Tulisan ini terdiri atas dua bagian.
Bagian I telah diterbitkan dalam Kolom Literasi Koran Tempo Makassar
(17/01/2014). Bagian II saya tuliskan setelah berdiskusi dengan teman dan saya
menyimpulkan bahwa diam barangkali adalah salah satu pendorong ketidakdilan
yang kita permasalahkan.
I
Diam
adalah emas. Demikian kalimat yang digunakan sebagai pembelaan oleh orang-orang
pendiam. Mereka adalah gambaran kontras orang-orang pengidap sindrom speakaholic, manusia gila
bicara. Orang-orang pendiam hanya angkat bicara jika perlu. Mereka barangkali
percayai sebuah pengandaian, mulutmu adalah harimaumu.
Kadang
juga diam adalah tanda. Beberapa orang percayai bahwa kediaman seorang
perempuan adalah pertanda setuju darinya. Kediaman ini kadang menjadi sumber
persoalan, manakala perempuan menolak lantas diam. Si penerima tanda bisa saja
memaknainya sebagai persetujuan sementara si perempuan sebenarnya sedang
menolak. Pada situasi ini, diam menjadi sebuah tanda yang bias makna.
Diam
juga adalah sebuah aksi. Salah satu metode pergerakan yang pernah dicontohkan
oleh sebuah gerakan di Argentina. Pada tahun 1977, sekelompok ibu-ibu dengan
kerudung kepala berwarna putih mendatangi Istana Kepresidenan Argentina di
Buenos Aires. Di depan istana tersebut, tepatnya di Plaza de Mayo, para ibu itu
berdiri diam.
Dalam
diam mereka, tersirat protes. Anak-anak mereka hilang dan terbunuh oleh
kekejaman anggota militer Argentina saat itu. Aksi ini terus berlangsung selama
lebih dari 30 tahun. Ibu-ibu tersebut akhirnya terkenal ke seluruh dunia dengan
nama Asociation Madres de Plaza de
Mayo.
Aksi
diam tersebut menjadi inspirasi bagi para ibu yang kehilangan anaknya. Berakar
dari sebuah peristiwa kerusuhan yang kita kenal sebagai Tragedi Semanggi 1 dan
korban pelanggaran HAM lainnya seperti kasus Tanjug Priok 1984, Talangsari
1998, dan pembunuhan Munir 2004. Setiap Kamis, mereka mendatangi halaman istana
merdeka. Berdiri berjajar selama kurang lebih satu jam. Hanya berdiri.
Aksi
diam ini kemudian familiar kita kenal dengan Aksi Damai Hitam Kamisan atau Aksi
Kamisan. Tak peduli hujan atau terik, mereka datang membawa payung hitam,
berpakaian hitam, dan berdiri menatap ke arah Istana Merdeka yang dijaga
tentara.
Setelah
ratusan Kamis, mereka tak juga berhenti memperjuangkan keadilan. Ratusan kali
pula mereka hanya datang, yang entah kapan aksi diam tersebut membuat
orang-orang dalam istana berhenti diam dengan ketidakadilan yang mereka terima.
Kediaman
yang dilakukan para ibu tersebut adalah pernyataan sikap untuk menolak lupa.
Berbeda halnya dengan yang dilakukan Rene Descartes, seorang pemikir yang
menyukai filsafat hingga melahirkan sebuah kitab bagi para pengikut aliran
pemikirannya, Discourse on Method.
Descartes,
dalam kediamannya di poele-sebuah
ruangan kecil yang dipakai untuk menghangatkan badan, memilih lari dari perang
saat bertugas sebagai anggota pasukan sukarela Bavaria. Ia berdiam diri dalam
pengasingan.
Hidup
berdiam diri membuatnya mampu memikirkan banyak hal tentang kehidupan. Tanpa
dikte dan justifikasi dari orang-orang kebanyakan. Descartes termasuk orang
yang percaya, mayoritas bukan indikasi suatu kebenaran.
Salah
satu hasil perenungannya adalah “saya berpikir, karena itu saya ada.” Dalam
proses mendiamkan diri selama bertahun-tahun, ia berhasil meyakini tentang
dirinya sebagai substansi, yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah
berpikir. Maka, anggapan-anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan sekali pun
tidak mampu menggoyahkan keyakinannya tersebut.
Diam
bagi Descartes, juga merupakan jeda untuk merenung, apakah hal yang ia pikirkan
akan benar-benar ia tuliskan. Sebagaimana pernah dikatakannya, “seringkali
hal-hal yang saya kira benar pada waktu mulai merenungkannya, ternyata keliru
tatkala ingin menuliskannya.”
Rentetan
aksi diam yang dilakukan Descartes adalah bukan sekedar diam yang seperti
dipahamai sebagian orang, di mana diam identik dengan tidak bergerak, tidak
melakukan apa-apa. Pun diam yang dilakukan oleh para ibu tersebut, menceritakan
kepada kita bahwa diam bisa jadi adalah pernyataan sikap.
Nampaknya,
diam memiliki sifat dua sisi mata pisau. Diam bisa berarti ketidaktahuan dan
ketidakmengertian seseorang. Diam pun bisa berarti sikap atas suatu keyakinan
yang diperjuangkan.
Ironisnya,
kebanyakan kita sekarang diam karena tidak tahu atau bahkan tidak mau peduli
dengan kondisi yang ada. Kita menjadi diam sekali pun ketidakadilan terjadi di
depan mata kita.
II
Rupanya
diam tidak sesempit itu. Kecurangan itu sendiri pun dapat diam.
Tentu
kita sudah terlalu sering dicekoki berita korupsi, kolusi dan nepotisme oknum
abdi negara. Apa yang kita lihat, dengar dan baca lewat media adalah fenomena
gunung es.
Achdiar
Redy Setiawan membuktikannya dalam hasil penelitian yang berjudul “Fraud atau (un)fraud? Multitafsir “Sisi Gelap” Pengelolaan Keuangan Daerah:
Studi Hermeneutika Gadamerian” dalam Simposium Nasional Akuntansi pada bulan
September lalu. Pemerintah daerah yang menjadi objek penelitiannya mengakui
bahwa telah terjadi fraud yang
sistematis, namun mereka memilih diam. Kasus-kasus fraud yang terungkap
selama ini hanyalah sebagian kecil yang terdeteksi oleh perangkat yang
tersedia.
Kalau
kita sudah terlalu bosan dengan kebiasaan pelajar yang mencontek di dalam
kelas, pada akhirnya kita berpotensi untuk menerima tindakan mencontek sebagai
sesuatu yang biasa saja. Barangkali memang kita berbakat untuk memaafkan lalu
melupa, bahwa bagaimana pun langgengnya ketidakadilan, ia tetaplah sesuatu yang
tidak benar.
Fraud menjadi diam di antara
orang-orang yang diam. Dan, lama-kelamaan, bukan tidak mungkin fraud tidak lagi menjadi sesuatu yang
dipermasalahkan.
Dalam
konsep Tri Angle Fraud yang
dirumuskan Donald Cressey, dijelaskan bahwa seseorang berlaku curang manakala
terjadi tiga hal ini: dorongan, rasionalisasi dan peluang. Maka, memilih diam
di antara kecurangan dan ketidakadilan berarti memberi ruang untuk membenarkan
terjadinya fraud.
Kita
harus mengakui, bahwa kita adalah orang-orang yang terjerat di dalam sistem
yang tidak adil di republik ini. Dan, berlaku diam adalah pilihan yang banyak
kita ambil.
Entah
diam sebagai sebuah pernyataan sikap seperti yang dilakukan ibu-ibu yang
tergabung dalam Asociation Madres de
Plaza de Mayo di bagian I tulisan ini, atau diam kita adalah bentuk abai
pada ketidakadilan yang terjadi. Kita jua yang bisa menjawabnya pada diri
masing-masing.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat,
17 Januari 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar