“Di suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpinya, dia menemukan dirinya telah berubah menjadi kecoa.”
Itu
adalah kalimat pembuka dari karya penting Franz Kafka, ‘Metamorphosis’. Buku ini tidak hanya menjadi semacam pengubah
haluan penerima nobel sastra, Gabriel García Márquez, dari penulis puisi ke
prosa, tapi merupakan salah satu karya yang paling banyak dibaca dan
berpengaruh pada karya-karya fiksi pada abad ke-20. Setelah membaca kisah Samsa
dan keluarga kecilnya, dengan dibuka kalimat seperti di atas, Gabo menjadi
penasaran dan tertarik untuk menulis karya sejenis itu. Hasilnya, kita bisa
menikmati “One Hundred Years of Solitude”
dan “Love at the Time of Cholera”,
dua di antara karya Gabo yang sering menjadi rujukan penting kesusastraan
Amerika Latin.
Bukan
karena alasan-alasan prestisius seperti itu sehingga saya menyukai karya Kafka
ini. Kenyataannya, karya Murakami yang juga dipuji dan memenangkan berbagai award, “Dengarlah Nyanyian Angin (2013)−dari terjemahan asli “Kaze No Uta O Kike” (1979)−saya baca
pada bulan yang sama, tidak juga memberi kepuasan serupa. Memang masing-masing
karya akan memberi kepuasan yang berbeda, tapi maksud saya, ukuran kepuasan
yang saya dapatkan setelah membaca karya pertama Murakami tidak mencapai
ekspektasi yang saya buat, setinggi karya Murakami tersebut dinaikkan dengan pujian. Atau
mungkin saya yang tidak mampu menemukan keindahannya? Bisa jadi.
Tapi
ini tidak terjadi dengan karya Kafka (yang pertama kali saya baca) ini. Meski pun
pada beberapa kalimat ada yang tidak saya pahami dengan jelas (ini mungkin
karena efek spoiler dari terjemahan
yang saya baca), tapi itu tidak mengurangi kekuatan dari cerita Samsa
sekeluarga.
Baiklah,
beberapa penulis yang sudah membacanya mungkin tertarik menjabarkan nilai-nilai
atau hal-hal menarik yang mereka dapatkan atau bahkan ideologi yang ditawarkan
Kafka di karyanya ini. Kita akan menemukan Kafka dengan sangat hati-hati
menggambarkan bagaimana seorang penindas bisa saja masuk secara tiba-tiba dalam
suatu kelompok. Saat tiga orang tamu, dipersilakan Samsa menyewa satu kamar di
apartemen mereka, dan mengizinkan tamu tersebut untuk memerintah mereka seenak
udelnya (karena tamu ini punya alat kuasa, yakni uang sewa, dan jika satu
keluarga ini tidak memuaskan ketiganya, maka uang sewa bisa saja dicabut).
Tidakkah ini meningatkan kita pada Indonesia pasca penandatangan Letter
of Intent antara Soeharto dan
IMF (1997)?
Saya lebih
tertarik dengan hubungan sepasang saudara, adik-kakak, di kisah tersebut.
Gregor dan Grete.
Grete
adalah satu-satunya penghuni rumah yang berani masuk ke kamar Gregor setelah berubah
jadi kecoa. Grete ‘merawat’ Gregor dengan cara-cara yang unik: memasukkan
berbagai makanan di dalam kamar Gregor, dan memperhatikan makanan mana yang
berkurang, dan setelah itu ia paham yang mana yang disukai kakaknya. Juga,
mengeluarkan berbagai perkakas lama di kamar yang mungkin menghalangi Gregor
untuk berjalan. Setiap hari, Grate membersihkan kamar Gregor yang dipenuhi
bekas kaki kecoa yang busuk dan mengotori dinding, tanpa mengeluh sama sekali.
Suatu
kali, Dea Anugrah (editor Penerbit Moka dan cerpenis di beberapa koran nasional),
menulis di artikelnya bahwa tidak sepantasnya sebuah novel mengabaikan aspek
asmara. Pembaca mungkin tidak akan betah dengan karya yang tebal yang tidak ada
kisah cintanya? Kafka, sebelum Dea menulis itu, telah menulis sesuatu yang jauh
dari kisah Romeo-Juliet atau Laila-Majnun. Kenyataannya, karya Kafka dapat membuat saya
betah menghabiskannya dan menunda mandi sore beberapa jam sebelum saya tamatkan. Kafka menuliskan sesuatu yang dekat, hampir semua orang mengalaminya dan itu jelas bukan kisah sepasang asmara.
Di saat Gregor berubah jadi kecoa, tiba-tiba ia menjadi asing di dalam
keluarganya sendiri. Grate, yang awalnya dianggap masih kanak di dalam
keluarganya, bocah ingusan, justru yang paling sabar dan berbesar hati menerima
perubahan Gregor. Penerimaan Grate melampaui kedua orang tua mereka yang terkesan tidak bisa menerima perubahan anak mereka sendiri.
Secara
timbal balik, Gregor juga menyayangi adiknya, terlampau malah. Gregor
diam-diam, sebelum peristiwa besar terjadi pada tubuhnya, mengumpulkan mimpi
yang diikuti persiapan dana bagi sekolah musik Grate. Gregor tahu, Grate
berbakat. Ia ingin melihat adiknya masuk di sekolah musik, mengembangkan
bakatnya bermain biola.
Setelah
berubah jadi kecoa pun, Gregor masih menyayangi Grate. Itu terlihat pada saat
dia mendekati Grate setelah bermain biola dan ketiga tamu yang meminta dilayani
dengan permainan biola Grate justru mengejek cara Grate memainkan biola itu.
Gregor merasa harus menghibur Grate, ia naik di punggungnya, dan menyentuhkan
kepalanya di leher Grate. Mungkin semacam membelai adik yang sedang bersedih?
Gregor
akhirnya meninggal dengan bangkai kecoa yang masih bersemayam di tubuhnya.
Grate tentu sangat terpukul, tapi kemudian dia pula yang mengajak kedua
orang tuanya untuk mulai ‘hidup’ kembali.
Membaca
kisah ini, membuat saya mengingat adik saya yang hanya satu-satunya. Terakhir
mengobrol dengannya lewat telepon, dia bercerita ingin membeli sepatu takraw
(dia tidak suka membaca tapi menghabiskan setiap harinya di sore hari untuk
berlatih takraw). Sepertinya dia benar-benar membutuhkan sepatu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar