Jumat, 17 Oktober 2014

Shahifah, Dzul-hijjah



Adalah Shahifah milik Fathimah, yang menjadi penyejuk hati Umar. Lelaki perkasa yang punya kuasa di kalangan Quraisy itu mendengarkan lirik-lirik Shahifah setibanya ia di rumah Fathimah. Seketika itu, kuasanya menguap, bahkan untuk menguasai dirinya sendiri. Lalu ia menangis. Dan seketika itu pula, batal keinginan Umar membunuh adik iparnya, suami Fathimah.

Bersegeralah Umar menuju tempat persembunyian Muhammad. Dengan pedang yang masih terhunus, tak satu pun berani mendekati lelaki temperamental itu. Namun, dua-tiga untai kalimat Muhammad, yang ditutup dengan doa, “Ya Allah kokohkanlah Islam dengan Umar bin Al-Khattab”, menjadi sebab luluh kembali hati Umar. Hingga bersaksilah ia sebagai salah seorang pengikut Muhammad.

Umar yang datang menghadap Muhammad itu, sesungguhnya adalah seseorang yang diminta Muhammad di sela-sela doanya di malam Kamis, di kaki bukit Shafa. Muhammad meminta sendiri, berdoa langsung, agar dihadiahkan Umar bagi kekohohan Islam yang saat itu dalam masa genting.

Dan benar, setelah Umar masuk Islam, menjadi teranglah jalan bagi seluruh kaum muslim, setelah lama melakukan ibadah sembunyi-sembunyi. Kuasa Umar dalam menampakkan dirinya dan keislamannya menyebabkan susut keinginan Quraisy menghinakan Muhammad dan pengikutnya.

Tak ada yang seberani Umar, yang dengan terang-terangan di depan Abu Jahal, ia akui dirinya tak lagi menjadi bagian dari kaum Quraisy. Tak ada yang seberani Umar, yang semenjak kehadirannya, kaum muslimin telah bisa duduk membuat lingkaran di sekitar Baitul-Haram setelah sebelumnya, bahkan untuk beribadah pun, mereka dihantui kekhawatiran. Tak ada yang seberani Umar, yang terang-terangan memisahkan dua barisan rombongan muslim saat menuju Masjidil-Haram, hingga membuat orang-orang Quraisy yang dilewatinya tampak begitu sedih karena tak berani lagi mengganggu mereka. Atas semua itu, Umar digelari sebagai Al-Faruq−yang suka memisahkan antara yang terang dan gelap, haq dan bathil, benar dan salah.

Umar, salah seorang yang kita kenal sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin, tak banyak yang tahu, bahwa mula dari kemuliaannya terjadi pada bulan Dzul-hijjah. Shahifah milik Fathimah menggetarkan hati Umar yang keras itu pada bulan Dzul-hijjah.

Sesungguhnya tidak hanya Umar, nama lain seperti Hamzah, putra Abdul Muthalib, juga memulai perjalanan hidupnya sebagai bagian dari pengikut Muhammad, pada bulan Dzul-hijjah. Keberkahan Duz-hijjah mendekap keduanya untuk menjadi manusia baru.

Peristiwa lain yang terjadi di bulan haji ini tidak lain adalah muasal cerita diperintahkannya umat muslim berkurban. Seorang Bapak bernama Ibrahim, yang menanti-nanti kehadiran penerusnya. Setelah penantian yang panjang, di usia sang Istri, Siti Hajar, yang tidak lagi muda, kuasa Tuhan berkata lain. Terlahirlah Ismail.

Ditengah-tengah kebahagiaan Ibrahim & Hajar membesarkan Ismail, perintah Tuhan hadir untuk merelakan yang paling dikasihi dari keduanya. Ismail harus disembelih.

Semua berela hati, semua bersegera memenuhi permintaan Tuhan mereka. Dan terujilah pengorbanan mereka. Yang sejatinya mereka penggal bukan Ismail, tapi kecintaan keduanya yang berlebihan terhadap anak sebagai bagian dari kecintaan terhadap dunia.

Demikian Dzul-hijjah menjadi bulan pengorbanan bagi Ibrahim, Hajar dan Ismail. Dzul-hijjah menjelma pula sebagai bulan akhir di masa hidup Muhammad. Pada bulan ini disampaikan pesan terakhir dari seorang pemimpin kepada seluruh umat yang ditinggalkannya sebagai penanda sempurnanya sebuah ajaran dan keyakinan. Bulan ini adalah peristiwa terjadinya Haji Wadha’, haji terakhir yang terjadi di bulan Dzul-hijjah−bulan terakhir pada bilangan hijriah.

Berbagai kemegahan dalam kekhusyukan mewarnai perjalanan spiritual para teladan di bulan Dzul-hijjah. Di kemudian hari, berjarak masa yang kian tenggang, manusia-manusia melewati Dzul-hijjah dengan cara yang berbeda. Beberapa melewatinya dalam kealpaan, beberapa melewatinya dengan perenungan.

Dzul-hijjah akan segera berakhir, berarti bilangan tahun hijriah pun akan segera berganti. Ada kisah apa yang sudah kita tuliskan? Sudahkah membaca lebih banyak buku? Sudahkah berbuat kebaikan yang lebih banyak? Selamat merenung dan menikmati kegagalan, lalu kembali memperbaikinya seraya menjemput Muharram!

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 17 Oktober 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar