Sabtu, 15 November 2014

Terpanggang Matahari dan Bulan Berakhiran -Ber

 
Apa yang lekat dengan Makassar selain geng motor, manusia kasar, demonstrasi mahasiswa dan streotype sejenis yang menggeneralisasikan masyarakat ini? Jawabannya adalah panas. Ya, kota ini panas. Saya hampir yakin, para wisatawan & pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Makassar, akan langsung membenarkannya. Tanpa perlu mengeluarkan termometer, mereka akan sepakat, Makassar panas. Saya pikir, Anda pun sepakat akan hal ini.

Tapi tak perlu khawatir! Meski pun di jalan-jalan umum, pemerintah lebih memilih memenuhi pandangan mata Anda dengan baliho tentang dirinya sendiri tinimbang memanjakan Anda dengan pohon-pohon sejuk, Anda tetap akan terlindung dari terik matahari jika berada di strata masyarakat menengah ke atas.

Anda disuguhi pilihan pertama, memiliki & menaiki mobil mewah. Memilih menggunakan pete-pete, tidak membuat Anda terbebas dari sengatan matahari. Terlebih harus berdesakan dengan penumpang lain, dengan aroma yang bercampur aduk di dalamnya. Maka, seperti logika menyewa hotel, semakin tinggi standar kenyaman, semakin besar uang yang harus Anda keluarkan. Maka, jika belum mampu mengkredit mobil pribadi, minimal, Anda harus mampu membayar ongkos taksi untuk bisa sampai tujuan dengan nyaman, tanpa terpanggang matahari.

Demikianlah masyarakat kota harus hidup & bepergian tanpa gangguan. Maka jangan heran, jika di kota ini, kendaraan pribadi tak kenal pembagian angka berdasarkan kepala keluarga. Pemandangan lumrah, anak-anak muda ke kampus, bahkan sekolah, dengan mengendarai mobil pribadi. Lalu kemacetan bertumpu di titik-titik pertemuan keramaian kota. Tak mengapa, asal tak terpanggang matahari.

Tak hanya hierarki di jalanan, jenis pekerjaan pun mengikuti pola yang sama. Pekerjaan dalam ruang ber-AC lebih mentereng tinimbang pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan matahari. Semakin hari, pekerja-pekerja semakin jauh dari tanah. Lupa bahwa apa yang dimakannya setiap hari, mungkin sambil menonton berita di televisi, adalah hasil keringat para pekerja yang bersentuhan langsung dengan tanah. Petani!

Tidak hanya pekerja kasar seperti buruh, tukang becak atau padagang pinggir jalan yang jauh dari cita-cita profesi, bahkan pada pekerjaan kantor pun, hierarki ini tetap terbagi atas dua: pekerja lapangan & belakang meja.

Semakin terlindungi pekerjaan Anda dari sengat matahari, semakin baik pekerjan itu. Kira-kira begitu pola yang hendak dibentuk. Karena ketidakmampuan mengakses fasilitas, seperti mobil mewah & bekerja di kantor ber-AC, maka seseorang harus menanggung terik matahari.

Dalam banyak literatur, setiap frase matahari, disematkan sebelumnya kata "panggang"-- termasuk dalam judul tulisan ini tentu saja. Kata "panggang" diasosiasikan dengan sesuatu yang dekat dengan api. Panas. Semakin lama Anda terpanggang, semakin besar kemungkinan Anda gosong.

Ini sangat berbeda dengan cara Esthy M.W. dalam bukunya, Seri Pencipta, yang memadupadankan kalimat seperti "matahari di balik gunung yang menerangi rumahku". Atau "mengeringkan baju kami, dan dengan sinarnya, membuat keluargaku sehat selalu". Esthy M.W. menarasikan matahari sebagai potensi yang dimanfaatkan & didayagunakan.

Matahari dalam media, digambarkan sebagai sesuatu yang memberi dampak menghitamkan kulit, merusak dandan, menimbulkan bau badan dan sebagainya, sehingga seseorang harus mengkonsumsi alat pelindung wajah, bahkan badan keseluruhan, dari matahari. Bintang iklan kecantikan memojokkan matahari sebagai sesuatu yang harus dihindari dengan menggunakan produk yang diiklankannya.

Jarang ternarasikan bagaimana matahari menjadi penting bagi pertumbuhan padi-padi yang meremaja di pematang sawah, yang merupakan bagian penting dari proses produksi para petani. Atau seperti hampir saban pagi, saya menyaksikam seorang perempuan tua di atas kursi rodanya, mengobati diri dengan mengambil manfaat sinar ultraviolet untuk kulitnya yang pucat itu.

Matahari adalah sesuatu yang kini menjadi sebab seseorang butuh lebih banyak kebutuhan primer untuk dapat bertahan di kota. Matahari, yang dalam sebuah lagu anak populer dimajaskan serupa tugas mulia seorang ibu, "bagai Sang Surya menyinari dunia" menjadi sirna keagungannya di depan masyarakat kota penikmat modernitas. Matahari telah jauh dari kesan anugerah, terlebih berkah.

***

Kini, musim penghujan sedang menyapa kota. Hampir setiap hari. Tidak lama lagi, matahari akan kita rindukan dengan malu-malu. Dan seperti kata teman saya, ‘ingat! Ketika hendak mengeluhkan tanah yang becek, air yang tergenang, cucian tak kunjung kering, ingatlah kembali saat-saat kita berkeluh kesah kepanasan dan mengumpat pada mentari.

***

Oh ya, ngomong-ngomong, bapak walikota kita katanya adalah seorang yang ahli terkait tata ruang dan kota ya? Bagaimana kalau kita perhatikan kinerjanya di bulan-bulan berakhiran –ber ini. Sebab, berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pada musim penghujan, beberapa titik di Makassar tiba-tiba berubah jadi danau-danau kecil. Jadi, mari kita lihat tahun ini, apakah danau tersebut akan muncul kembali, atau bahkan kian melebar?

Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 15 Nopember 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar