Minggu, 03 November 2013

Manusia dan Wajah Bumi


Manusia diyakini sebagai ciptaan paling mulia di antara makhluk yang lain. Sebagian filsuf meyakini manusia memiliki kuasa untuk mengelola alam semesta sebagai satu kesatuan konsep makrokosmos yang diwakili oleh manusia sebagai konsep mikrokosmos. Jika manusia baik, maka baiklah seluruh alam semesta.

Bumi sebagai bagian dari alam semesta merupakan planet yang dihuni oleh manusia, sehingga alam semesta secara sempit boleh dikata dapat diwakili oleh bumi. Wajah bumi saat ini adalah gambaran jelas tindak-tanduk manusia yang menghuninya.

Peranan manusia dalam membentuk wajah bumi telah lama diwacanailmiahkan, tepatnya pada tahun 1955, dibahas pada pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh Winner-Green Foundation for Anthropological Research. Setahun setelah pertemuan tersebut, William L.Thomas dkk merangkum peranan manusia dalam membentuk wajah bumi ke dalam sebuah karya yang berjudul “Mans Role in Changing the Face of the Earth.”

Tulisan tersebut melihat dampak perbuatan langsung manusia terhadap kondisi bumi. Aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan dan semakin jauh dari tanah menyebabkan wajah bumi ditempeli oleh plastik-plastik.

Bumi yang penuh plastik semacam hasil operasi yang menyebabkan wajahnya tidak lagi alami. Rias-rias bangunan yang menjalar ke desa-desa membuat bumi pun kian menor.

Tanah-tanah untuk pertanian, perlahan-lahan ditumbuhi oleh batu dan semen yang diisi oleh manusia-manusia berpakaian rapi. Hutan-hutan dicukur sedemikian rupa hingga wajah bumi mulai kehilangan daya tarik alaminya. Para penebang liar melucuti pohon-pohon dengan tega, hingga membuat bumi semakin tidak nyaman untuk dihuni.

Seorang ilmuan kelahiran Woodstock, George Perkins Marsh, khawatir melihat perubahan-perubahan fundamental pada dunia tumbuh-tumbuhan di New England, disebabkan oleh penebang-penebang kayu liar. Kekhawatiran Marsh membawanya menetap di beberapa negara untuk mempelajari secara mendalam dampak aktivitas sosial manusia terhadap wajah bumi.

Negara-negara yang dikunjunginya seperti Istanbul, Turki, Turin, Florence, dan Roma adalah tempatnya melihat perubahan-perubahan alam yang berbeda tiap-tiap negara berdasarkan interaksi sosial masyarakat yang menghuni negara-negara tersebut. Sembari meneliti dampak lingkungan, Marsh menjalankan tugasnya sebagai pemerintah untuk menetap di negara-negara tersebut.

Sayangnya, manusia-manusia seperti Marsh, yang punya kekhawatiran terhadap wajah bumi, hanya bisa dihitung jari. Manusia-manusia memilih untuk tak acuh menggunakan kantong plastik saat berbelanja ketimbang membawa tas atau keranjang sendiri dari rumah. Pembungkus jajan dari plastik, enteng saja dibuang di tengah jalan meskipun di sekitar tempat tersebut disediakan tempat sampah. Para pelajar dengan suka cita menyambut awal tahun belajar dengan mengganti buku tulis mereka meskipun buku tulis lama masih belum terisi setengah dari total halaman buku mereka. Maka, jadilah pohon-pohon kotak yang menjelma menjadi lembaran-lembaran kertas tersebut bertumpuk-tumpuk di dalam kardus dan gudang, mubazir tak terpakai.

Semua aktivitas tersebut, perlahan-lahan membuat wajah bumi kian buruk rupa. Barangkali, benar kata Ebiet G Ade, alam telah mulai bosan bersahabat dengan manusia, hingga terjadilah bencana di sana-sini akibat kenakalan manusia sendiri. Banjir datang seperti sebuah rutinitas tahunan, udara yang semakin tak sehat dihirup dan cuaca yang kian tak menentu.

Jadi, mari berhenti mengutuk cuaca yang begitu panas di siang hari! Bumi hanya memberikan dampak dari perbuatan manusia yang menghuninya. Apa yang digambarkan oleh wajah bumi hanyalah pantulan dari wajah-wajah manusia itu sendiri. Barangkali, jika manusia-manusia penduduk bumi mau lebih bersahabat dengan bumi, wajah bumi akan sedikit lebih cerah dan nyaman dipandang.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu, 02 Nopember 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar