Membaca
terjemahan cerpen ‘Love at the Time of
Cholera’ milik Gabriel García Márquez, yang menyelipkan kisah perhatian
seorang ibu kepada anak lelakinya, tidak bisa tidak membuat saya teringat pada
ibu saya. Cerita pendek sastrawan peraih Nobel Sastra 1982 yang dikenal sebagai
pengibar aliran realisme magis tersebut, sebenarnya bukan hendak berkisah
tentang ibu dan anak. Lebih tentang perjalanan pemuda bernama Florentino Ariza di
atas kapal. Di sepanjang cerita, Gabo mengisahkan bagaimana dampak perang
terjadi di semua daerah yang disinggahi kapal tersebut.
Tapi toh kadang saat membaca cerita, entah
nyata atau fiksi, saat kejadian-kejadian dalam cerita pernah atau bahkan hanya
mirip dengan kisah yang kita alami, seringkali cerita tersebut tiba-tiba terasa
begitu intim. Bahkan jika cerita yang dimaksud hanya menjadi awalan, akhiran,
sisipan, atau kejadian yang tidak begitu penting bagi keseluruhan cerita. Begitulah
yang saya rasakan saat membaca cerita yang diterjemahkan Anton Kurnia tersebut.
Meski cerita antara ibu dan anak, bukan inti cerita.
Saya
sering mengalami apa yang dialami Florentino pada awal cerita itu. Saat ia
disuruh ibunya membawa petate−sebuah
tempat tidur gantung lipat dengan bantal, selimut dan kelambu yang terkemas
rapi. Ia ogah membawanya, sebab merasa tak membutuhkannya. Tetapi ternyata ia
kemudian bersyukur atas firasat ibunya, sebab sejak malam pertama di kapal, seseorang
dengan setelan rapi, yang ternyata adalah rombongan dari gubernur, menyalip
haknya dengan menempati kamar yang sudah dia pesan lebih dulu−bukankah sering
begitu, rakyat biasa harus meminggirkan dirinya setiap berhadapan dengan kepentingan
kaum borjuasi dan atau penguasa?
Seringkali,
setiap hendak berangkat bepergian, atau meninggalkan rumah kembali ketika
mudik, ibu saya juga melakukan hal yang sama dengan ibu Florentino. Menyediakan
ini-itu, yang menurut saya sungguh merepotkan untuk dibawa, tapi di akhir atau
tengah perjalanan, saya kemudian sadar, entah bagaimana, saya benar-benar
membutuhkan barang-barang yang saya anggap remeh nan tidak penting itu. Akhirnya,
bagaimana firasat atau naluri keibuan, Tuhan titipkan dalam hati perempuan yang
kita panggil ibu, sungguh sesuatu yang tak pernah luntur untuk saya kagumi.
Tentang
firasat atau naluri tersebut, ingatan saya terpanggil menuju kisah seorang wanita
agung bernama Aminah binti Wahab. Wanita yang berasal dari keturunan Bani Zuhrah di Mekah ini, pernah mengandalkan
naluri keibuannya saat melepas putra satu-satunya untuk kembali ke ibu
persusuan anaknya.
Halimah
as-Sa’diyah, meminta kembali Muhammad yang baru berumur dua tahun. Aminah,
meski untuk kedua kalinya, akhirnya melepaskan anaknya dengan berat. Dan kita
tahu, atas kerelaan Aminah ini, pada masa pengasuhan kedua kali itulah Muhammad
dibawa orang tak dikenal, dibaringkan lalu dibelah perutnya.
Meski
beberapa kalangan mempertentangkan peristiwa apa sejatinya yang terjadi saat
itu, tapi jamak diketahui bahwa peristiwa itu adalah proses penyucian diri
seseorang yang dipersiapkan untuk menjadi penyuluh dan pemimpin besar suatu
umat. Pemimpin yang oleh seorang ahli antropologi dan sejarawan, Michael Hart,
ditempatkan pada urutan pertama dalam 100 daftar manusia yang paling
berpengaruh di dunia. Dan firasat Aminah melepaskan Muhammadlah kala itu, yang
menjadi pintu bagi terjadinya peristiwa kedatangan manusia berbaju putih
tersebut.
Sebagaimana
kita ketahui ‘surga berada ditelapak kaki ibu’, konon, suatu hari Muhammad
pernah didatangi seorang sahabat. Ia berniat mewaqafkan dirinya untuk berjihad
seumur hidup. Kemudian diketahui bahwa sahabat tadi ternyata meninggalkan
ibunya untuk datang kepada Muhammad. Apa yang dikatakan Muhammad? “Celaka engkau! Beradalah di kakinya [ibu] selama-lamanya, di sanalah surgamu!”
Pada
dewasa ini, simbol pemuliaan di kaki perempuan yang kita panggil ‘ibu’,
memiliki hari khusus di salah satu tanggal dalam bulan akhir tahun. Kita
menyaksikan, ucapan-ucapan berceceran, tak kurang diiringi doa-doa selamat.
Bagaimana
hari tersebut kemudian bermetamorfosis untuk dirayakan seperti sekarang, mungkin
bisa ditelusuri kembali. Sebab 22 Desember sebenarnya adalah Hari Kongres
Perempuan Pertama (1928) di Yogyakarta, yang dijadikan sebagai momentum bagi
perempuan untuk memperjuangkan nasib mereka mengaktualisasikan diri di
masyarakat. Hari tersebut bersandar pada hari di mana para ibu menyuarakan diri
untuk berserikat, berkumpul secara kolektif, setara dalam pendidikan, juga
perjuangan bagi janda dan anak-anak perempuan yang kehilangan haknya. Jika
ditelusuri lebih lanjut, hasil kongres ini kemudian mengantarkan kita pada nama
sebuah gerakan perempuan. Ialah Gerwani, gerakan yang diintai para aparatur
negara di tahun ’65.
Jadi
peringatan hari ibu hari ini, sudahkah sesuai dengan sejarahnya?
Lepas
dari itu, pun bagi sebagian anak, setiap hari adalah hari pemuliaan bagi ibu.
Barangkali memang, atas setiap hal remeh-temeh yang dipedulikan ibu, seperti
kisah Florentino Ariza dan ibunya dalam cerita Gabo. Juga atas firasat dan
kerelaannya, seperti Aminah kepada Muhammad. Atas setiap doa-doanya untuk
kebaikan anak-anak yang mungkin bahkan lalai menunaikan baktinya. Atas itu
semua, maka setiap hari memang sepantasnya adalah harinya. Setidak-tidaknya,
setiap hari, doa-doa kebaikan dipanjatkan baginya.
Semoga Tuhan senantiasa menjaga ibu kita,
membalas setiap kebaikannya dengan setimpal...
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 26 Desember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar