Pernah,
ada rumah singgah milik sepasang suami istri yang telah renta di sebuah desa
yang dikelilingi dataran tinggi yang tanahnya subur. Pemilik rumah tersebut
terkenal sabar dan tekun. Keduanya menjamu setiap orang yang datang meminta
makan atau minum.
Senang
hati keduanya membagi air susu yang diperah dari hewan ternak mereka, juga
makanan dari panen kebun mereka. Barang siapa singgah di sana, akan dijamu
penuh hormat oleh keduanya.
Suatu
hari seorang pemuda bernama Ahmad, bersama tiga orang rekannya, melewati rumah
singgah tersebut. Rombongan pemuda ini hendak meminta kepada mereka sesuatu
untuk dimakan.
Saat
itu, wanita tua yang kebetulan sedang ditinggal suaminya ke kebun, menerima
rombongan pemuda. Namun, sayangnya bertepatan dengan masa sulit sehingga
berkatalah ia, “andaikan kami mempunyai sesuatu, tentulah kalian tidak akan
kesulitan mendapatkan suguhan. Binatang ternak kami tidak ada yang mengandung dan
ini adalah tahun paceklik.”
Ahmad
memandangi hewan ternak yang ada di sekitar rumah, lalu meminta izin untuk
mengusap-usap satu di antaranya. Hewan yang dipilihnya adalah seekor domba,
yang tidak lagi dapat melahirkan anak dan sudah terlalu tua untuk mengeluarkan
susu.
Atas
izin pemiliknya, Ahmad lalu mengusap kantong kelenjar susu domba itu. Dari
usapan tangannya, seketika keluarlah air susu berlimpah. Wanita pemilik rumah
terheran-heran.
Belum
terjawab keheranannya, Ahmad langsung menyerahkan susu yang dikumpulkan
tersebut kepada wanita pemilik rumah untuk dinikmati. Setelah wanita sang
pemilik rumah kenyang, Ahmad menyerahkan sisa susu tersebut kepada dua orang
rekan-rekannya. Lalu setelah susu dalam wadah masih bersisa, baru kemudian ia
meminumnya.
Sebelum
meninggalkan wanita tersebut, Ahmad memerah kembali susu dari domba yang sama.
Ia penuhi wadah yang sama untuk diserahkan kepada tuan rumah. Setelah itu,
pemuda bernama Ahmad ini melanjutkan perjalanan.
***
Beribu-ribu
tahun setelah kejadian itu, juga beribu-ribu kilometer jarak dari tempat peristiwa
itu terjadi, di sebuah desa yang juga berada di dataran tinggi, peristiwa lain
terjadi. Segerombolan anak muda dari kota berkunjung ke sana.
Masa itu
bertepatan dengan Ramadhan, maka seperti kebiasaan masyarakat di sana, kebanyakan
warga akan beramai-ramai ke mesjid untuk berbuka puasa. Para warga sendirilah
yang membawa takjil untuk kemudian disantap sendiri pula oleh mereka.
Kali
itu berbeda, ditengah-tengah keramaian warga desa yang hendak berbuka,
rombongan pemuda dari kota itu ikut menghabiskan sajian yang ada. Tidak ada
kekhawatiran yang tampak dari pandangan warga yang hadir di sana, tidak juga prilaku
mereka membuat terasing para pemuda kota tersebut. Semua berbaur diterangi
lampu mesjid yang redup, berpelukan senja yang mulai tenggelam di balik gunung.
Selepas
shalat Maghrib, rombongan pemuda kembali dijamu di salah satu rumah warga. Dua
pemuda dari rombongan pernah berkunjung sebelumnya ke rumah tersebut, tiga
lainnya belum. Tapi tidak ada yang merasa segan, tuan rumah menjamu dengan ramah
seakan menarasi-lakukan kalimat: anggap rumah sendiri!
Pemuda-pemuda
bersama tuan rumah sekeluarga bersantap dengan lahap. Lauk-pauk yang masih
segar berkomposisi: ikan yang baru saja dibeli dari tukang penjual ikan
keliling yang menjajakan hasil tangkapannya, sayur bening yang baru saja
dipetik dari kebun, dan tak ketinggalan sambal dari ulekan cabe hasil petikan
tanaman depan rumah panggung tersebut.
Saat
berpamitan, dibekalinya mereka air kelapa muda yang sore tadi−sebelum berangkat
ke mesjid−dipanjat oleh anak lelaki tuan rumah yang kira-kira berumur 10 tahun.
Tak lupa perpisahan itu ditutup dengan kalimat, “lain waktu, datanglah
kembali!”
***
Pada
kisah pertama cerita di atas, pemuda itu singgah di sebuah rumah sebagai tamu.
Ia datang ingin meminta makan, tapi yang ditemuinya justru seseorang yang sedang
dalam kesulitan pangan. Maka pemuda tersebut tak meninggalkan, tapi membuka
jalan. Ia perah susu, hingga tuan rumah kenyang dengan meminumnya. Ia
tinggalkan tuan rumah dengan hasil perahan susu yang banyak, tidak dengan
tangan kosong.
Pemuda
bernama Ahmad tersebut adalah putra kesayangan dari keturunan Abdu Manaf yang
bermukim di Mekah. Seorang pemuda yang ludahnya menyembuhkan luka badan, dan tutur
katanya mengobati luka yang bersemayam di hati. Ia adalah pemuda yang
memuliakan setiap tamunya, tanpa lupa meneladankan lakon menjadi tamu yang baik
terlebih dahulu.
Tamu, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang datang berkunjung, menyiratkan
dua hal: ada yang datang & ada yang menerima. Seringnya, orang yang bertamu
hanya ingat tentang dirinya yang datang dan harus dijamu, namun mengabaikan
tuan yang menerimanya. Gambaran sederhana manusia yang pandai menghitung hak
yang harus diterimanya, namun abai pada kewajiban yang harus ditunaikan sebelumnya.
Dari sini, mungkin kita bisa sedikit menilai tingkat ego seseorang dari
tingkahnya saat bertamu.
Dan di
kisah kedua tulisan ini, warga yang bermukim di Desa Tassese’ itu, tanpa perlu
menuntut haknya pada pemuda-pemuda kota yang datang, mereka telah menunaikan kewajiban
mereka. Barangkali mereka belum sempat mengkhatamkan Sirah Nabawiah yang
mengisahkan teladan hidup Ahmad, namun mereka telah turun-temurun menjaga
ajaran bahwa tamu adalah raja. Demikianlah masyarakat ini tumbuh dan belajar
dari kearifan mereka sendiri, yang tidak jarang dianggap kampungan juga
terbelakang oleh masyarakat pemuja kota & modernitas.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 03 Oktober 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar