Senin, 26 Januari 2015

Seekor Gagak Hitam yang Dilanda Cinta


 
Ia adalah burung gagak hitam, yang bagi bangsanya, adalah warna hina. Ia adalah burung gagak yang terlahir sebagai budak.

Tidak ada suara baginya. Budak tidak punya hak, juga tidak punya keinginan. Kebebasannya adalah kerinduan yang sebatas panggang yang jauh dari apinya. Ia terkurung di dalam sangkar tuannya. Ia, burung gagak hitam yang malang.

Tapi ia ber-Tuhan, sementara tuannya tidak. Sebab itu, keduanya berbeda, beda yang jauh sejauh timur dan barat. Tapi sebab itu pula, gagak hitam merasa merdeka dalam posisinya sebagai budak bagi tuannya.

Suatu kali, ia berdoa diam-diam kepada Tuhannya. Sialnya (atau untungnya?), dia kedapatan oleh tuannya. Tuan si gagak hitam marah besar. Gagak hitam tidak boleh berdoa kepada tuannya. Gagak hitam tidak boleh ber-Tuhan.

Gagak hitam dicambuk, dipertontonkan di depan seluruh gagak yang lain. Ditimpakan di atas sayapnya batu gunung, diinjak-injak badannya oleh sang tuan. “Ini hukuman bagi gagak yang berani melawan tuannya. Tidak boleh ada yang ber-Tuhan bagi budak seperti gagak hitam. Budak hanya tunduk kepada tuannya, bukan kepada Tuhan”, kata tuan gagak hitam.

Gagak hitam dirantai, ditarik mengelilingi kampung, diolok-olok. Tapi gagak hitam melihat semua olokan itu sebagai kebebasan. Gagak hitam bahagia dengan kekuatannya bertahan melawan intimidasi tuannya. Semua yang melihat tahu, gagak hitam lah yang akan menang.

Meski kematian yang telah diambang pintu, tapi ia tetap bertahan untuk menang melawan tuannya. Bertahan dengan cinta yang dicecap dari Tuhan gagak hitam. Ia benar-benar dilanda cinta kepada Tuhan yang disebut-sebutnya dalam doa yang diam-diam.

Di hari-hari berikutnya, gagak hitam ditidurkan di atas kerikil, lalu dicambuk. “Hai gagak hitam, siapa yang kau sembah?”

“Ahadu, Ahadu (Dia yang satu, Dia yang satu)”, jawab gagak hitam dengan suara yang nyaris putus dari kerongkongan.

Gagak hitam kehausan, juga kelaparan. Tapi tidak ada penderitaan bagi gagak hitam selama ia bersetia dengan cinta yang satu kepada Tuhannya. Dahaga dan lapar seolah hilang ditelan cinta yang meluap-luap kepada Tuhannya. “Ahadu, Ahadu...”, demikian selalu jawaban dari gagak hitam, hingga menjelang putus urat nadinya.

Tiba-tiba, datang bangsawan membeli gagak hitam. Ia dibeli seharga 40 karung emas dari tuannya. Maka, terbebaslah gagak hitam dari tuannya yang jahat, yang tak kurang jahat dari Fir’aun. Sang dermawan mengumumkan kebebasan gagak hitam. Kini ia bisa terbang bebas, mencari Tuhannya.

***

Cerita di atas, benar-benar pernah terjadi. Ialah Bilal, budak hitam yang dipanggil “Gagak Hitam” oleh tuannya. Setelah terbebas dari sangkarnya, Bilal kemudian harum namanya sebagai pemuda bersuara-merdu-tanpa-tandingan saat memanggil setiap jiwa menemui Tuhannya.

Cerita tentang Bilal, adalah cerita tentang manusia yang tak bernilai, yang kemudian dimuliakan dengan iman. Tak habis-habis cintanya kepada Tuhan. Tuhan yang dipeluk si gagak hitam bersama lengan-lengan orang-orang yang bersaudara tanpa memandang kabilah, suku, hingga warna kulit. Mereka pun dipimpin oleh seorang pemuda yang begitu egaliter.

Tentang Bilal, buku-buku shirah punya banyak cerita yang akan dibaginya jika Anda ingin tahu lebih banyak. Salah satu yang pernah saya baca adalah karangan Al-Mubarakfuri. Jika Anda punya referensi lain, sila berbagi di sini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar