Jumat, 30 Januari 2015

Perihal Bahasa dan Kebiasaan




Satu kali waktu, kakak laki-laki saya langsung berkomentar: sambala’! setelah saya mengatakan dia sudah masuk golongan agak tua untuk usianya. Mendengar kata-kata itu, saya diam. Entah, sepertinya kata itu agak kasar terdengar.

Di waktu yang lain, seorang kawan yang adalah keturunan asli Solo, yang kita kenal dengan tuturan Jawa yang paling halus berkata: se’ ya Andis, aku ta’ umbah-umbah dulu. Mendengar ‘umbah-umbah’ diucapkannya, saya tertawa. Sampai sekarang saya masih tertawa, jika mengingat dia melafalkannya.

***

Tidak ada yang salah dengan kata sambala’ dalam penggunaan kesehariannya di Makassar. Dalam bahasa Makassar, ia berarti lombok yang telah diulek. Seringkali diucapkan kepada teman sekarib. Saya pun sering mendengar teman mengucapkan kata sambala’ kepada teman yang lain.

Pernah, saya bertanya kepada teman yang asli Makassar, kenapa kata itu harus diucapkan? Memangnya apa hubungannya dengan lombok dalam percakapan kalian? Jawabnya, kata itu adalah pelesetan dari kata yang lebih kasar, sebenarnya. Karena merasa akrab atau dekat dengan seseorang, kata itu kadang diucapkan hanya sebagai ungkapan kejengkelan dalam konteks yang tidak serius. Orang yang mengatakannya tidak benar-benar marah. Pertanyaan saya (yang tidak saya utarakan, tentu) kenapa dalam masyarakat Makassar, pun Bugis, keakraban ditandai dengan kasarnya ungkapan kata dalam berbincang? Maksud saya, kenapa untuk membangun keakraban, salah satunya ditandai dengan kata-kata yang kasar saat berbicang? (ini tentu tidak berlaku untuk semua, tapi rata-rata begitu).

Sama dengan kata ‘umbah-umbah’. Dalam bahasa Jawa, tentu kata ini tidak lah lucu. Umbah berarti mencuci. Kalau yang mendengar kata itu adalah teman yang sesama Jawa, kata ini akan biasa-biasa saja terdengar. Tapi, di telinga saya, kata itu lucu. Lucu saja. Mungkin karena saya teringat kata-kata yang biasa diucapkan untuk mengagetkan anak-anak kecil. Ummmmba’!

Dalam dua persoalan di atas, ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Bahwa perihal bahasa adalah perihal kebiasaan. Karena tidak terbiasa mendengar sambala’! dilontarkan kepada saya, maka itu saya kaget. Saya merasa dikasari, padahal kakak saya tidak bermaksud seperti itu, tentu. Pun dengan teman saya, dia juga tak bermaksud melucu dengan kata umbah-umbah-nya.

Entah orang bijak siapa yang pernah mengatakan, berbahasalah sesuai dengan bahasa pendengarmu, bahasa kaummu. Saya pikir, hal itu yang sekarang-sekarang ini menjadi luput kita ingat. Orang-orang dengan kata-kata yang tidak ‘dijaga’, bertemu dengan orang-orang yang ketat ‘menjaga’ cara bertuturnya, dalam suatu perbincangan, hanya karena berbeda cara memaknai kata-kata, bisa menjadi masalah runyam kemudian.

Adalah Nakata, seorang laki-laki tua dalam novel Haruki Murakami, ‘Kafka on the Shore’, suatu waktu berbicara dengan Kawamura, kucing putih bergaris cokelat di pinggir jalan (kucing sejenis ini disebutnya sebagai kucing liar). Nakata dianugerahi kemampuan berbicara dengan kucing, tapi untuk jenis kucing satu ini, Nakata kesulitan memahami apa yang dikatakannya. Sampai kemudian datang kucing Siam bernama Mimi menjadi penengah di antara Nakata dan Kawamura.

Mimi adalah kucing terpelajar, dia terbiasa dengan ucapan-ucapan manusia sebab hidup di rumah manusia sepanjang harinya. Tapi dia tidak meninggalkan kemampuannya memahami bahasa-bahasa kucing, termasuk bahasa kucing liar. Ia kemudian berbicara kepada Nakata, bahwa ia akan menolongnya, menyampaikan pertanyaannya kepada Kawamura.

Mimi berbicara dengan Kawamura dalam bahasa yang hanya mereka yang memahami. Meski pun Nakata mampu berbicara dengan kucing, tapi tetap saja kali ini ia tidak paham percakapan yang dibuat Mimi dan Kawamura.

Sesekali Mimi memukul si kucing liar, sesekali berbicara dengan nada yang sepertinya kasar bagi Nakata. Tapi, dengan bahasa seperti itu, Mimi akhirnya mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan Nakata. Mimi menyampaikan jawaban tersebut kepada Nakata dengan bahasa yang bagi Nakata mudah dimengerti. Mimi berbahasa dari yang tadinya kasar kepada Kawamura, menjadi terdidik saat berbicara dengan Nakata.

Cara Mimi memainkan perannya berbahasa kepada Kawamura berbeda dengan cara dia berbicara dengan Nakata. Tapi Kawamura, ia tidak mampu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti bagi Nakata. Kawamura memang ditulis Murakami sebagai kucing yang bodoh dibanding kucing-kucing lainnya, sebab pernah mengalami insiden kecelakaan yang menyebabkan susunan otak di kepalanya bermasalah. Dan di sini lah hebatnya Mimi, tetap bisa memahami bahasa yang sulit dimengerti Kawamura−si bapak tua, dan pada saat yang sama berbicara dengan cara-cara yang mudah dimengerti ketika berbicara dengan Nakata−si kucing liar.

Saya berpikir, mungkinkah Murakami−penulis yang dua tahun ini masuk dalam nominasi penerima Nobel di bidang sastra−sedang mengolok-olok kita? Beberapa kucing seperti Kawamura, tidak mampu berbicara menyesuaikan dengan bahasa pendengarnya. Beberapa yang lain, seperti Mimi, mampu menyesuaikan diri untuk berbicara sesuai dengan lawan bicaranya. Dan seperti kata Mimi kepada Nakata sebelum berpisah, “hal ini tidak hanya terjadi pada kucing, tapi juga manusia”.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 30 Januari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar