Peringatan!
Tulisan ini bukan perihal asupan empat sehat lima sempurna. Terlebih bukan
tentang piramida makanan bergizi. Sebab saya tidak memiliki kapasitas pula untuk
menuliskan hal-hal semacam itu.
Ini
tentang pikiran kita dan bagaimana ia diberi asupan oleh kita sendiri. Seperti
halnya tubuh, pikiran pun butuh makanan bergizi. Ada banyak jenis “makanan” bergizi
baik−yang dapat menjadi asupan otak kita. Membaca kitab suci salah satunya.
Tapi, kali ini saya ingin membahas bacaan yang lain, selain kitab suci.
***
Buku-buku
tentang bagaimana selayaknya menjadi
pekerja-jenis-apa-saja-yang-penting-sukses, tak bisa dielak, kian laris manis
seperti sedang lomba maraton dengan buku-buku panduan dan trik mengumpulkan uang
dalam waktu singkat di toko-toko buku. Masuk saja ke salah satu toko buku besar
di negeri ini. Palingkan pandangan ke rak best
seller atau new arrival. Tidak
sulit menemukan mereka terpasang manis di antara jejeran buku, seolah menggoda
pembeli, meminta dibawa ke meja kasir dengan segera.
Ada
dampak yang kemudian ditimbulkan (saya tidak tahu pastinya, apakah berdampak
langsung atau tidak, tapi jelas ini terjadi). Begini, akibat terlalu banjirnya
buku-buku yang saya maksud sebelumnya, sebagian dari kita yang malas membaca
atau mencari informasi tentang buku, mungkin akan memilih buku-buku yang
kurang, untuk tidak dikatakan tidak memiliki, gizi di dalamnya. Selanjutnya,
ini akan semakin membuat kita jauh dari ‘kesehatan’ nalar dan daya pikir. Ad hominem, umpamanya. Bukankah pertumbuhan
otak yang baik, sedikit-banyak ditentukan oleh jenis buku yang dibaca oleh
pemiliknya?
Mengambil
data yang dilansir Unesco, paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1
Desember 2014) menyatakan jumlah minat baca di Indonesia pada 2012 adalah
0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang punya minat baca serius.
Saya ulangi, 1 dari 1000! Tidak ada data lanjutan, berapa dari 0,001 tersebut
yang serius menangani pertumbuhan bacaannya dengan menyantap bacaan yang
bergizi. Tentu jika pun data tersebut ada, angka statistik pembaca yang kita
temukan akan semakin kecil.
Manusia-manusia
yang mencintai buku, tidak selalu bertumbuh daya pikirnya seiring dengan bertambahnya
jumlah buku yang dibaca. Tidak ada jaminan, orang yang kutu buku akan menjadi
lebih bijak, lebih cerdas, atau lebih kritis, dibanding yang malas membaca.
Sebab, sekedar membaca, itu sama saja dengan aktivitas menonton televisi, atau
aktivitas hiburan lainnya. Pembedanya adalah buku apa yang dibaca?
Adalah
Jorge Luis Borges, penulis Argentina yang dianggap sebagai salah satu tokoh
sastra terbesar abad 20, pernah mengatakan bahwa sesungguhnya kegiatan membaca
adalah intelek, bahkan lebih intelek daripada menulis itu sendiri. Jika saya
boleh merevisi kalimat Borges tersebut, saya ingin menulis begini: sesungguhnya
kegiatan membaca bacaan yang baik, lebih intelek daripada menulis. Buku yang
baik, kata teman saya, adalah buku yang membuat pembacanya semakin ingin
membaca. Membaca lagi. Dan membaca lagi.
Pernahkah
kita mencoba berhitung, berapa kali menemui bacaan yang berupa
tempelan-tempelan? Atau mungkin kita pernah membeli buku dan merasa tidak
terjadi penambahan apa-apa dalam otak, bahkan setelah selesai membacanya? Tiap
orang memang punya alasan sendiri-sendiri memilih buku. Tapi membiarkan diri
yang sudah berumur 23 tahun, dengan tetap membaca teenlit umpamanya, dengan
intensitas tinggi pula, membuat kita harus bertanya, sudahkah kita memenuhi hak
otak kita sendiri dengan memberikannya asupan yang bergizi?
Barangkali
kita bisa menengok daftar bacaan selama ini. Lantas bertanya pada diri sendiri,
“apa yang bertambah dari mengkhatamkan mereka semua?” atau bertanya “apa yang
saya dapat dari mereka?” atau pertanyaan yang sedikit filosofis, “sudahkah saya
menjadi lebih baik dengan mengecap pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam
buku-buku tersebut?”
***
Saya
punya semacam cara, yang sudah saya lakukan, tentu. Mana tahu berguna. Sebelum
membeli atau membaca satu buku, saya biasanya mengandalkan bacaan orang-orang
yang kualitas bacaannya jauh lebih baik dari saya sendiri. Beberapa penulis
atau sastrawan di Indonesia, syukurnya berbaik hati untuk hal ini. Di akun
media sosial atau laman blog pribadi mereka, kadang terpajang ulasan tentang
buku apa yang [se]baik[nya] dibaca. Untuk penulis baik hati seperti ini, saya merekomendasikan
laman daring milik Eka Kurniawan.
Itu
untuk bacaan sastra, untuk bacaan jurnal penelitian atau artikel ilmiah, saya
melakukan hal yang mirip. Setiap membaca jurnal, saya melihat daftar
pustakanya. Saat dua atau lebih jurnal merujuk pada jurnal yang sama, saya
mencari jurnal yang dirujuk itu. Saya pikir, jurnal yang dirujuk secara
berulang-ulang adalah salah satu tanda kalau jurnal itu penting untuk tema
penelitian pada jurnal yang sama. Dari sana, saya melihat daftar pustakanya
lagi, mengecek jurnal lain lagi yang sejenis, dan melihat lagi jurnal mana yang
sering dirujuk. Begitu seterusnya.
***
Pada
akhirnya, bacaan yang baik selalu akan mengantarkan kita ke bacaan-bacaan baik
berikutnya. Bersepakat dengan Eka Kurniawan, penulis yang baik (juga) akan
mengantarkan kita pada pertanyaan, “penulis ini baca buku apa ya?”
Rubrik
Opini, Koran Fajar (Sabtu, 21 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar