Penulis itu bernama Nurhady Sirimorok.
Di Jakarta, awal 2008, ia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi dan
peluncuran dua buku penulis Makassar, salah satunya kumpulan cerpen Lily
Yulianti Farid, Makkunrai. Di kemudian hari, Nurhady, dengan gaya tulisnya
yang khas: kritis, dalam dan ‘butuh panadol untuk mencerna tulisannya’
(demikian istilah kawan-kawan di komunitasnya), mengomentari karya Lily
tersebut seperti ini: membaca kumpulan cerpen Lily seperti menjawab beberapa
kritik atas cerpen Indonesia.
Membaca kumpulan cerpen Lily,
berikutnya tidak sekedar menjawab kritik seperti yang dinyatakan Nurhady itu.
Ya, Lily membuat saya merasa sentimentil, dengan buku kumpulan cerpen
terakhirnya yang diterbitkan hingga tahun ini, Ayahmu Bulan Engkau Matahari.
Dari tujuh belas cerpen yang ada di
dalam buku pendiri sekaligus Direktur Makassar International Writer Festival
ini, tiga di antaranya telah memiliki sejarah penerbitan di koran nasional.
Ketiganya adalah Rie dan Rei (Media Indonesia), Kue Lapis (Koran Tempo) dan
Gurita (Koran Tempo).
Judul buku yang menjadi judul salah
satu cerpen−sekaligus sebagai cerpen pembuka−membawakan cerita-cerita yang
kebanyakan ditokohi oleh perempuan. Dari ruang dapur hingga wilayah konflik.
Lily menampilkan suara-suara perempuan
yang gelisah, marah dan melawan terhadap ketidakadilan. Latar pendidikannya
sebagai kandidat doktor bidang Gender di Universitas Melbourne, tampak
mempengaruhi karya-karyanya. Tapi, hubungan sebab-akibat tersebut bisa saja
terbalik, ketertarikannya pada isu genderlah yang justru membimbingnya memilih
bidang studi tersebut. Ini melihat sejarah penerbitan buku pertamanya, Makkunrai
(Bahasa Bugis yang berarti perempuan), terbit di tahun 2008, kemungkinan
sebelum berangkat ke negeri Kangguru.
Dalam cerpen pertama, adalah Jannah,
seorang bayi yang terlahir ketika ‘malam seperti meledak. Engkau [Jannah]
bayi merah yang berlabuh tenang di dada ibu, lahir bersama letusan senjata di
langit malam, di tengah suasana kampung yang ricuh. Tangisan pertamamu tenggelam
oleh suara tangis yang lebih kencang di luar sana.’ Tampak persentuhan
antara tokoh dengan konflik dan kerusuhan mewarnai cerita ini. Seorang anak
perempuan, lahir ketika ayahnya keluar melawan gerombolan pemberontak. Mirip
dengan cara Markus Suzak menokohkan Liesel dalam ‘The Book Thief’-nya.
Gadis perempuan yang lahir ditengah konflik, tanpa seorang ayah, dan di
kemudian hari kehilangan ibu akibat konflik yang belum reda. Atau serupa cerita
terkenal Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan masa kecilnya sebagai Totto-Chan
dalam buku dengan judul asli ‘Madogiwa no Totto-Chan’. Secara
samar-samar (saya membacanya lebih dari tiga tahun silam) saya ingat, pada
akhir kisah, Totto-Chan harus kehilangan sekolahnya, teman-temannya,
guru-gurunya, akibat perang yang meletus di negaranya, Jepang.
Demikian Lily dengan cerdas memilih
menempatkan tokoh perempuan yang masih kanak, menghadapi kondisi negaranya yang
amburadul, diikuti keluarga yang tak utuh. Hal ini cukup menguras emosi
pembaca, terlebih untuk pembaca dengan tipe melankolis dan ‘cengeng’. Isi
cerita ini, tidak bisa tidak memancing ingatan saya tertuju pada seorang gadis
perempuan yang menjadi korban kekerasan tragedi ’65. Yanti, di usianya yang
masih 14 tahun, ia ditangkap, dituduh sebagai bagian dari PKI.
Lily seperti mengejek pembaca yang lupa
akan sebuah tragedi yang pernah terjadi, yang menyimpan luka bagi segenap
perempuan yang dituduh komunis. Melampaui kesedihan seorang perempuan belia,
Lily juga mengungkit kesakitan perempuan berstatus ibu dengan mencantumkan
sajak Farid M Ibrahim dalam cerpennya, ‘ibumu yang tengah mengarungi samudra
kesakitan yang tak mungkin pernah dibayangkan para lelaki.’
Ini kembali membuat saya merefleksikan
luka yang dikandung ibu-ibu yang diperkosa tanpa ampun oleh lelaki berseragam.
Dihamili luka tidak saja fisik, tapi melahirkan siksaan psikis yang luar biasa
hebat. Disetrum, melayani 12 laki-laki dalam sehari, ditelanjangi dengan
kemaluan berdarah-darah, lubang vagina ditusuk senapan, puting payu dara
dimainkan dengan ujung pensil juga digigit dengan biadab, ditanam berdiri
setinggi leher di dalam hutan, dikencingi, dan duh! Sungguh mengerikan.
Seteleh penyiksaan itu, mereka dipaksa menjawab ‘ya’ dihadapan para wartawan
saat ditanya apakah mereka terlibat dalam kasus pembunuhan para jenderal di
Lubang Buaya. Pengakuan Anggota Gerwani ini cukup gamblang ditulis oleh
aktivitis yang bergerak menangani isu-isu perempuan, Ita Fatia Nadia dalam
buku: Suara Perempuan Korban Tragedi ’65.
Mereka pelaku kekerasan itu, berjenis kelamin
laki-laki. Mereka dituliskan sebagai simbol pembawa ketidakadilan bagi
perempuan yang tidak berdaya. Mereka berada di bawah pimpinan seorang Bapak,
Bapak yang tidak bisa dilawan.
Perempuan-perempuan ini kebanyakan
berakhir dalam kondisi mengenaskan, ada pun yang masih hidup, mereka tidak
benar-benar bebas. Tak diterima masyarakat. Terusir di tanah kelahiran.
Diasingkan. Hukuman sosial atas tuduhan yang tidak mereka lakukan.
Perempuan-perempuan ini, tak pernah
menemui keadilan, pun tak lagi berharap keadilan datang, kecuali sedikit
keinganan untuk hidup damai tanpa siksaan. Silih bergantinya presiden, keadilan
bagi mereka tak pernah dibunyikan. Tersembunyi. Persis seperti matahari
yang tak pernah menemui bulan yang dituliskan Lily.
Lily lalu menggambarkan kontrasnya
kepolosan nenek Jannah yang mengira bulan tak akan pernah bertemu matahari,
sebab di belahan bumi Utara, yang didatangi Jannah puluhan tahun kemudian,
langit musim dingin memberikan pemandangan yang membantah pernyataan nenek:
bulan bisa bertemu matahari. Barangkali, harapan nenek itu, adalah harapan
seluruh warga yang lahir dari tragedi dan konflik bersejarah di negeri ini,
yang hingga kini tak jua mampu melihat keadilan bersinar selepas gulita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar