Apa yang lekat dengan Makassar
selain geng motor, manusia kasar, demonstrasi mahasiswa dan streotype sejenis yang menggeneralisasikan
masyarakat ini? Jawabannya adalah panas. Ya, kota ini panas. Saya hampir yakin,
para wisatawan & pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di
Makassar, akan langsung membenarkannya. Tanpa perlu mengeluarkan termometer,
mereka akan sepakat, Makassar panas. Saya pikir, Anda pun sepakat akan hal ini.
Tapi tak perlu khawatir! Meski
pun di jalan-jalan umum, pemerintah lebih memilih memenuhi pandangan mata Anda
dengan baliho tentang dirinya sendiri tinimbang memanjakan Anda dengan
pohon-pohon sejuk, Anda tetap akan terlindung dari terik matahari jika berada
di strata masyarakat menengah ke atas.
Anda disuguhi pilihan pertama,
memiliki & menaiki mobil mewah. Memilih menggunakan pete-pete, tidak
membuat Anda terbebas dari sengatan matahari. Terlebih harus berdesakan dengan
penumpang lain, dengan aroma yang bercampur aduk di dalamnya. Maka, seperti
logika menyewa hotel, semakin tinggi standar kenyaman, semakin besar uang yang
harus Anda keluarkan. Maka, jika belum mampu mengkredit mobil pribadi, minimal,
Anda harus mampu membayar ongkos taksi untuk bisa sampai tujuan dengan nyaman,
tanpa terpanggang matahari.
Demikianlah masyarakat kota
harus hidup & bepergian tanpa gangguan. Maka jangan heran, jika di kota
ini, kendaraan pribadi tak kenal pembagian angka berdasarkan kepala keluarga.
Pemandangan lumrah, anak-anak muda ke kampus, bahkan sekolah, dengan
mengendarai mobil pribadi. Lalu kemacetan bertumpu di titik-titik pertemuan
keramaian kota. Tak mengapa, asal tak terpanggang matahari.
Tak hanya hierarki di jalanan,
jenis pekerjaan pun mengikuti pola yang sama. Pekerjaan dalam ruang ber-AC
lebih mentereng tinimbang pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan matahari.
Semakin hari, pekerja-pekerja semakin jauh dari tanah. Lupa bahwa apa yang
dimakannya setiap hari, mungkin sambil menonton berita di televisi, adalah
hasil keringat para pekerja yang bersentuhan langsung dengan tanah. Petani!
Tidak hanya pekerja kasar
seperti buruh, tukang becak atau padagang pinggir jalan yang jauh dari
cita-cita profesi, bahkan pada pekerjaan kantor pun, hierarki ini tetap terbagi
atas dua: pekerja lapangan & belakang meja.
Semakin terlindungi pekerjaan
Anda dari sengat matahari, semakin baik pekerjan itu. Kira-kira begitu pola yang
hendak dibentuk. Karena ketidakmampuan mengakses fasilitas, seperti mobil mewah
& bekerja di kantor ber-AC, maka seseorang harus menanggung terik matahari.
Dalam banyak literatur, setiap
frase matahari, disematkan sebelumnya kata "panggang"-- termasuk
dalam judul tulisan ini tentu saja. Kata "panggang" diasosiasikan
dengan sesuatu yang dekat dengan api. Panas. Semakin lama Anda terpanggang,
semakin besar kemungkinan Anda gosong.
Ini sangat berbeda dengan cara
Esthy M.W. dalam bukunya, Seri Pencipta, yang memadupadankan kalimat seperti
"matahari di balik gunung yang menerangi rumahku". Atau
"mengeringkan baju kami, dan dengan sinarnya, membuat keluargaku sehat
selalu". Esthy M.W. menarasikan matahari sebagai potensi yang dimanfaatkan
& didayagunakan.
Matahari dalam media,
digambarkan sebagai sesuatu yang memberi dampak menghitamkan kulit, merusak
dandan, menimbulkan bau badan dan sebagainya, sehingga seseorang harus
mengkonsumsi alat pelindung wajah, bahkan badan keseluruhan, dari matahari. Bintang
iklan kecantikan memojokkan matahari sebagai sesuatu yang harus dihindari
dengan menggunakan produk yang diiklankannya.
Jarang ternarasikan bagaimana
matahari menjadi penting bagi pertumbuhan padi-padi yang meremaja di pematang
sawah, yang merupakan bagian penting dari proses produksi para petani. Atau
seperti hampir saban pagi, saya menyaksikam seorang perempuan tua di atas kursi
rodanya, mengobati diri dengan mengambil manfaat sinar ultraviolet untuk
kulitnya yang pucat itu.
Matahari adalah sesuatu yang
kini menjadi sebab seseorang butuh lebih banyak kebutuhan primer untuk dapat
bertahan di kota. Matahari, yang dalam sebuah lagu anak populer dimajaskan
serupa tugas mulia seorang ibu, "bagai Sang Surya menyinari dunia"
menjadi sirna keagungannya di depan masyarakat kota penikmat modernitas.
Matahari telah jauh dari kesan anugerah, terlebih berkah.
***
Kini, musim penghujan sedang
menyapa kota. Hampir setiap hari. Tidak lama lagi, matahari akan kita rindukan
dengan malu-malu. Dan seperti kata teman saya, ‘ingat! Ketika hendak mengeluhkan tanah yang becek, air yang tergenang,
cucian tak kunjung kering, ingatlah kembali saat-saat kita berkeluh kesah
kepanasan dan mengumpat pada mentari.”
***
Oh ya, ngomong-ngomong, bapak
walikota kita katanya adalah seorang yang ahli terkait tata ruang dan kota ya?
Bagaimana kalau kita perhatikan kinerjanya di bulan-bulan berakhiran –ber ini.
Sebab, berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pada musim penghujan, beberapa
titik di Makassar tiba-tiba berubah jadi danau-danau kecil. Jadi, mari kita
lihat tahun ini, apakah danau tersebut akan muncul kembali, atau bahkan kian
melebar?
Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 15 Nopember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar