Jumat, 26 Desember 2014

Ibu dan Anak


Membaca terjemahan cerpen ‘Love at the Time of Cholera’ milik Gabriel García Márquez, yang menyelipkan kisah perhatian seorang ibu kepada anak lelakinya, tidak bisa tidak membuat saya teringat pada ibu saya. Cerita pendek sastrawan peraih Nobel Sastra 1982 yang dikenal sebagai pengibar aliran realisme magis tersebut, sebenarnya bukan hendak berkisah tentang ibu dan anak. Lebih tentang perjalanan pemuda bernama Florentino Ariza di atas kapal. Di sepanjang cerita, Gabo mengisahkan bagaimana dampak perang terjadi di semua daerah yang disinggahi kapal tersebut.

Tapi toh kadang saat membaca cerita, entah nyata atau fiksi, saat kejadian-kejadian dalam cerita pernah atau bahkan hanya mirip dengan kisah yang kita alami, seringkali cerita tersebut tiba-tiba terasa begitu intim. Bahkan jika cerita yang dimaksud hanya menjadi awalan, akhiran, sisipan, atau kejadian yang tidak begitu penting bagi keseluruhan cerita. Begitulah yang saya rasakan saat membaca cerita yang diterjemahkan Anton Kurnia tersebut. Meski cerita antara ibu dan anak, bukan inti cerita.

Saya sering mengalami apa yang dialami Florentino pada awal cerita itu. Saat ia disuruh ibunya membawa petate−sebuah tempat tidur gantung lipat dengan bantal, selimut dan kelambu yang terkemas rapi. Ia ogah membawanya, sebab merasa tak membutuhkannya. Tetapi ternyata ia kemudian bersyukur atas firasat ibunya, sebab sejak malam pertama di kapal, seseorang dengan setelan rapi, yang ternyata adalah rombongan dari gubernur, menyalip haknya dengan menempati kamar yang sudah dia pesan lebih dulu−bukankah sering begitu, rakyat biasa harus meminggirkan dirinya setiap berhadapan dengan kepentingan kaum borjuasi dan atau penguasa?

Seringkali, setiap hendak berangkat bepergian, atau meninggalkan rumah kembali ketika mudik, ibu saya juga melakukan hal yang sama dengan ibu Florentino. Menyediakan ini-itu, yang menurut saya sungguh merepotkan untuk dibawa, tapi di akhir atau tengah perjalanan, saya kemudian sadar, entah bagaimana, saya benar-benar membutuhkan barang-barang yang saya anggap remeh nan tidak penting itu. Akhirnya, bagaimana firasat atau naluri keibuan, Tuhan titipkan dalam hati perempuan yang kita panggil ibu, sungguh sesuatu yang tak pernah luntur untuk saya kagumi.

Tentang firasat atau naluri tersebut, ingatan saya terpanggil menuju kisah seorang wanita agung bernama Aminah binti Wahab. Wanita yang berasal dari keturunan Bani Zuhrah di Mekah ini, pernah mengandalkan naluri keibuannya saat melepas putra satu-satunya untuk kembali ke ibu persusuan anaknya.

Halimah as-Sa’diyah, meminta kembali Muhammad yang baru berumur dua tahun. Aminah, meski untuk kedua kalinya, akhirnya melepaskan anaknya dengan berat. Dan kita tahu, atas kerelaan Aminah ini, pada masa pengasuhan kedua kali itulah Muhammad dibawa orang tak dikenal, dibaringkan lalu dibelah perutnya.

Meski beberapa kalangan mempertentangkan peristiwa apa sejatinya yang terjadi saat itu, tapi jamak diketahui bahwa peristiwa itu adalah proses penyucian diri seseorang yang dipersiapkan untuk menjadi penyuluh dan pemimpin besar suatu umat. Pemimpin yang oleh seorang ahli antropologi dan sejarawan, Michael Hart, ditempatkan pada urutan pertama dalam 100 daftar manusia yang paling berpengaruh di dunia. Dan firasat Aminah melepaskan Muhammadlah kala itu, yang menjadi pintu bagi terjadinya peristiwa kedatangan manusia berbaju putih tersebut.

Sebagaimana kita ketahui ‘surga berada ditelapak kaki ibu’, konon, suatu hari Muhammad pernah didatangi seorang sahabat. Ia berniat mewaqafkan dirinya untuk berjihad seumur hidup. Kemudian diketahui bahwa sahabat tadi ternyata meninggalkan ibunya untuk datang kepada Muhammad. Apa yang dikatakan Muhammad? “Celaka engkau! Beradalah di kakinya [ibu] selama-lamanya, di sanalah surgamu!”

Pada dewasa ini, simbol pemuliaan di kaki perempuan yang kita panggil ‘ibu’, memiliki hari khusus di salah satu tanggal dalam bulan akhir tahun. Kita menyaksikan, ucapan-ucapan berceceran, tak kurang diiringi doa-doa selamat.

Bagaimana hari tersebut kemudian bermetamorfosis untuk dirayakan seperti sekarang, mungkin bisa ditelusuri kembali. Sebab 22 Desember sebenarnya adalah Hari Kongres Perempuan Pertama (1928) di Yogyakarta, yang dijadikan sebagai momentum bagi perempuan untuk memperjuangkan nasib mereka mengaktualisasikan diri di masyarakat. Hari tersebut bersandar pada hari di mana para ibu menyuarakan diri untuk berserikat, berkumpul secara kolektif, setara dalam pendidikan, juga perjuangan bagi janda dan anak-anak perempuan yang kehilangan haknya. Jika ditelusuri lebih lanjut, hasil kongres ini kemudian mengantarkan kita pada nama sebuah gerakan perempuan. Ialah Gerwani, gerakan yang diintai para aparatur negara di tahun ’65.

Jadi peringatan hari ibu hari ini, sudahkah sesuai dengan sejarahnya?

Lepas dari itu, pun bagi sebagian anak, setiap hari adalah hari pemuliaan bagi ibu. Barangkali memang, atas setiap hal remeh-temeh yang dipedulikan ibu, seperti kisah Florentino Ariza dan ibunya dalam cerita Gabo. Juga atas firasat dan kerelaannya, seperti Aminah kepada Muhammad. Atas setiap doa-doanya untuk kebaikan anak-anak yang mungkin bahkan lalai menunaikan baktinya. Atas itu semua, maka setiap hari memang sepantasnya adalah harinya. Setidak-tidaknya, setiap hari, doa-doa kebaikan dipanjatkan baginya.

Semoga Tuhan senantiasa menjaga ibu kita, membalas setiap kebaikannya dengan setimpal...

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 26 Desember 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar