Sabtu, 25 Oktober 2014

Ilusi Gambaran Ideal Resepsi Pernikahan




‘Untuk apa bermegah-megahan di pesta pernikahan, lantas terlilit hutang setelahnya. Justru, dana seharusnya disimpan untuk memulai rumah tangga yang baru, bukan dihambur-hamburkan dalam sehari-dua hari untuk sebuah pesta.’ Itu adalah pesan dari kakak saya di suatu ketika. Saya mengingat terus pesan itu.

Bukan tanpa sebab, itu dikatakannya. Rahasia umum, dalam masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan, Bugis khususnya, melangsungkan pernikahan dengan resepsi besar bukan perkara mengeluarkan tenaga dan pikiran semata. Dana, tidak terelakkan lagi, betapa besar pengeluaran yang harus dianggarkan untuk itu.

Tidak ada yang salah dengan pernikahan yang mengundang banyak karib-kerabat, menjamu dengan selayaknya. Tapi benarkah tidak ada yang salah, jika pernikahan kemudian digelar eksklusif untuk sebuah prestise? Apalagi ditayangkan di stasiun televisi sebagai konsumsi publik?

Menarik−untuk tidak disebut ikut-ikutan−membahas fenomena sepasang artis yang heboh di bulan Oktober ini. Resepsi yang digelar selama tiga hari, tidak bisa tidak mengusik nalar saya untuk bertanya, seperti pertanyaan sebagian orang barangkali: seberapa penting acara ini untuk ditayangkan di stasiun televisi nasional, yang frekuensi penanyangannya bahkan melebihi jumlah jam tayang upacara tujuh belasan di istana negara?

Iseng, saya melakukan riset acak, bertanya tentang motivasi orang-orang (lebih tepatnya kaum perempuan) menyukai tayangan yang mempertontonkan upacara pernikahan kelas elit Jawa dan Sunda tersebut. Ada banyak jawaban, yang sebenarnya kesemuanya hanya mau bilang: bagus, menghibur, bermanfaat. Setelah saya tanya lebih jauh, ukuran bagus tersebut ternyata diperbandingkan dengan program-program televisi lain seperti berita politik yang bikin mereka muak, atau sinetron yang kata mereka tidak bermutu.

Saya tidak bisa menyalahkan subjek, dalam hal ini penonton, untuk kondisi tertentu. Alasannya karena saya pun tidak menyukai tayangan-tayangan lain yang mendominasi program-program stasiun televisi saat ini. Tapi tidak lantas berarti saya juga menyukai tayangan serupa resepsi pernikahan yang tidak penting itu. Saya masih punya kegiatan lain yang ‘bagus, menghibur, dan bermanfaat’ (seperti alasan orang-orang tadi memilih menonton televisi), ialah membaca dan menulis. Dan kalau bosan dikeduanya, saya lebih memilih tidur saja.

Lalu siapa yang akan disalahkan? Sekali lagi, kita sedang membahas tentang tayangan nasional, konteks masyarakat dalam satu negara. Tayangan ini disiarkan hingga ke pelosok, maka dalam konteks itu, ada pihak yang perlu kita soroti, mengingat tanggung jawabnya mengontrol tayangan-tayangan televisi yang disuguhkan kepada masyarakat.

Lebih dari itu, kalau misalnya memang ada banyak alternatif tontonan yang dapat masyarakat pilih selain tayangan X, maka masalahnya mungkin dapat dikembalikan kepada penonton. Penonton yang cerdas akan memilih tayangan yang mencerdaskan. Tapi, media di negara kita kenyataannya menayangkan program-program yang hampir serupa. Itu-itu lagi, itu-itu lagi. Hampir tak ada alternatif. Kenapa?

Hasil penelitian Merlyana Lim (2012), The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia, cukup baik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Profesor Arizona State University, yang juga adalah alumnus arsitektur ITB  dan Unpar ini, berhasil mengupas bagaimana media di Indonesia terkonsentrasi sejak era Soeharto di tahun 1998. Media didominasi oleh 13 grup, dengan satu grup yang bersatus publik (milik negara) dan sisanya adalah milik pemodal-pemodal besar.

Berikutnya, Lim menuliskan, rata-rata 1 grup memiliki lebih dari 10 stasiun televisi. Inilah alasan kemudian mengapa Lim dengan tersurat di penelitiannya menuliskan: media-media telah dikontrol oleh grup tersebut.

Pendeknya, stasiun televisi berikut tayangan-tayangan yang mengikutinya dibekingi oleh para pemodal-pemodal besar beserta kepentingan-kepentingannya. Tentu kita masih ingat terkait berita-berita yang ditampilkan oleh masing-masing stasiun televisi pada masa kampanye calon presiden, dikontrol oleh para pemilik yang masing-masing berdiri di belakang calon mereka. Berita-berita yang diangkat, kalau tidak menjatuhkan calon oposisi, maka menaikkan citra diri calon yang didukung. Tidak ada yang bebas kepentingan. Meski pun, ada perbedaan konteks kepentingan antara berita politik dan penayangan upacara pernikahan sepasang aktris yang sedang hangat ini.

Pada akhirnya, kontrol media atas tayangan-tayangan yang dapat kita nikmati lewat kotak segi empat di rumah masing-masing, tak bisa dihindarkan akan mempengaruhi pola pikir dan keseharian kita. Setelah penayangan prosesi pernikahan sepasang aktris ini, calon ibu-ibu mertua, bisa saja menarik garis ideal yang ditontonnya, membentang di kehidupannya.

Gaya hidup ekstravagansa hendak diberlakukan di dalam kehidupannya. Dan yang kemudian terlupa adalah ada ruang kosong yang terlalu dalam, memisahkan kondisi kantong keuangan sepasang aktris ini dengan kantong keuangan masyarakat kita pada umumnya. Jangankan meniru jenis makanan yang disajikan di resepsi pernikahan ala aktris, di negara kita ini, tidak sulit untuk menemukan masyarakat yang bahkan tak berdaya untuk menentukan hendak makan apa mereka hari ini?

 Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 25 Oktober 2014).

1 komentar:

  1. Setuju, yg msh jarang di Sulawesi itu pernikahan yang terbuka untuk umum, jadi kemeriahannya juga bisa dirasakan oleh mereka yang tidak selalu mendapatkan makanan2 enak setiap hari. Jadi, kalaupun menggelar pesta besar sesuai dengan budget kedua keluarga mempelai, why not? asalkan kebahagiaanya juga bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar

    BalasHapus