ad hominem, umpamanya. Bukankah pertumbuhan otak yang baik, sedikit-banyak ditentukan oleh jenis buku yang dibaca oleh pemiliknya?

Mengambil data yang dilansir Unesco, paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1 Desember 2014) menyatakan jumlah minat baca di Indonesia pada 2012 adalah 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang punya minat baca serius. Saya ulangi, 1 dari 1000! Tidak ada data lanjutan, berapa dari 0,001 tersebut yang serius menangani pertumbuhan bacaannya dengan menyantap bacaan yang bergizi. Tentu jika pun data tersebut ada, angka statistik pembaca yang kita temukan akan semakin kecil.

Manusia-manusia yang mencintai buku, tidak selalu bertumbuh daya pikirnya seiring dengan bertambahnya jumlah buku yang dibaca. Tidak ada jaminan, orang yang kutu buku akan menjadi lebih bijak, lebih cerdas, atau lebih kritis, dibanding yang malas membaca. Sebab, sekedar membaca, itu sama saja dengan aktivitas menonton televisi, atau aktivitas hiburan lainnya. Pembedanya adalah buku apa yang dibaca?

Adalah Jorge Luis Borges, penulis Argentina yang dianggap sebagai salah satu tokoh sastra terbesar abad 20, pernah mengatakan bahwa sesungguhnya kegiatan membaca adalah intelek, bahkan lebih intelek daripada menulis itu sendiri. Jika saya boleh merevisi kalimat Borges tersebut, saya ingin menulis begini: sesungguhnya kegiatan membaca bacaan yang baik, lebih intelek daripada menulis. Buku yang baik, kata teman saya, adalah buku yang membuat pembacanya semakin ingin membaca. Membaca lagi. Dan membaca lagi.

Pernahkah kita mencoba berhitung, berapa kali menemui bacaan yang berupa tempelan-tempelan? Atau mungkin kita pernah membeli buku dan merasa tidak terjadi penambahan apa-apa dalam otak, bahkan setelah selesai membacanya? Tiap orang memang punya alasan sendiri-sendiri memilih buku. Tapi membiarkan diri yang sudah berumur 23 tahun, dengan tetap membaca teenlit umpamanya, dengan intensitas tinggi pula, membuat kita harus bertanya, sudahkah kita memenuhi hak otak kita sendiri dengan memberikannya asupan yang bergizi?

Barangkali kita bisa menengok daftar bacaan selama ini. Lantas bertanya pada diri sendiri, “apa yang bertambah dari mengkhatamkan mereka semua?” atau bertanya “apa yang saya dapat dari mereka?” atau pertanyaan yang sedikit filosofis, “sudahkah saya menjadi lebih baik dengan mengecap pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam buku-buku tersebut?”

***

Saya punya semacam cara, yang sudah saya lakukan, tentu. Mana tahu berguna. Sebelum membeli atau membaca satu buku, saya biasanya mengandalkan bacaan orang-orang yang kualitas bacaannya jauh lebih baik dari saya sendiri. Beberapa penulis atau sastrawan di Indonesia, syukurnya berbaik hati untuk hal ini. Di akun media sosial atau laman blog pribadi mereka, kadang terpajang ulasan tentang buku apa yang [se]baik[nya] dibaca. Untuk penulis baik hati seperti ini, saya merekomendasikan laman daring milik Eka Kurniawan.

Itu untuk bacaan sastra, untuk bacaan jurnal penelitian atau artikel ilmiah, saya melakukan hal yang mirip. Setiap membaca jurnal, saya melihat daftar pustakanya. Saat dua atau lebih jurnal merujuk pada jurnal yang sama, saya mencari jurnal yang dirujuk itu. Saya pikir, jurnal yang dirujuk secara berulang-ulang adalah salah satu tanda kalau jurnal itu penting untuk tema penelitian pada jurnal yang sama. Dari sana, saya melihat daftar pustakanya lagi, mengecek jurnal lain lagi yang sejenis, dan melihat lagi jurnal mana yang sering dirujuk. Begitu seterusnya.

***

Pada akhirnya, bacaan yang baik selalu akan mengantarkan kita ke bacaan-bacaan baik berikutnya. Bersepakat dengan Eka Kurniawan, penulis yang baik (juga) akan mengantarkan kita pada pertanyaan, “penulis ini baca buku apa ya?”


Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 21 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar