Jumat, 04 Oktober 2013

Andai Bacaan Selezat Kue



Saat ini, pertumbuhan orang-orang yang gemar membaca nampaknya tidak sebanding dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Tanpa perlu melihat data dalam bentuk angka, dapat dilihat dalam keseharian kita. Ada berapa orang dalam kendaraan umum yang kita jumpai membawa sebuah buku? Dari jumlah itu, ada berapa orang yang membacanya?

Saat berjalan melewati perempatan sebuah gang, saya sedikit terharu mendapati tukang becak membaca sebuah surat kabar sembari menunggu datangnya rezeki yang dibawa oleh penumpang. Di lain kesempatan, saya melewati perempatan yang berbeda. Saya menemukan bapak tukang becak yang sedang melamun, menunggu datangnya penumpang. Berselang beberapa jam, kali kedua saya melewati gang tersebut, kembali saya temukan bapak tersebut masih dalam keadaan duduk melamun di atas becaknya sedang menunggu penumpang datang.

Kedua tukang becak, sama-sama menunggu penumpang. Perbedaannya hanya cara yang mereka gunakan ketika menunggu.

***

Di situs jaringan media sosial, tak jarang ditemukan anak sekolahan dan kuliahan yang mengeluh karena mendapat tugas membaca. Jenis keluhan berbeda-beda, mulai dari bentuk emot-icon malas hingga melontarkan kekesalan karena terlalu banyak yang harus dibaca.

Apa yang dapat ditangkap dari kondisi ini? Mayoritas penduduk Indonesia tidak terlalu senang menukar waktunya, bahkan waktu senggang sekalipun, dengan kegiatan membaca. Membaca tidak dipandang sebagai suatu asupan yang dibutuhkan oleh diri sendiri. Membaca hanya kegiatan untuk menggugurkan kewajiban atau tugas yang didapatkan dari sekolah atau kampus.

Adalah Adora Svitak, anak dari Joyce dan John Sivitak ini mampu melahap buku sebanyak dua hingga tiga buah per hari. Saat usianya menginjak tiga tahun, ia telah mampu membaca dengan baik. Akibat hobi membaca, ia telah mampu menerbitkan sebuah buku fiksi di usianya yang baru menginjak tahun ke-7.

Saking cintanya dengan buku, maka saat Adora mendapatkan teman sebayanya yang merasa terbebani dengan kegiatan membaca, ia pun seketika itu bersedih. Kesedihannya ini membuat Adora berangkat ke berbagai penjuru kota dunia untuk mengajak teman-teman sebayanya gemar membaca.

Tampaknya, ada satu hal yang terlupa oleh Adora, bahwa tidak semua anak seusianya punya kesadaran tinggi untuk membaca seperti dia. Ah, andai semua anak bisa merasakan batapa lezatnya bacaan. Barangkali, kelezatannya seperti melahap kue. Bahkan, kelezatannya lebih tahan lama daripada kue yang sering mereka makan.

Saya membayangkan, andai bacaan berupa buku, artikel dan jurnal seperti kue-kue yang lezat, tentu bacaan akan laris manis dilahap oleh orang-orang. Andai bacaan selezat kue, maka di mana-mana akan mudah kita temui orang-orang melahap buku di angkutan umum, di pingir jalan, di halte dan di pasar. Kita akan menemukan orang-orang yang antusias membaca di mana-mana. Andai bacaan selaris manis kue digemari, pun dengan mudah dapat kita temukan para pedagang menjajakannya. Andai bacaan selezat kue, maka segala usia akan melahapnya, mulai dari anak-anak hingga manula.

Meski sebenarnya, bacaan memang hampir mirip dengan kue. Keduanya enak dan lezat, kue enak bagi jasmani, sementara bacaan bagi ruhani. Meskipun dibalik kelezatannya itu, kue kadang seperti racun bagi tubuh yang membawa berbagai penyakit. Tidak berbeda jauh dengan buku, beberapa buku dapat menjadi racun bagi pembacanya. Maka sebelum melahap keduanya, dibutuhkan pengetahuan untuk memilih yang enak, lezat dan bergizi.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Kamis, 03 Oktober 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar