Rabu, 21 Januari 2015

Kafka dan Cerita Adik Kecoa



“Di suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpinya, dia menemukan dirinya telah berubah menjadi kecoa.”


Itu adalah kalimat pembuka dari karya penting Franz Kafka, ‘Metamorphosis’. Buku ini tidak hanya menjadi semacam pengubah haluan penerima nobel sastra, Gabriel García Márquez, dari penulis puisi ke prosa, tapi merupakan salah satu karya yang paling banyak dibaca dan berpengaruh pada karya-karya fiksi pada abad ke-20. Setelah membaca kisah Samsa dan keluarga kecilnya, dengan dibuka kalimat seperti di atas, Gabo menjadi penasaran dan tertarik untuk menulis karya sejenis itu. Hasilnya, kita bisa menikmati “One Hundred Years of Solitude” dan “Love at the Time of Cholera”, dua di antara karya Gabo yang sering menjadi rujukan penting kesusastraan Amerika Latin.

Bukan karena alasan-alasan prestisius seperti itu sehingga saya menyukai karya Kafka ini. Kenyataannya, karya Murakami yang juga dipuji dan memenangkan berbagai award, Dengarlah Nyanyian Angin (2013)−dari terjemahan asli “Kaze No Uta O Kike” (1979)−saya baca pada bulan yang sama, tidak juga memberi kepuasan serupa. Memang masing-masing karya akan memberi kepuasan yang berbeda, tapi maksud saya, ukuran kepuasan yang saya dapatkan setelah membaca karya pertama Murakami tidak mencapai ekspektasi yang saya buat, setinggi karya Murakami tersebut dinaikkan dengan pujian. Atau mungkin saya yang tidak mampu menemukan keindahannya? Bisa jadi.

Tapi ini tidak terjadi dengan karya Kafka (yang pertama kali saya baca) ini. Meski pun pada beberapa kalimat ada yang tidak saya pahami dengan jelas (ini mungkin karena efek spoiler dari terjemahan yang saya baca), tapi itu tidak mengurangi kekuatan dari cerita Samsa sekeluarga.

Baiklah, beberapa penulis yang sudah membacanya mungkin tertarik menjabarkan nilai-nilai atau hal-hal menarik yang mereka dapatkan atau bahkan ideologi yang ditawarkan Kafka di karyanya ini. Kita akan menemukan Kafka dengan sangat hati-hati menggambarkan bagaimana seorang penindas bisa saja masuk secara tiba-tiba dalam suatu kelompok. Saat tiga orang tamu, dipersilakan Samsa menyewa satu kamar di apartemen mereka, dan mengizinkan tamu tersebut untuk memerintah mereka seenak udelnya (karena tamu ini punya alat kuasa, yakni uang sewa, dan jika satu keluarga ini tidak memuaskan ketiganya, maka uang sewa bisa saja dicabut). Tidakkah ini meningatkan kita pada Indonesia pasca penandatangan Letter of Intent antara Soeharto dan IMF (1997)?

Saya lebih tertarik dengan hubungan sepasang saudara, adik-kakak, di kisah tersebut. Gregor dan Grete.

Grete adalah satu-satunya penghuni rumah yang berani masuk ke kamar Gregor setelah berubah jadi kecoa. Grete ‘merawat’ Gregor dengan cara-cara yang unik: memasukkan berbagai makanan di dalam kamar Gregor, dan memperhatikan makanan mana yang berkurang, dan setelah itu ia paham yang mana yang disukai kakaknya. Juga, mengeluarkan berbagai perkakas lama di kamar yang mungkin menghalangi Gregor untuk berjalan. Setiap hari, Grate membersihkan kamar Gregor yang dipenuhi bekas kaki kecoa yang busuk dan mengotori dinding, tanpa mengeluh sama sekali.

Suatu kali, Dea Anugrah (editor Penerbit Moka dan cerpenis di beberapa koran nasional), menulis di artikelnya bahwa tidak sepantasnya sebuah novel mengabaikan aspek asmara. Pembaca mungkin tidak akan betah dengan karya yang tebal yang tidak ada kisah cintanya? Kafka, sebelum Dea menulis itu, telah menulis sesuatu yang jauh dari kisah Romeo-Juliet atau Laila-Majnun. Kenyataannya, karya Kafka dapat membuat saya betah menghabiskannya dan menunda mandi sore beberapa jam sebelum saya tamatkan. Kafka menuliskan sesuatu yang dekat, hampir semua orang mengalaminya dan itu jelas bukan kisah sepasang asmara.

Di saat Gregor berubah jadi kecoa, tiba-tiba ia menjadi asing di dalam keluarganya sendiri. Grate, yang awalnya dianggap masih kanak di dalam keluarganya, bocah ingusan, justru yang paling sabar dan berbesar hati menerima perubahan Gregor. Penerimaan Grate melampaui kedua orang tua mereka yang terkesan tidak bisa menerima perubahan anak mereka sendiri.

Secara timbal balik, Gregor juga menyayangi adiknya, terlampau malah. Gregor diam-diam, sebelum peristiwa besar terjadi pada tubuhnya, mengumpulkan mimpi yang diikuti persiapan dana bagi sekolah musik Grate. Gregor tahu, Grate berbakat. Ia ingin melihat adiknya masuk di sekolah musik, mengembangkan bakatnya bermain biola.

Setelah berubah jadi kecoa pun, Gregor masih menyayangi Grate. Itu terlihat pada saat dia mendekati Grate setelah bermain biola dan ketiga tamu yang meminta dilayani dengan permainan biola Grate justru mengejek cara Grate memainkan biola itu. Gregor merasa harus menghibur Grate, ia naik di punggungnya, dan menyentuhkan kepalanya di leher Grate. Mungkin semacam membelai adik yang sedang bersedih?

Gregor akhirnya meninggal dengan bangkai kecoa yang masih bersemayam di tubuhnya. Grate tentu sangat terpukul, tapi kemudian dia pula yang mengajak kedua orang tuanya untuk mulai ‘hidup’ kembali.

Membaca kisah ini, membuat saya mengingat adik saya yang hanya satu-satunya. Terakhir mengobrol dengannya lewat telepon, dia bercerita ingin membeli sepatu takraw (dia tidak suka membaca tapi menghabiskan setiap harinya di sore hari untuk berlatih takraw). Sepertinya dia benar-benar membutuhkan sepatu itu. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar