Ia
adalah burung gagak hitam, yang bagi bangsanya, adalah warna hina. Ia adalah
burung gagak yang terlahir sebagai budak.
Tidak
ada suara baginya. Budak tidak punya hak, juga tidak punya keinginan.
Kebebasannya adalah kerinduan yang sebatas panggang yang jauh dari apinya. Ia
terkurung di dalam sangkar tuannya. Ia, burung gagak hitam yang malang.
Tapi
ia ber-Tuhan, sementara tuannya tidak. Sebab itu, keduanya berbeda, beda yang
jauh sejauh timur dan barat. Tapi sebab itu pula, gagak hitam merasa merdeka
dalam posisinya sebagai budak bagi tuannya.
Suatu
kali, ia berdoa diam-diam kepada Tuhannya. Sialnya (atau untungnya?), dia
kedapatan oleh tuannya. Tuan si gagak hitam marah besar. Gagak hitam tidak
boleh berdoa kepada tuannya. Gagak hitam tidak boleh ber-Tuhan.
Gagak
hitam dicambuk, dipertontonkan di depan seluruh gagak yang lain. Ditimpakan di
atas sayapnya batu gunung, diinjak-injak badannya oleh sang tuan. “Ini hukuman
bagi gagak yang berani melawan tuannya. Tidak boleh ada yang ber-Tuhan bagi
budak seperti gagak hitam. Budak hanya tunduk kepada tuannya, bukan kepada
Tuhan”, kata tuan gagak hitam.
Gagak
hitam dirantai, ditarik mengelilingi kampung, diolok-olok. Tapi gagak hitam
melihat semua olokan itu sebagai kebebasan. Gagak hitam bahagia dengan
kekuatannya bertahan melawan intimidasi tuannya. Semua yang melihat tahu, gagak
hitam lah yang akan menang.
Meski
kematian yang telah diambang pintu, tapi ia tetap bertahan untuk menang melawan tuannya. Bertahan dengan cinta
yang dicecap dari Tuhan gagak hitam. Ia benar-benar dilanda cinta
kepada Tuhan yang disebut-sebutnya dalam doa yang diam-diam.
Di
hari-hari berikutnya, gagak hitam ditidurkan di atas kerikil, lalu dicambuk.
“Hai gagak hitam, siapa yang kau sembah?”
“Ahadu, Ahadu (Dia
yang satu, Dia yang satu)”, jawab gagak hitam dengan suara yang nyaris putus
dari kerongkongan.
Gagak
hitam kehausan, juga kelaparan. Tapi tidak ada penderitaan bagi gagak hitam
selama ia bersetia dengan cinta yang satu kepada Tuhannya. Dahaga dan lapar
seolah hilang ditelan cinta yang meluap-luap kepada Tuhannya. “Ahadu, Ahadu...”, demikian selalu
jawaban dari gagak hitam, hingga menjelang putus urat nadinya.
Tiba-tiba,
datang bangsawan membeli gagak hitam. Ia dibeli seharga 40 karung emas dari
tuannya. Maka, terbebaslah gagak hitam dari tuannya yang jahat, yang tak kurang
jahat dari Fir’aun. Sang dermawan mengumumkan kebebasan gagak hitam. Kini ia
bisa terbang bebas, mencari Tuhannya.
***
Cerita
di atas, benar-benar pernah terjadi. Ialah Bilal, budak hitam yang dipanggil
“Gagak Hitam” oleh tuannya. Setelah terbebas dari sangkarnya, Bilal kemudian
harum namanya sebagai pemuda bersuara-merdu-tanpa-tandingan saat memanggil
setiap jiwa menemui Tuhannya.
Cerita
tentang Bilal, adalah cerita tentang manusia yang tak bernilai, yang kemudian
dimuliakan dengan iman. Tak habis-habis cintanya kepada Tuhan. Tuhan yang dipeluk
si gagak hitam bersama lengan-lengan orang-orang yang bersaudara tanpa
memandang kabilah, suku, hingga warna kulit. Mereka pun dipimpin oleh seorang pemuda yang begitu egaliter.
Tentang
Bilal, buku-buku shirah punya banyak cerita
yang akan dibaginya jika Anda ingin tahu lebih banyak. Salah satu yang pernah
saya baca adalah karangan Al-Mubarakfuri.
Jika Anda punya referensi lain, sila berbagi di sini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar