Kamis, 28 November 2013

Sindrom 'Speakaholic'



Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, maka banyaklah mendengar ketimbang buncah bicara. Kalimat tersebut adalah sebuah pesan bijak yang sudah sering diulangi. Namun, karena kebanyakan kita “tidak mendengar”. Pesan tersebut hanya sekedar melintas tanpa terefleksi dengan baik.

Kita lebih suka berbicara. Di mana-mana orang-orang sibuk berbicara. Di ruang kelas. bahkan di tempat ibadah, orang-orang senang mengobrol.

Lidah katanya, memang tak punya tulang. Konsekuensinya, orang-orang gampang mengeluarkan kata-kata yang tidak jarang hanya spontanisasi. Tidak memikirkannya terlebih dahulu, apakah perlu angkat bicara atau lebih baik diam saja.

Kondisi ini membenarkan sebuah tulisan dari Islah Gusmian, seorang penulis buku non fiksi yang mengkritik tatanan sosial dan birokrasi, yang berjudul Pantat Bangsaku. Menurutnya, masyarakat kita sedang mengidap satu sindrom yang ia beri nama “speakaholic”. Pengistilahan “homo sepakaholic” diartikan sebagai manusia gila bicara.

Dimulai dari kebanyakan pemimpin kita yang memang speakaholic, gemar berbicara di atas panggung. Bahkan, ada yang perlu mengikuti kursus untuk berpidato.

Pidato-pidato barangkali hanya sebuah formalitas yang berujung sandiiwara belaka. Naskah disiapkan sedemikian rupa oleh asisten pribadi menunjukkan betapa pentingnya kata-kata yang akan disuarakan.

Sindrom speakaholic juga menyebar di sekolah-sekolah. Para siswa berbisik-bisik saat pelajaran dan ribut-ribut pada jam istirahat. Guru-guru pun tak luput terjangkit sindrom ini. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, saat pelajaran menulis, guru-guru mengajarkannya dengan bercuap-cuap di depan para siswa. Para siswa diajar menulis dengan berbicara.

Lalu di tempat-tempat umum, hampir semua orang senang berbicara. Bahkan di dalam perpustakaan, kebisingan seharusnya tak ditemui, masih juga ada yang nakal berkasak-kusuk. Mereka bercerita dan bergosip, tanpa disadari menganggu pembaca yang lain.

Di televisi terlebih lagi. Suguhan berita dan program kehidupan artis, hampir dimiliki oleh semua stasiun. Para artis dimunculkan dengan proses tanya jawab yang padat dan lebih banyak tidak berisi. Mereka bahkan dengan senang hati bercerita lebih banyak dari yang ditanyakan oleh wartawan.

Hasil pemberitaan itu kemudian menyebar di seluruh nusantara. Maka jadilah berita artis tersebut bahan obrolan yang membuat penyebar dan pendengar berita untuk menghabiskan waktu mereka berjam-jam, memperbincangkan kehidupan orang lain.

Sindrom speakaholic ini menyiratkan bahwa masyarakat kita lebih condong merefleksikan apa yang dipikirkan dengan mengucapkannya. Kadang diucapkan terburu-buru, takut kehilangan ide. Kontradiksi dengan sebuah pesan yang diungkapkan oleh A.S. Laksana, “dekatkanlah tanganmu pada otakmu!”

Barangkali kesukaan kita pada hal yang cepat dan instan adalah salah satu penyebab sindrom speakaholic. Kita malas menuliskan sebuah ide. Kita tak mau bersusah payah mencatatnya dalam kertas kemudian menganalisanya kembali. Akhirnya, bukan pekerjaan dari tangan kita yang dekat dengan otak, tapi pekerjaan mulut kita.

Terlalu banyak orang berbicara, membuat kita pun harus menyediakan telinga untuk mendengar. Namun, ada berapa banyak yang memilih menjadi pendengar? Orang-orang senang berbicara, sibuk mencari bahan pembicaraan.

Sindrom ini pun akhirnya berdampak pada sedikitnya bacaan berkualitas yang tersedia di negeri ini. Sebab boleh jadi ide-ide hebat hanya tumpah dalam kata-kata yang tak sempat dituliskan.

Bisa dibayangkan bagaimana pengetahuan tentang perjuangan kemerdekaan kita akan bergitu kerdilnya, jika Bung Hatta mengidap sindrom speakaholic ini? Jika Pramoedya Ananta Toer hanya berimajinasi dan mendongengkan tetralogi buruhnya, tanpa pernah menuliskannya?

Kata orang, kata-kata akan hilang dan tulisan akan abadi. Sebagaimana ungkapan “verba volant, scripta manent”. Sepertinya kalimat tersebut cukup mengingatkan pada kita yang buncah bicara. Sekaligus mengingatkan diri kita yang sedikit menulis.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Rabu, 27 Nopember 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar