Adalah
Shahifah milik Fathimah, yang menjadi penyejuk hati Umar. Lelaki perkasa yang
punya kuasa di kalangan Quraisy itu mendengarkan lirik-lirik Shahifah setibanya
ia di rumah Fathimah. Seketika itu, kuasanya menguap, bahkan untuk menguasai
dirinya sendiri. Lalu ia menangis. Dan seketika itu pula, batal keinginan Umar
membunuh adik iparnya, suami Fathimah.
Bersegeralah
Umar menuju tempat persembunyian Muhammad. Dengan pedang yang masih terhunus,
tak satu pun berani mendekati lelaki temperamental itu. Namun, dua-tiga untai
kalimat Muhammad, yang ditutup dengan doa, “Ya
Allah kokohkanlah Islam dengan Umar bin Al-Khattab”, menjadi sebab luluh
kembali hati Umar. Hingga bersaksilah ia sebagai salah seorang pengikut
Muhammad.
Umar
yang datang menghadap Muhammad itu, sesungguhnya adalah seseorang yang diminta
Muhammad di sela-sela doanya di malam Kamis, di kaki bukit Shafa. Muhammad
meminta sendiri, berdoa langsung, agar dihadiahkan Umar bagi kekohohan Islam
yang saat itu dalam masa genting.
Dan
benar, setelah Umar masuk Islam, menjadi teranglah jalan bagi seluruh kaum
muslim, setelah lama melakukan ibadah sembunyi-sembunyi. Kuasa Umar dalam menampakkan
dirinya dan keislamannya menyebabkan susut keinginan Quraisy menghinakan
Muhammad dan pengikutnya.
Tak
ada yang seberani Umar, yang dengan terang-terangan di depan Abu Jahal, ia akui
dirinya tak lagi menjadi bagian dari kaum Quraisy. Tak ada yang seberani Umar, yang
semenjak kehadirannya, kaum muslimin telah bisa duduk membuat lingkaran di
sekitar Baitul-Haram setelah sebelumnya, bahkan untuk beribadah pun, mereka
dihantui kekhawatiran. Tak ada yang seberani Umar, yang terang-terangan
memisahkan dua barisan rombongan muslim saat menuju Masjidil-Haram, hingga
membuat orang-orang Quraisy yang dilewatinya tampak begitu sedih karena tak
berani lagi mengganggu mereka. Atas semua itu, Umar digelari sebagai Al-Faruq−yang suka memisahkan antara
yang terang dan gelap, haq dan bathil, benar dan salah.
Umar, salah
seorang yang kita kenal sebagai salah satu Khulafaur
Rasyidin, tak banyak yang tahu, bahwa mula dari kemuliaannya terjadi pada
bulan Dzul-hijjah. Shahifah milik
Fathimah menggetarkan hati Umar yang keras itu pada bulan Dzul-hijjah.
Sesungguhnya
tidak hanya Umar, nama lain seperti
Hamzah, putra Abdul Muthalib, juga memulai perjalanan hidupnya sebagai bagian
dari pengikut Muhammad, pada bulan Dzul-hijjah.
Keberkahan Duz-hijjah mendekap
keduanya untuk menjadi manusia baru.
Peristiwa
lain yang terjadi di bulan haji ini tidak lain adalah muasal cerita
diperintahkannya umat muslim berkurban. Seorang Bapak bernama Ibrahim, yang
menanti-nanti kehadiran penerusnya. Setelah penantian yang panjang, di usia
sang Istri, Siti Hajar, yang tidak lagi muda, kuasa Tuhan berkata lain.
Terlahirlah Ismail.
Ditengah-tengah
kebahagiaan Ibrahim & Hajar membesarkan Ismail, perintah Tuhan hadir untuk
merelakan yang paling dikasihi dari keduanya. Ismail harus disembelih.
Semua
berela hati, semua bersegera memenuhi permintaan Tuhan mereka. Dan terujilah
pengorbanan mereka. Yang sejatinya mereka penggal bukan Ismail, tapi kecintaan
keduanya yang berlebihan terhadap anak sebagai bagian dari kecintaan terhadap
dunia.
Demikian
Dzul-hijjah menjadi bulan pengorbanan
bagi Ibrahim, Hajar dan Ismail. Dzul-hijjah
menjelma pula sebagai bulan akhir di masa hidup Muhammad. Pada bulan ini
disampaikan pesan terakhir dari seorang pemimpin kepada seluruh umat yang
ditinggalkannya sebagai penanda sempurnanya sebuah ajaran dan keyakinan. Bulan
ini adalah peristiwa terjadinya Haji
Wadha’, haji terakhir yang terjadi di bulan Dzul-hijjah−bulan terakhir pada bilangan hijriah.
Berbagai
kemegahan dalam kekhusyukan mewarnai perjalanan spiritual para teladan di bulan
Dzul-hijjah. Di kemudian hari,
berjarak masa yang kian tenggang, manusia-manusia melewati Dzul-hijjah dengan cara yang berbeda. Beberapa melewatinya dalam
kealpaan, beberapa melewatinya dengan perenungan.
Dzul-hijjah akan
segera berakhir, berarti bilangan tahun hijriah pun akan segera berganti. Ada kisah
apa yang sudah kita tuliskan? Sudahkah membaca lebih banyak buku? Sudahkah
berbuat kebaikan yang lebih banyak? Selamat merenung dan menikmati kegagalan,
lalu kembali memperbaikinya seraya menjemput Muharram!
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 17 Oktober 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar