‘He will win who knows when to fight and when not to fight.’
Nasihat
tersebut konon dari Sun Tzu, dalam buku, ‘The
Art of War’. Ya, kemenangan atas suatu perang tidak semata ditentukan oleh
kekuatan yang lebih besar dibanding musuh. Seseorang harus tahu kapan waktu
yang tepat untuk berperang. Waktu yang tepat itu, mempertimbangkan banyak hal.
Tidak sekedar kekuatan & kelemahan musuh, pun terutama mengenali diri sendiri.
Dan tak kalah penting, punya strategi yang tidak diketahui dan atau ditiru
musuh.
Beberapa
dari kita bisa saja tak asing dengan cara berpikir ala perang tersebut. Kita terlanjur
menyimpan konsep menang-kalah di kepala. Membiarkannya tumbuh subur malah.
Sayangnya,
kerap kali cara berpikir yang sama menjalar ke sistem yang lebih besar. Terbawa-bawa
dalam berperilaku. Dan ironisnya, sering tanpa disadari.
Contoh
kecil dapat kita tengok di bangku sekolah dasar. Anak-anak yang dilatih
berperang dengan sesama temannya di kelas. Hanya satu dari mereka yang dapat
menyabet rangking satu.
Hari
ini, kita juga disuguhi banjir tulisan motivasi, atau tayangan sejenis yang
sedang menjamur tentang bagaimana meraih sukses. Mereka datang, sebagian dengan
menggunakan taktik yang mirip dengan strategi perang. Jadilah lebih baik dari
yang lain, meski itu teman atau saudara sendiri. Saling sikut dan
berhadap-hadapan dengan lawan. Harusnya, ada yang menang dan yang lain kalah.
Tak
pelak, ini juga berlaku saat tes masuk kerja. Agar dapat lolos, singkirkan
peserta lain. Kadang apa pun caranya, tak masalah. Konsekuensinya, menyontek
dan dikirimi jawaban−yang kadang dibayar hingga jutaan rupiah−menjadi hal yang wajar,
paradoks doxa. Seculas apa pun
strategi, tak begitu masalah. Asal bisa lolos tes. Jadi pemenang.
Memang,
ada seorang pemikir dan ahli matematika bernama Hobbes pernah menyatakan bahwa
secara alamiah manusia hidup dengan peperangan. Sebab sumber daya alam
terbatas, sehingga seseorang harus bersaing dengan yang lainnya untuk bertahan hidup.
Manusia menginginkan hal yang sama, dan olehnya persaingan adalah hal yang
niscaya.
Tapi
kemudian, dalam karyanya di Leviathan, Hobbes
menyatakan kembali, untuk tidak disebut meralat, bahwa hal yang bisa
mengeluarkan manusia dari kondisi alamiah tersebut adalah akal budi (bukankah
akal budilah pembeda manusia dengan binatang?). Kata Hobbes, perselisihan
adalah hal yang akan kita pinggirkan ketika akal budi mulai berperan.
Sebenanrnya, menyerahkan hak kita adalah mendapatkan kegembiraan yang lain,
membudayakan suatu kepentingan bersama. Golden
rule!
Hobbes
mengajari kita, betapa buruknya terus-terusan hidup bernapaskan aroma perang.
Hasrat yang penuh dengan imajinasi kemenangan mengalahkan orang lain. Tapi,
sebagaimana adagium “selalu ada hal positif yang bisa kita pelajari atas suatu
hal”, perspektif yang lain tentang perang bisa kita munculkan sebagai tandingan
di kepala. Maksud saya, perang yang bekerja di kepala mungkin ada manfaatnya, atau
justru kita butuhkan, tapi dengan cara pandang yang berbeda.
Mari
beralih sejenak ke perang Badr, perang pertama yang terjadi setelah Muhammad
hijrah dari Mekah ke Madinah. Konon, kaum Quraisy datang, menyerbu pertama kali−ajaran
dalam Islam memang tidak pernah mengajarkan kekerasan kan? Ya, kecuali jika hak
kita dirampas dan atau lawan yang menyerbu duluan, melawan dan angkat pedang tak
lebih sebagai upaya bertahan. Tentu.
Singkat
cerita, perbandingan pasukan Quraisy dan muslim adalah 1000 : 319 (berdasarkan
sumber Muslim, Syarh An-Nawawi). Bersama
pasukan Quraisy, terdapat pula dua ratus ekor kuda, digiring di samping
unta-unta. Sementara Muhammad dan pasukan hanya membawa dua ekor kuda dan tujuh
puluh ekor unta. Itu pun ditunggangi secara berganti-gantian. Hebatnya, pasukan
Muhammad lah yang justru memenangkan peperangan.
Saya
mengingat salah satu sekuel film animasi ‘Muhammad
the Last Prophet’ yang dipimpin-produksi Richard Rich. Pada saat perang Badr,
seorang pimpinan Quraisy berteriak, ‘mereka bertarung seperti singa’.
Kegigihan, semangat juang, dan tatktik kaum muslim menyatu menjadi kekuatan. Tak
kalah penting: mereka berhasil menyelesaikan strategi perang yang sudah
direncanakan sedari awal.
Hal
terbalik terjadi pada perang Uhud. Kaum muslim justru tumbang. Saat jumlah mereka
lebih banyak. Bahkan sempat ada yang mengira Muhammad telah mati di tengah
peperangan. Beberapa buku sejarah kehidupan Muhammad mencatat, sumber
masalahnya ada pada pasukan pemanah yang bertugas menjaga posisi bertahan
belakang. Mereka tak patuh pada strategi yang sudah disepakati.
Konon,
pasukan pemanah meninggalkan posisi mereka akibat tergoda ghanimah (harta rampasan perang). Jadi tidak salah jika Muhammad
menempatkan harta sebagai godaan yang menempati urutan pertama setelah tahta. Berbahaya,
bahkan untuk seorang pejuang sekali pun.
Berkaca
pada perang Badr dan Uhud, memilih berperang berarti menyanggupi untuk menyelesaikan
apa yang sudah dimulai. Dan inilah yang saya maksud manfaat menyimpan perang
‘lain’ di kepala. Berperang melawan hal-hal negatif dalam diri sendiri seperti
kemalasan dan prokrastinasi.
Ada
perbedaan jelas, membaikkan diri dengan berperang melawan orang lain, dengan
berperang melawan diri sendiri. Kalau kata kakak saya, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri, bukan orang
lain.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 09 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar