Sabtu, 04 Oktober 2014

Bila Tamu Menjamu




Pernah, ada rumah singgah milik sepasang suami istri yang telah renta di sebuah desa yang dikelilingi dataran tinggi yang tanahnya subur. Pemilik rumah tersebut terkenal sabar dan tekun. Keduanya menjamu setiap orang yang datang meminta makan atau minum.

Senang hati keduanya membagi air susu yang diperah dari hewan ternak mereka, juga makanan dari panen kebun mereka. Barang siapa singgah di sana, akan dijamu penuh hormat oleh keduanya.

Suatu hari seorang pemuda bernama Ahmad, bersama tiga orang rekannya, melewati rumah singgah tersebut. Rombongan pemuda ini hendak meminta kepada mereka sesuatu untuk dimakan.

Saat itu, wanita tua yang kebetulan sedang ditinggal suaminya ke kebun, menerima rombongan pemuda. Namun, sayangnya bertepatan dengan masa sulit sehingga berkatalah ia, “andaikan kami mempunyai sesuatu, tentulah kalian tidak akan kesulitan mendapatkan suguhan. Binatang ternak kami tidak ada yang mengandung dan ini adalah tahun paceklik.”

Ahmad memandangi hewan ternak yang ada di sekitar rumah, lalu meminta izin untuk mengusap-usap satu di antaranya. Hewan yang dipilihnya adalah seekor domba, yang tidak lagi dapat melahirkan anak dan sudah terlalu tua untuk mengeluarkan susu.

Atas izin pemiliknya, Ahmad lalu mengusap kantong kelenjar susu domba itu. Dari usapan tangannya, seketika keluarlah air susu berlimpah. Wanita pemilik rumah terheran-heran.

Belum terjawab keheranannya, Ahmad langsung menyerahkan susu yang dikumpulkan tersebut kepada wanita pemilik rumah untuk dinikmati. Setelah wanita sang pemilik rumah kenyang, Ahmad menyerahkan sisa susu tersebut kepada dua orang rekan-rekannya. Lalu setelah susu dalam wadah masih bersisa, baru kemudian ia meminumnya.

Sebelum meninggalkan wanita tersebut, Ahmad memerah kembali susu dari domba yang sama. Ia penuhi wadah yang sama untuk diserahkan kepada tuan rumah. Setelah itu, pemuda bernama Ahmad ini melanjutkan perjalanan.

***

Beribu-ribu tahun setelah kejadian itu, juga beribu-ribu kilometer jarak dari tempat peristiwa itu terjadi, di sebuah desa yang juga berada di dataran tinggi, peristiwa lain terjadi. Segerombolan anak muda dari kota berkunjung ke sana.

Masa itu bertepatan dengan Ramadhan, maka seperti kebiasaan masyarakat di sana, kebanyakan warga akan beramai-ramai ke mesjid untuk berbuka puasa. Para warga sendirilah yang membawa takjil untuk kemudian disantap sendiri pula oleh mereka.

Kali itu berbeda, ditengah-tengah keramaian warga desa yang hendak berbuka, rombongan pemuda dari kota itu ikut menghabiskan sajian yang ada. Tidak ada kekhawatiran yang tampak dari pandangan warga yang hadir di sana, tidak juga prilaku mereka membuat terasing para pemuda kota tersebut. Semua berbaur diterangi lampu mesjid yang redup, berpelukan senja yang mulai tenggelam di balik gunung.

Selepas shalat Maghrib, rombongan pemuda kembali dijamu di salah satu rumah warga. Dua pemuda dari rombongan pernah berkunjung sebelumnya ke rumah tersebut, tiga lainnya belum. Tapi tidak ada yang merasa segan, tuan rumah menjamu dengan ramah seakan menarasi-lakukan kalimat: anggap rumah sendiri!

Pemuda-pemuda bersama tuan rumah sekeluarga bersantap dengan lahap. Lauk-pauk yang masih segar berkomposisi: ikan yang baru saja dibeli dari tukang penjual ikan keliling yang menjajakan hasil tangkapannya, sayur bening yang baru saja dipetik dari kebun, dan tak ketinggalan sambal dari ulekan cabe hasil petikan tanaman depan rumah panggung tersebut.

Saat berpamitan, dibekalinya mereka air kelapa muda yang sore tadi−sebelum berangkat ke mesjid−dipanjat oleh anak lelaki tuan rumah yang kira-kira berumur 10 tahun. Tak lupa perpisahan itu ditutup dengan kalimat, “lain waktu, datanglah kembali!”

***

Pada kisah pertama cerita di atas, pemuda itu singgah di sebuah rumah sebagai tamu. Ia datang ingin meminta makan, tapi yang ditemuinya justru seseorang yang sedang dalam kesulitan pangan. Maka pemuda tersebut tak meninggalkan, tapi membuka jalan. Ia perah susu, hingga tuan rumah kenyang dengan meminumnya. Ia tinggalkan tuan rumah dengan hasil perahan susu yang banyak, tidak dengan tangan kosong.

Pemuda bernama Ahmad tersebut adalah putra kesayangan dari keturunan Abdu Manaf yang bermukim di Mekah. Seorang pemuda yang ludahnya menyembuhkan luka badan, dan tutur katanya mengobati luka yang bersemayam di hati. Ia adalah pemuda yang memuliakan setiap tamunya, tanpa lupa meneladankan lakon menjadi tamu yang baik terlebih dahulu.

Tamu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang datang berkunjung, menyiratkan dua hal: ada yang datang & ada yang menerima. Seringnya, orang yang bertamu hanya ingat tentang dirinya yang datang dan harus dijamu, namun mengabaikan tuan yang menerimanya. Gambaran sederhana manusia yang pandai menghitung hak yang harus diterimanya, namun abai pada kewajiban yang harus ditunaikan sebelumnya. Dari sini, mungkin kita bisa sedikit menilai tingkat ego seseorang dari tingkahnya saat bertamu.

Dan di kisah kedua tulisan ini, warga yang bermukim di Desa Tassese’ itu, tanpa perlu menuntut haknya pada pemuda-pemuda kota yang datang, mereka telah menunaikan kewajiban mereka. Barangkali mereka belum sempat mengkhatamkan Sirah Nabawiah yang mengisahkan teladan hidup Ahmad, namun mereka telah turun-temurun menjaga ajaran bahwa tamu adalah raja. Demikianlah masyarakat ini tumbuh dan belajar dari kearifan mereka sendiri, yang tidak jarang dianggap kampungan juga terbelakang oleh masyarakat pemuja kota & modernitas.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 03 Oktober 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar