Jika Anda merasa bodoh, bacalah buku. Tapi jika Anda merasa sudah pintar, Anda butuh membaca buku lebih banyak lagi!
Siapa pun pengikut lini kala M. Aan
Mansyur (@hurufkecil), kemungkinan besar sudah familiar dengan pesan di atas.
Saya sengaja mengatakan pengikut, bukan pembaca. Sependek bacaan saya, Aan
belum pernah menarasikan secara tersurat pesan tersebut di tulisan-tulisannya,
baik fiksi mau pun non-fiksi. Jadi jika Anda pernah menemukannya, maka bacaan
Anda mungkin lebih banyak dari saya.
Sederhana saja sebenarnya yang ingin
disampaikan Aan, teruslah membaca. Tapi cara mengungkapkannya, cukup efektif
sebagai upaya menghantam kepala orang yang selama ini sok pintar, merasa telah membaca banyak buku. Sepertinya saya cukup
sepakat dengan pernyataan yang entah siapa, yang mengatakan bahwa Aan adalah
tipe penulis yang menerbangkan ide besar dengan menggunakan pesawat kecil.
Jika Anda punya waktu yang cukup, ada
baiknya baca juga jurnal-jurnal Eka Kurniawan. Eka adalah sastrawan yang diakui
Aan di salah satu Kolom Literasi Koran Tempo Makassar sebagai penulis Indonesia
yang paling disukainya. Saya tidak menuliskan alamat lengkap jejaring Eka di
sini, sebab jika Anda benar-benar serius ingin membaca tulisannya, dengan
pintar Google akan menginformasikan alamat tersebut.
Di kumpulan tulisan daring milik Eka
itu, hampir setiap tulisan yang ada, tidak berlebihan jika dikatakan mampu
menggedor kesadaran pembaca untuk lebih rakus membaca. Paling tidak, begitu
yang saya rasakan setelah menelusuri tulisan-tulisan Eka hingga beberapa tahun
belakangan.
Tentu saya tak bermaksud menyampaikan
bahwa saya kini lebih rakus. Sebab nyatanya, saya justru merasa mundur jauh ke
belakang setelah membaca jurnal-jurnal Eka. Pasalnya, saya coba bandingkan kebiasaan
membaca saya untuk satu buku, paling cepat, saya mampu menghabiskan dalam waktu
satu hari untuk buku tipis sementara Eka hanya butuh empat jam saja. Duh!
Saya
mampu membaca tidak kurang delapan buku dalam sebulan, sesibuk apa pun. Tegas Eka di jurnalnya.
Membandingkan diri saya yang amatiran
ini dengan dua penulis sekaliber Aan dan Eka, sebenarnya tak lebih dari sekedar
upaya untuk tidak terlihat lebih pemalas. Sebab ada penulis-penulis hebat, yang
nyatanya bisa lebih mengenaskan kebiasaan membacanya.
Kita sebut saja Jorge Luis Borges. Ia hampir
menghabiskan masa tuanya dengan mata yang nyaris buta karena kegilaannya
membaca hampir semua buku di perpustakaan tempat ia bekerja. Saya tidak tahu,
ini benar-benar benar atau tidak. Ini hanya kecurigaan Eka, yang ditulis di
jurnalnya. Dalam salah satu tulisan Eka, ia bandingkan dirinya dengan sosok Borges
yang dikaguminya.
Benarlah Paulo Freire, yang
mensyaratkan kerendahan hati sebagai salah satu syarat untuk belajar. Belajar
untuk menjadi sebenar-benarnya manusia. Untuk merawat semangat membaca,
membandingkan diri dengan salah satu penulis favorit adalah jalan yang ditempuh
Eka.
Jika Anda tidak mau meniru kebiasaan
Borges yang mengundang bahaya itu, coba yang dekat-dekat saja. Sapardi Djoko
Damono misalnya. Penulis yang dikagumi Aan ini, sulit untuk tidak meyakini
bahwa ia bukan seorang pembaca akut.
Pada awalnya, Aan juga membandingkan
dirinya dengan mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tersebut.
Selanjutnya Aan menelusuri bacaan-bacaannya, berusaha membaca semua buku-buku
yang dicurigainya pernah dibaca Sapardi.
Cukup mudah untuk menarik kesimpulan,
baik Aan maupun Eka, menjaga dirinya dari kemalasan dengan melirik kebiasaan
membaca penulis yang mereka kagumi. Mengetahui seseorang telah membaca lebih banyak
dari diri sendiri, cukup efektif untuk membuat diri merasa atau paling tidak
sadar bahwa diri sendiri tidak ada apa-apanya. Setidaknya bagi saya begitu. Dan
saya curiga, sebenarnya saya memang butuh untuk senantiasa merasa seperti itu. Atau
jika dengan cara itu, saya bisa sedikit lebih malu untuk tidak bisa tidak
belajar. Dalam hal ini, tidak bisa tidak membaca.
Pada titik ini, nasehat lama anak
sulung dari perempuan yang saya panggil ‘ibu’ tiba-tiba saja menjadi bertuah: kita butuh orang-orang yang pintar merasa,
bukan merasa pintar. Merasa jauh dari kepantasan adalah jalan untuk tidak
merasa pintar, setidaknya itu juga bisa jadi cara yang baik untuk menjaga kita
dari keangkuhan pengetahuan.
Dan izinkan saya menarik benang merah dari
pesan tiga laki-laki yang tulisan-tulisannya saya sukai itu: Aan, Eka dan kakak
saya. Kira-kira bagaimana kalau saya tuliskan, sebenarnya mereka hendak
berpesan begini: kita boleh [dan
sepatutnya untuk] merasa bodoh, tertinggal jauh di belakang. Namun satu hal,
kita tidak boleh berhenti untuk terus belajar. Anda sepakat?
Rubrik
Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 28 Nopember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar