Senin, 27 Oktober 2014

Membunyikan Kata yang Tersembunyi



 
Penulis itu bernama Nurhady Sirimorok. Di Jakarta, awal 2008, ia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi dan peluncuran dua buku penulis Makassar, salah satunya kumpulan cerpen Lily Yulianti Farid, Makkunrai. Di kemudian hari, Nurhady, dengan gaya tulisnya yang khas: kritis, dalam dan ‘butuh panadol untuk mencerna tulisannya’ (demikian istilah kawan-kawan di komunitasnya), mengomentari karya Lily tersebut seperti ini: membaca kumpulan cerpen Lily seperti menjawab beberapa kritik atas cerpen Indonesia.

Membaca kumpulan cerpen Lily, berikutnya tidak sekedar menjawab kritik seperti yang dinyatakan Nurhady itu. Ya, Lily membuat saya merasa sentimentil, dengan buku kumpulan cerpen terakhirnya yang diterbitkan hingga tahun ini, Ayahmu Bulan Engkau Matahari.

Dari tujuh belas cerpen yang ada di dalam buku pendiri sekaligus Direktur Makassar International Writer Festival ini, tiga di antaranya telah memiliki sejarah penerbitan di koran nasional. Ketiganya adalah Rie dan Rei (Media Indonesia), Kue Lapis (Koran Tempo) dan Gurita (Koran Tempo).

Judul buku yang menjadi judul salah satu cerpen−sekaligus sebagai cerpen pembuka−membawakan cerita-cerita yang kebanyakan ditokohi oleh perempuan. Dari ruang dapur hingga wilayah konflik.

Lily menampilkan suara-suara perempuan yang gelisah, marah dan melawan terhadap ketidakadilan. Latar pendidikannya sebagai kandidat doktor bidang Gender di Universitas Melbourne, tampak mempengaruhi karya-karyanya. Tapi, hubungan sebab-akibat tersebut bisa saja terbalik, ketertarikannya pada isu genderlah yang justru membimbingnya memilih bidang studi tersebut. Ini melihat sejarah penerbitan buku pertamanya, Makkunrai (Bahasa Bugis yang berarti perempuan), terbit di tahun 2008, kemungkinan sebelum berangkat ke negeri Kangguru.

Dalam cerpen pertama, adalah Jannah, seorang bayi yang terlahir ketika ‘malam seperti meledak. Engkau [Jannah] bayi merah yang berlabuh tenang di dada ibu, lahir bersama letusan senjata di langit malam, di tengah suasana kampung yang ricuh. Tangisan pertamamu tenggelam oleh suara tangis yang lebih kencang di luar sana.’ Tampak persentuhan antara tokoh dengan konflik dan kerusuhan mewarnai cerita ini. Seorang anak perempuan, lahir ketika ayahnya keluar melawan gerombolan pemberontak. Mirip dengan cara Markus Suzak menokohkan Liesel dalam ‘The Book Thief’-nya. Gadis perempuan yang lahir ditengah konflik, tanpa seorang ayah, dan di kemudian hari kehilangan ibu akibat konflik yang belum reda. Atau serupa cerita terkenal Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan masa kecilnya sebagai Totto-Chan dalam buku dengan judul asli ‘Madogiwa no Totto-Chan’. Secara samar-samar (saya membacanya lebih dari tiga tahun silam) saya ingat, pada akhir kisah, Totto-Chan harus kehilangan sekolahnya, teman-temannya, guru-gurunya, akibat perang yang meletus di negaranya, Jepang.

Demikian Lily dengan cerdas memilih menempatkan tokoh perempuan yang masih kanak, menghadapi kondisi negaranya yang amburadul, diikuti keluarga yang tak utuh. Hal ini cukup menguras emosi pembaca, terlebih untuk pembaca dengan tipe melankolis dan ‘cengeng’. Isi cerita ini, tidak bisa tidak memancing ingatan saya tertuju pada seorang gadis perempuan yang menjadi korban kekerasan tragedi ’65. Yanti, di usianya yang masih 14 tahun, ia ditangkap, dituduh sebagai bagian dari PKI.

Lily seperti mengejek pembaca yang lupa akan sebuah tragedi yang pernah terjadi, yang menyimpan luka bagi segenap perempuan yang dituduh komunis. Melampaui kesedihan seorang perempuan belia, Lily juga mengungkit kesakitan perempuan berstatus ibu dengan mencantumkan sajak Farid M Ibrahim dalam cerpennya, ‘ibumu yang tengah mengarungi samudra kesakitan yang tak mungkin pernah dibayangkan para lelaki.’

Ini kembali membuat saya merefleksikan luka yang dikandung ibu-ibu yang diperkosa tanpa ampun oleh lelaki berseragam. Dihamili luka tidak saja fisik, tapi melahirkan siksaan psikis yang luar biasa hebat. Disetrum, melayani 12 laki-laki dalam sehari, ditelanjangi dengan kemaluan berdarah-darah, lubang vagina ditusuk senapan, puting payu dara dimainkan dengan ujung pensil juga digigit dengan biadab, ditanam berdiri setinggi leher di dalam hutan, dikencingi, dan duh! Sungguh mengerikan. Seteleh penyiksaan itu, mereka dipaksa menjawab ‘ya’ dihadapan para wartawan saat ditanya apakah mereka terlibat dalam kasus pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Pengakuan Anggota Gerwani ini cukup gamblang ditulis oleh aktivitis yang bergerak menangani isu-isu perempuan, Ita Fatia Nadia dalam buku: Suara Perempuan Korban Tragedi ’65.

Mereka pelaku kekerasan itu, berjenis kelamin laki-laki. Mereka dituliskan sebagai simbol pembawa ketidakadilan bagi perempuan yang tidak berdaya. Mereka berada di bawah pimpinan seorang Bapak, Bapak yang tidak bisa dilawan.

Perempuan-perempuan ini kebanyakan berakhir dalam kondisi mengenaskan, ada pun yang masih hidup, mereka tidak benar-benar bebas. Tak diterima masyarakat. Terusir di tanah kelahiran. Diasingkan. Hukuman sosial atas tuduhan yang tidak mereka lakukan.

Perempuan-perempuan ini, tak pernah menemui keadilan, pun tak lagi berharap keadilan datang, kecuali sedikit keinganan untuk hidup damai tanpa siksaan. Silih bergantinya presiden, keadilan bagi mereka tak pernah  dibunyikan. Tersembunyi. Persis seperti matahari yang tak pernah menemui bulan yang dituliskan Lily.

Lily lalu menggambarkan kontrasnya kepolosan nenek Jannah yang mengira bulan tak akan pernah bertemu matahari, sebab di belahan bumi Utara, yang didatangi Jannah puluhan tahun kemudian, langit musim dingin memberikan pemandangan yang membantah pernyataan nenek: bulan bisa bertemu matahari. Barangkali, harapan nenek itu, adalah harapan seluruh warga yang lahir dari tragedi dan konflik bersejarah di negeri ini, yang hingga kini tak jua mampu melihat keadilan bersinar selepas gulita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar