‘Untuk
apa bermegah-megahan di pesta pernikahan, lantas terlilit hutang setelahnya.
Justru, dana seharusnya disimpan untuk memulai rumah tangga yang baru, bukan
dihambur-hamburkan dalam sehari-dua hari untuk sebuah pesta.’ Itu adalah pesan
dari kakak saya di suatu ketika. Saya mengingat terus pesan itu.
Bukan
tanpa sebab, itu dikatakannya. Rahasia umum, dalam masyarakat yang ada di
Sulawesi Selatan, Bugis khususnya, melangsungkan pernikahan dengan resepsi besar
bukan perkara mengeluarkan tenaga dan pikiran semata. Dana, tidak terelakkan
lagi, betapa besar pengeluaran yang harus dianggarkan untuk itu.
Tidak
ada yang salah dengan pernikahan yang mengundang banyak karib-kerabat, menjamu
dengan selayaknya. Tapi benarkah tidak ada yang salah, jika pernikahan kemudian
digelar eksklusif untuk sebuah prestise? Apalagi ditayangkan di stasiun
televisi sebagai konsumsi publik?
Menarik−untuk
tidak disebut ikut-ikutan−membahas fenomena sepasang artis yang heboh di bulan
Oktober ini. Resepsi yang digelar selama tiga hari, tidak bisa tidak mengusik
nalar saya untuk bertanya, seperti pertanyaan sebagian orang barangkali:
seberapa penting acara ini untuk ditayangkan di stasiun televisi nasional, yang
frekuensi penanyangannya bahkan melebihi jumlah jam tayang upacara tujuh
belasan di istana negara?
Iseng,
saya melakukan riset acak, bertanya tentang motivasi orang-orang (lebih
tepatnya kaum perempuan) menyukai tayangan yang mempertontonkan upacara
pernikahan kelas elit Jawa dan Sunda tersebut. Ada banyak jawaban, yang
sebenarnya kesemuanya hanya mau bilang: bagus, menghibur, bermanfaat. Setelah
saya tanya lebih jauh, ukuran bagus tersebut ternyata diperbandingkan dengan
program-program televisi lain seperti berita politik yang bikin mereka muak,
atau sinetron yang kata mereka tidak bermutu.
Saya
tidak bisa menyalahkan subjek, dalam hal ini penonton, untuk kondisi tertentu.
Alasannya karena saya pun tidak menyukai tayangan-tayangan lain yang mendominasi
program-program stasiun televisi saat ini. Tapi tidak lantas berarti saya juga
menyukai tayangan serupa resepsi pernikahan yang tidak penting itu. Saya masih
punya kegiatan lain yang ‘bagus, menghibur, dan bermanfaat’ (seperti alasan
orang-orang tadi memilih menonton televisi), ialah membaca dan menulis. Dan
kalau bosan dikeduanya, saya lebih memilih tidur saja.
Lalu
siapa yang akan disalahkan? Sekali lagi, kita sedang membahas tentang tayangan
nasional, konteks masyarakat dalam satu negara. Tayangan ini disiarkan hingga ke
pelosok, maka dalam konteks itu, ada pihak yang perlu kita soroti, mengingat
tanggung jawabnya mengontrol tayangan-tayangan televisi yang disuguhkan kepada
masyarakat.
Lebih
dari itu, kalau misalnya memang ada banyak alternatif tontonan yang dapat
masyarakat pilih selain tayangan X, maka masalahnya mungkin dapat dikembalikan
kepada penonton. Penonton yang cerdas akan memilih tayangan yang mencerdaskan. Tapi,
media di negara kita kenyataannya menayangkan program-program yang hampir serupa.
Itu-itu lagi, itu-itu lagi. Hampir tak ada alternatif. Kenapa?
Hasil
penelitian Merlyana Lim (2012), The
League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia, cukup baik untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Profesor Arizona
State University, yang juga adalah alumnus arsitektur ITB dan Unpar ini, berhasil mengupas bagaimana
media di Indonesia terkonsentrasi sejak era Soeharto di tahun 1998. Media
didominasi oleh 13 grup, dengan satu grup yang bersatus publik (milik negara)
dan sisanya adalah milik pemodal-pemodal besar.
Berikutnya,
Lim menuliskan, rata-rata 1 grup memiliki lebih dari 10 stasiun televisi.
Inilah alasan kemudian mengapa Lim dengan tersurat di penelitiannya menuliskan:
media-media telah dikontrol oleh grup tersebut.
Pendeknya,
stasiun televisi berikut tayangan-tayangan yang mengikutinya dibekingi oleh
para pemodal-pemodal besar beserta kepentingan-kepentingannya. Tentu kita masih
ingat terkait berita-berita yang ditampilkan oleh masing-masing stasiun
televisi pada masa kampanye calon presiden, dikontrol oleh para pemilik yang
masing-masing berdiri di belakang calon mereka. Berita-berita yang diangkat,
kalau tidak menjatuhkan calon oposisi, maka menaikkan citra diri calon yang
didukung. Tidak ada yang bebas kepentingan. Meski pun, ada perbedaan konteks
kepentingan antara berita politik dan penayangan upacara pernikahan sepasang
aktris yang sedang hangat ini.
Pada
akhirnya, kontrol media atas tayangan-tayangan yang dapat kita nikmati lewat
kotak segi empat di rumah masing-masing, tak bisa dihindarkan akan mempengaruhi
pola pikir dan keseharian kita. Setelah penayangan prosesi pernikahan sepasang
aktris ini, calon ibu-ibu mertua, bisa saja menarik garis ideal yang
ditontonnya, membentang di kehidupannya.
Gaya
hidup ekstravagansa hendak diberlakukan di dalam kehidupannya. Dan yang
kemudian terlupa adalah ada ruang kosong yang terlalu dalam, memisahkan kondisi
kantong keuangan sepasang aktris ini dengan kantong keuangan masyarakat kita
pada umumnya. Jangankan meniru jenis makanan yang disajikan di resepsi
pernikahan ala aktris, di negara kita ini, tidak sulit untuk menemukan
masyarakat yang bahkan tak berdaya untuk menentukan hendak makan apa mereka
hari ini?
Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 25 Oktober 2014).
Setuju, yg msh jarang di Sulawesi itu pernikahan yang terbuka untuk umum, jadi kemeriahannya juga bisa dirasakan oleh mereka yang tidak selalu mendapatkan makanan2 enak setiap hari. Jadi, kalaupun menggelar pesta besar sesuai dengan budget kedua keluarga mempelai, why not? asalkan kebahagiaanya juga bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar
BalasHapus