Kita
memiliki dua telinga dan satu mulut, maka banyaklah mendengar ketimbang buncah
bicara. Kalimat tersebut adalah sebuah pesan bijak yang sudah sering diulangi.
Namun, karena kebanyakan kita “tidak mendengar”. Pesan tersebut hanya sekedar
melintas tanpa terefleksi dengan baik.
Kita
lebih suka berbicara. Di mana-mana orang-orang sibuk berbicara. Di ruang kelas.
bahkan di tempat ibadah, orang-orang senang mengobrol.
Lidah
katanya, memang tak punya tulang. Konsekuensinya, orang-orang gampang
mengeluarkan kata-kata yang tidak jarang hanya spontanisasi. Tidak
memikirkannya terlebih dahulu, apakah perlu angkat bicara atau lebih baik diam
saja.
Kondisi
ini membenarkan sebuah tulisan dari Islah Gusmian, seorang penulis buku non
fiksi yang mengkritik tatanan sosial dan birokrasi, yang berjudul Pantat
Bangsaku. Menurutnya, masyarakat kita sedang mengidap satu sindrom yang ia beri
nama “speakaholic”. Pengistilahan “homo sepakaholic” diartikan sebagai
manusia gila bicara.
Dimulai
dari kebanyakan pemimpin kita yang memang speakaholic,
gemar berbicara di atas panggung. Bahkan, ada yang perlu mengikuti kursus untuk
berpidato.
Pidato-pidato
barangkali hanya sebuah formalitas yang berujung sandiiwara belaka. Naskah
disiapkan sedemikian rupa oleh asisten pribadi menunjukkan betapa pentingnya
kata-kata yang akan disuarakan.
Sindrom
speakaholic juga menyebar di sekolah-sekolah. Para siswa berbisik-bisik saat
pelajaran dan ribut-ribut pada jam istirahat. Guru-guru pun tak luput terjangkit
sindrom ini. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, saat pelajaran menulis,
guru-guru mengajarkannya dengan bercuap-cuap di depan para siswa. Para siswa
diajar menulis dengan berbicara.
Lalu
di tempat-tempat umum, hampir semua orang senang berbicara. Bahkan di dalam
perpustakaan, kebisingan seharusnya tak ditemui, masih juga ada yang nakal
berkasak-kusuk. Mereka bercerita dan bergosip, tanpa disadari menganggu pembaca
yang lain.
Di
televisi terlebih lagi. Suguhan berita dan program kehidupan artis, hampir
dimiliki oleh semua stasiun. Para artis dimunculkan dengan proses tanya jawab
yang padat dan lebih banyak tidak berisi. Mereka bahkan dengan senang hati
bercerita lebih banyak dari yang ditanyakan oleh wartawan.
Hasil
pemberitaan itu kemudian menyebar di seluruh nusantara. Maka jadilah berita
artis tersebut bahan obrolan yang membuat penyebar dan pendengar berita untuk
menghabiskan waktu mereka berjam-jam, memperbincangkan kehidupan orang lain.
Sindrom
speakaholic ini menyiratkan bahwa
masyarakat kita lebih condong merefleksikan apa yang dipikirkan dengan
mengucapkannya. Kadang diucapkan terburu-buru, takut kehilangan ide.
Kontradiksi dengan sebuah pesan yang diungkapkan oleh A.S. Laksana, “dekatkanlah
tanganmu pada otakmu!”
Barangkali
kesukaan kita pada hal yang cepat dan instan adalah salah satu penyebab sindrom
speakaholic. Kita malas menuliskan
sebuah ide. Kita tak mau bersusah payah mencatatnya dalam kertas kemudian
menganalisanya kembali. Akhirnya, bukan pekerjaan dari tangan kita yang dekat dengan
otak, tapi pekerjaan mulut kita.
Terlalu
banyak orang berbicara, membuat kita pun harus menyediakan telinga untuk
mendengar. Namun, ada berapa banyak yang memilih menjadi pendengar? Orang-orang
senang berbicara, sibuk mencari bahan pembicaraan.
Sindrom
ini pun akhirnya berdampak pada sedikitnya bacaan berkualitas yang tersedia di
negeri ini. Sebab boleh jadi ide-ide hebat hanya tumpah dalam kata-kata yang
tak sempat dituliskan.
Bisa
dibayangkan bagaimana pengetahuan tentang perjuangan kemerdekaan kita akan
bergitu kerdilnya, jika Bung Hatta mengidap sindrom speakaholic ini? Jika Pramoedya Ananta Toer hanya berimajinasi dan
mendongengkan tetralogi buruhnya, tanpa pernah menuliskannya?
Kata
orang, kata-kata akan hilang dan tulisan akan abadi. Sebagaimana ungkapan “verba volant, scripta manent”.
Sepertinya kalimat tersebut cukup mengingatkan pada kita yang buncah bicara.
Sekaligus mengingatkan diri kita yang sedikit menulis.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Rabu, 27 Nopember 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar