Sabtu, 18 Januari 2014

Kisah Para Pendiam



Tulisan ini terdiri atas dua bagian. Bagian I telah diterbitkan dalam Kolom Literasi Koran Tempo Makassar (17/01/2014). Bagian II saya tuliskan setelah berdiskusi dengan teman dan saya menyimpulkan bahwa diam barangkali adalah salah satu pendorong ketidakdilan yang kita permasalahkan.

I

Diam adalah emas. Demikian kalimat yang digunakan sebagai pembelaan oleh orang-orang pendiam. Mereka adalah gambaran kontras orang-orang pengidap sindrom speakaholic, manusia gila bicara. Orang-orang pendiam hanya angkat bicara jika perlu. Mereka barangkali percayai sebuah pengandaian, mulutmu adalah harimaumu.

Kadang juga diam adalah tanda. Beberapa orang percayai bahwa kediaman seorang perempuan adalah pertanda setuju darinya. Kediaman ini kadang menjadi sumber persoalan, manakala perempuan menolak lantas diam. Si penerima tanda bisa saja memaknainya sebagai persetujuan sementara si perempuan sebenarnya sedang menolak. Pada situasi ini, diam menjadi sebuah tanda yang bias makna.

Diam juga adalah sebuah aksi. Salah satu metode pergerakan yang pernah dicontohkan oleh sebuah gerakan di Argentina. Pada tahun 1977, sekelompok ibu-ibu dengan kerudung kepala berwarna putih mendatangi Istana Kepresidenan Argentina di Buenos Aires. Di depan istana tersebut, tepatnya di Plaza de Mayo, para ibu itu berdiri diam.

Dalam diam mereka, tersirat protes. Anak-anak mereka hilang dan terbunuh oleh kekejaman anggota militer Argentina saat itu. Aksi ini terus berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Ibu-ibu tersebut akhirnya terkenal ke seluruh dunia dengan nama Asociation Madres de Plaza de Mayo.

Aksi diam tersebut menjadi inspirasi bagi para ibu yang kehilangan anaknya. Berakar dari sebuah peristiwa kerusuhan yang kita kenal sebagai Tragedi Semanggi 1 dan korban pelanggaran HAM lainnya seperti kasus Tanjug Priok 1984, Talangsari 1998, dan pembunuhan Munir 2004. Setiap Kamis, mereka mendatangi halaman istana merdeka. Berdiri berjajar selama kurang lebih satu jam. Hanya berdiri.

Aksi diam ini kemudian familiar kita kenal dengan Aksi Damai Hitam Kamisan atau Aksi Kamisan. Tak peduli hujan atau terik, mereka datang membawa payung hitam, berpakaian hitam, dan berdiri menatap ke arah Istana Merdeka yang dijaga tentara.

Setelah ratusan Kamis, mereka tak juga berhenti memperjuangkan keadilan. Ratusan kali pula mereka hanya datang, yang entah kapan aksi diam tersebut membuat orang-orang dalam istana berhenti diam dengan ketidakadilan yang mereka terima.

Kediaman yang dilakukan para ibu tersebut adalah pernyataan sikap untuk menolak lupa. Berbeda halnya dengan yang dilakukan Rene Descartes, seorang pemikir yang menyukai filsafat hingga melahirkan sebuah kitab bagi para pengikut aliran pemikirannya, Discourse on Method.

Descartes, dalam kediamannya di poele-sebuah ruangan kecil yang dipakai untuk menghangatkan badan, memilih lari dari perang saat bertugas sebagai anggota pasukan sukarela Bavaria. Ia berdiam diri dalam pengasingan.

Hidup berdiam diri membuatnya mampu memikirkan banyak hal tentang kehidupan. Tanpa dikte dan justifikasi dari orang-orang kebanyakan. Descartes termasuk orang yang percaya, mayoritas bukan indikasi suatu kebenaran.

Salah satu hasil perenungannya adalah “saya berpikir, karena itu saya ada.” Dalam proses mendiamkan diri selama bertahun-tahun, ia berhasil meyakini tentang dirinya sebagai substansi, yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah berpikir. Maka, anggapan-anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan sekali pun tidak mampu menggoyahkan keyakinannya tersebut.

Diam bagi Descartes, juga merupakan jeda untuk merenung, apakah hal yang ia pikirkan akan benar-benar ia tuliskan. Sebagaimana pernah dikatakannya, “seringkali hal-hal yang saya kira benar pada waktu mulai merenungkannya, ternyata keliru tatkala ingin menuliskannya.”

Rentetan aksi diam yang dilakukan Descartes adalah bukan sekedar diam yang seperti dipahamai sebagian orang, di mana diam identik dengan tidak bergerak, tidak melakukan apa-apa. Pun diam yang dilakukan oleh para ibu tersebut, menceritakan kepada kita bahwa diam bisa jadi adalah pernyataan sikap.

Nampaknya, diam memiliki sifat dua sisi mata pisau. Diam bisa berarti ketidaktahuan dan ketidakmengertian seseorang. Diam pun bisa berarti sikap atas suatu keyakinan yang diperjuangkan.

Ironisnya, kebanyakan kita sekarang diam karena tidak tahu atau bahkan tidak mau peduli dengan kondisi yang ada. Kita menjadi diam sekali pun ketidakadilan terjadi di depan mata kita.

II

Rupanya diam tidak sesempit itu. Kecurangan itu sendiri pun dapat diam.

Tentu kita sudah terlalu sering dicekoki berita korupsi, kolusi dan nepotisme oknum abdi negara. Apa yang kita lihat, dengar dan baca lewat media adalah fenomena gunung es.

Achdiar Redy Setiawan membuktikannya dalam hasil penelitian yang berjudul “Fraud atau (un)fraud? Multitafsir “Sisi Gelap” Pengelolaan Keuangan Daerah: Studi Hermeneutika Gadamerian” dalam Simposium Nasional Akuntansi pada bulan September lalu. Pemerintah daerah yang menjadi objek penelitiannya mengakui bahwa telah terjadi fraud yang sistematis, namun mereka memilih diam. Kasus-kasus fraud yang terungkap selama ini hanyalah sebagian kecil yang terdeteksi oleh perangkat yang tersedia.

Kalau kita sudah terlalu bosan dengan kebiasaan pelajar yang mencontek di dalam kelas, pada akhirnya kita berpotensi untuk menerima tindakan mencontek sebagai sesuatu yang biasa saja. Barangkali memang kita berbakat untuk memaafkan lalu melupa, bahwa bagaimana pun langgengnya ketidakadilan, ia tetaplah sesuatu yang tidak benar.

Fraud menjadi diam di antara orang-orang yang diam. Dan, lama-kelamaan, bukan tidak mungkin fraud tidak lagi menjadi sesuatu yang dipermasalahkan.

Dalam konsep Tri Angle Fraud yang dirumuskan Donald Cressey, dijelaskan bahwa seseorang berlaku curang manakala terjadi tiga hal ini: dorongan, rasionalisasi dan peluang. Maka, memilih diam di antara kecurangan dan ketidakadilan berarti memberi ruang untuk membenarkan terjadinya fraud.

Kita harus mengakui, bahwa kita adalah orang-orang yang terjerat di dalam sistem yang tidak adil di republik ini. Dan, berlaku diam adalah pilihan yang banyak kita ambil.

Entah diam sebagai sebuah pernyataan sikap seperti yang dilakukan ibu-ibu yang tergabung dalam Asociation Madres de Plaza de Mayo di bagian I tulisan ini, atau diam kita adalah bentuk abai pada ketidakadilan yang terjadi. Kita jua yang bisa menjawabnya pada diri masing-masing.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 17 Januari 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar