Dua anak gadis, kira-kira duduk di tahun kedua SMP. Masih dengan seragam sekolah, berbaur di antara para pembaca perpustakaan umum daerah.
Satu
di antaranya sedang membaca novel terjemahan,
An Other Heart. Saya
mencuri-curi pandang, mengamatinya, tapi dia serius sekali membaca. Curi
pandangku tidak digubrisnya. Berharap, dalam satu temu pandang, saya bisa
melempar senyum padanya. Sayang, tak sekali pun matanya berpindah dari
deretan-deretan huruf yang tersusun rapi di depannya.
***
Dunia
remaja, dunia realitas yang−kata tetangga kos saya−sedang berada pada siang
hari. Pada saat itu, bumi sedang panas-panasnya. Sekaligus terang-terangnya.
Para
remaja baru saja meninggalkan masa dini hari. Dari babak kehidupan mereka
menuju dunia yang panas dan bergejolak.
Dalam
buku Saya Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, dunia remaja adalah dunia mereka
yang haus akan pengakuan. Untuk dianggap penting dalam keluarga, mereka kadang
melakukan hal-hal yang mengejutkan. Tidak jarang nakal dan brutal.
Stereotip
nakal tentu bukan tanpa alasan. Biasanya, 'anak nakal' berada di rumah pasangan
orang tua yang sibuk. Punya urusan sendiri-sendiri. Tidak punya banyak waktu
untuk sekedar mencari tahu kehidupan anak remaja mereka. Bahkan hanya untuk
mendengar cerita-cerita si anak remaja yang labil. Meski pun tidak lantas juga,
‘anak nakal’ otomatis berorang-tua sibuk. Tapi, harus kita akui, perhatian dari
kedua orang tua tak ubahnya pupuk yang menentukan pertumbuhan anak-anak mereka.
Ketika
suatu hari, kasus atau masalah tiba-tiba muncul, saat itulah si anak dicap
nakal. Padahal, sebuah kasus tidak terjadi begitu saja, namun didahului oleh
gejala-gejala, yang lebih sering tidak dikenali oleh orang tua yang abai pada
anak remaja mereka.
Tidak
begitu asalan jika saya nyatakan, sebenarnya anak remaja seperti ini seumpama
fenomena gunung es. Punya banyak hal yang tidak diungkapnya.
Saya
jadi ingat, sebuah tabloid yang mengangkat isu gender. Dituliskan tentang seorang
anak perempuan yang berasal dari Jawa Timur terkait pengalamannya dilecehkan
oleh teman laki-laki sepupu yang menumpang di rumahnya. Ironis, ia ketakutan
tidak saja karena kebejatan teman lelaki sepupunya, tapi ketakutan untuk
bercerita, mengungkapkan apa yang dialami kepada kedua orang tuanya.
Pendek
cerita, si remaja perempuan ini tidak dapat bergaul lagi di sekolah. Sering
tidak masuk kelas. Akhirnya tinggal kelas.
Hingga
kisah tersebut ditulis, ia masih mengalami trauma mendalam. Namun, kedua orang
tuanya−si ibu adalah pemilik butik dan ayahnya seorang pelaut−tidak pernah tahu
apa penyebab 'nakal'-nya si anak remaja perempuan mereka yang bermasalah di
sekolah & susah diajak ngobrol. Komunikasi yang jarang, serta pengetahuan
kedua orang tua yang tidak mampu menyentuh dunia anak remaja, menjadi sumber
masalah yang bertumpuk-tumpuk bagi si remaja.
Kisah
yang mirip, jauh sebelumnya, pernah ditulis oleh novelis Jepang, Yasunari
Kawabata dalam Utsukushisa To Kanashimi
To, yang telah dialihbahasakan dalam edisi berbahasa Inggris, Beauty and Sadness. Otoko seorang gadis
remaja Jepang dihamili oleh Oki, laki-laki beristri dan punya anak. Kesedihan
dikisahkan Kawabata tidak hanya dirasakan oleh Otoko, namun terlebih oleh
ibunya yang mengetahui anaknya diperkosa.
Kawabata
menuliskan kesedihan sekaligus penyesalan seorang ibu yang melihat putrinya
terluka. Untuk membunuh rasa bersalah si Ibu yang tidak menjaga putrinya dengan
baik, ia mengalami kesedihan yang lebih dalam lagi. Si ibu memilih untuk
mendampingi Otoko selama tiga hari tanpa tidur setelah kematian bayi yang baru
saja dilahirkan Otoko.
Oh
ya, selain novel ini, karya pertama Kawabata, juga berkisah tentang masa
remaja. Judulnya Penari Izu.
Kawabata,
peraih Nobel Sastra 1968, yang menurut suatu penerbit berskala nasional adalah
'perwujudan sastra Jepang modern yang paling menonjol', adalah seorang yatim
piatu sejak usia muda. Kehidupannya ini kemudian banyak mewarnai
karya-karyanya.
Pada
April 1972 ia tewas ditemukan bunuh diri. Karya-karya awalnya yang mengangkat
intrik dunia remaja, penuh kesedihan dan misteri sama halnya dengan kematiannya
yang tanpa pesan terakhir. Tak pernah ada penjelasan memuaskan mengenai
penyebab tindakan di akhir usianya itu.
***
Ada
persamaan antara dua perempuan di dalam perpus tersebut, dengan dua perempuan
yang mengalami tragedi seks dalam cerita di atas: mereka sama-sama remaja.
Perbedaan mereka adalah lingkungan di mana mereka bertumbuh. Sulit untuk tidak
menebak, bahwa dua remaja di perpustakaan tadi tumbuh di lingkungan keluarga
yang dekat dengan aktivitas membaca.
***
Suatu
hari saat bertamu ke rumah seorang kawan dekat, kawan saya yang lain juga
datang bersama istri dan anaknya. Saya tahu betul, sepasang suami istri ini
adalah sama-sama pembaca. Di rumah mereka berjejer beberapa lemari dan rak yang
dipenuhi buku.
Selang
beberapa menit kedatangan mereka, tiba-tiba anak lelaki mereka merengek, 'Bubu
(begitu ia memanggil ibunya), buku mana? Mau buku!' Ia ketagihan membaca buku.
Begitulah anak kecil ini bertumbuh, dan saya membayangkan bagaimana kerennya ia
di masa remaja kelak, dengan dampingan sepasang orang tua yang juga keren,
tentu.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 14 Nopember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar