Satu
kali waktu, kakak laki-laki saya langsung berkomentar: sambala’! setelah saya mengatakan dia sudah masuk golongan agak tua
untuk usianya. Mendengar kata-kata itu, saya diam. Entah, sepertinya kata itu
agak kasar terdengar.
Di
waktu yang lain, seorang kawan yang adalah keturunan asli Solo, yang kita kenal
dengan tuturan Jawa yang paling halus berkata: se’ ya Andis, aku ta’ umbah-umbah dulu. Mendengar ‘umbah-umbah’ diucapkannya, saya tertawa.
Sampai sekarang saya masih tertawa, jika mengingat dia melafalkannya.
***
Tidak
ada yang salah dengan kata sambala’ dalam
penggunaan kesehariannya di Makassar.
Dalam bahasa Makassar, ia berarti lombok yang telah diulek. Seringkali
diucapkan kepada teman sekarib. Saya pun sering mendengar teman mengucapkan
kata sambala’ kepada teman yang lain.
Pernah,
saya bertanya kepada teman yang asli Makassar, kenapa kata itu harus diucapkan?
Memangnya apa hubungannya dengan lombok dalam percakapan kalian? Jawabnya, kata
itu adalah pelesetan dari kata yang lebih kasar, sebenarnya. Karena merasa
akrab atau dekat dengan seseorang, kata itu kadang diucapkan hanya sebagai
ungkapan kejengkelan dalam konteks yang tidak serius. Orang yang mengatakannya
tidak benar-benar marah. Pertanyaan saya (yang tidak saya utarakan, tentu)
kenapa dalam masyarakat Makassar, pun Bugis, keakraban ditandai dengan kasarnya
ungkapan kata dalam berbincang? Maksud saya, kenapa untuk membangun keakraban,
salah satunya ditandai dengan kata-kata yang kasar saat berbicang? (ini tentu
tidak berlaku untuk semua, tapi rata-rata begitu).
Sama
dengan kata ‘umbah-umbah’. Dalam
bahasa Jawa, tentu kata ini tidak lah lucu. Umbah
berarti mencuci. Kalau yang mendengar kata itu adalah teman yang sesama Jawa,
kata ini akan biasa-biasa saja terdengar. Tapi, di telinga saya, kata itu lucu.
Lucu saja. Mungkin karena saya teringat kata-kata yang biasa diucapkan untuk
mengagetkan anak-anak kecil. Ummmmba’!
Dalam
dua persoalan di atas, ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Bahwa
perihal bahasa adalah perihal kebiasaan. Karena tidak terbiasa mendengar sambala’! dilontarkan kepada saya, maka itu
saya kaget. Saya merasa dikasari, padahal kakak saya tidak bermaksud seperti
itu, tentu. Pun dengan teman saya, dia juga tak bermaksud melucu dengan kata umbah-umbah-nya.
Entah
orang bijak siapa yang pernah mengatakan, berbahasalah sesuai dengan bahasa
pendengarmu, bahasa kaummu. Saya pikir, hal itu yang sekarang-sekarang ini
menjadi luput kita ingat. Orang-orang dengan kata-kata yang tidak ‘dijaga’,
bertemu dengan orang-orang yang ketat ‘menjaga’ cara bertuturnya, dalam suatu
perbincangan, hanya karena berbeda cara memaknai kata-kata, bisa menjadi
masalah runyam kemudian.
Adalah
Nakata, seorang laki-laki tua dalam novel Haruki Murakami, ‘Kafka on the Shore’, suatu waktu berbicara dengan Kawamura, kucing
putih bergaris cokelat di pinggir jalan (kucing sejenis ini disebutnya sebagai
kucing liar). Nakata dianugerahi kemampuan berbicara dengan kucing, tapi untuk
jenis kucing satu ini, Nakata kesulitan memahami apa yang dikatakannya. Sampai
kemudian datang kucing Siam bernama Mimi menjadi penengah di antara Nakata dan Kawamura.
Mimi
adalah kucing terpelajar, dia terbiasa dengan ucapan-ucapan manusia sebab hidup
di rumah manusia sepanjang harinya. Tapi dia tidak meninggalkan kemampuannya
memahami bahasa-bahasa kucing, termasuk bahasa kucing liar. Ia kemudian
berbicara kepada Nakata, bahwa ia akan menolongnya, menyampaikan pertanyaannya
kepada Kawamura.
Mimi
berbicara dengan Kawamura dalam bahasa yang hanya mereka yang memahami. Meski
pun Nakata mampu berbicara dengan kucing, tapi tetap saja kali ini ia tidak
paham percakapan yang dibuat Mimi dan Kawamura.
Sesekali
Mimi memukul si kucing liar, sesekali berbicara dengan nada yang sepertinya
kasar bagi Nakata. Tapi, dengan bahasa seperti itu, Mimi akhirnya mendapatkan
jawaban dari pertanyaan yang diajukan Nakata. Mimi menyampaikan jawaban
tersebut kepada Nakata dengan bahasa yang bagi Nakata mudah dimengerti. Mimi
berbahasa dari yang tadinya kasar kepada Kawamura, menjadi terdidik saat
berbicara dengan Nakata.
Cara
Mimi memainkan perannya berbahasa kepada Kawamura berbeda dengan cara dia
berbicara dengan Nakata. Tapi Kawamura, ia tidak mampu berbicara dengan bahasa
yang mudah dimengerti bagi Nakata. Kawamura memang ditulis Murakami sebagai
kucing yang bodoh dibanding kucing-kucing lainnya, sebab pernah mengalami insiden
kecelakaan yang menyebabkan susunan otak di kepalanya bermasalah. Dan di sini
lah hebatnya Mimi, tetap bisa memahami bahasa yang sulit dimengerti Kawamura−si
bapak tua, dan pada saat yang sama berbicara dengan cara-cara yang mudah
dimengerti ketika berbicara dengan Nakata−si kucing liar.
Saya
berpikir, mungkinkah Murakami−penulis yang dua tahun ini masuk dalam nominasi
penerima Nobel di bidang sastra−sedang mengolok-olok kita? Beberapa kucing
seperti Kawamura, tidak mampu berbicara menyesuaikan dengan bahasa pendengarnya.
Beberapa yang lain, seperti Mimi, mampu menyesuaikan diri untuk berbicara
sesuai dengan lawan bicaranya. Dan seperti kata Mimi kepada Nakata sebelum
berpisah, “hal ini tidak hanya terjadi pada
kucing, tapi juga manusia”.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 30 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar