Saat
ini, pertumbuhan orang-orang yang gemar membaca nampaknya tidak sebanding
dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Tanpa perlu melihat data dalam
bentuk angka, dapat dilihat dalam keseharian kita. Ada berapa orang dalam kendaraan
umum yang kita jumpai membawa sebuah buku? Dari jumlah itu, ada berapa orang
yang membacanya?
Saat
berjalan melewati perempatan sebuah gang, saya sedikit terharu mendapati tukang
becak membaca sebuah surat kabar sembari menunggu datangnya rezeki yang dibawa
oleh penumpang. Di lain kesempatan, saya melewati perempatan yang berbeda. Saya
menemukan bapak tukang becak yang sedang melamun, menunggu datangnya penumpang.
Berselang beberapa jam, kali kedua saya melewati gang tersebut, kembali saya
temukan bapak tersebut masih dalam keadaan duduk melamun di atas becaknya
sedang menunggu penumpang datang.
Kedua
tukang becak, sama-sama menunggu penumpang. Perbedaannya hanya cara yang mereka
gunakan ketika menunggu.
***
Di situs
jaringan media sosial, tak jarang ditemukan anak sekolahan dan kuliahan yang
mengeluh karena mendapat tugas membaca. Jenis keluhan berbeda-beda, mulai dari
bentuk emot-icon malas hingga melontarkan
kekesalan karena terlalu banyak yang harus dibaca.
Apa
yang dapat ditangkap dari kondisi ini? Mayoritas penduduk Indonesia tidak
terlalu senang menukar waktunya, bahkan waktu senggang sekalipun, dengan
kegiatan membaca. Membaca tidak dipandang sebagai suatu asupan yang dibutuhkan
oleh diri sendiri. Membaca hanya kegiatan untuk menggugurkan kewajiban atau
tugas yang didapatkan dari sekolah atau kampus.
Adalah
Adora Svitak, anak dari Joyce dan John Sivitak ini mampu melahap buku sebanyak
dua hingga tiga buah per hari. Saat usianya menginjak tiga tahun, ia telah
mampu membaca dengan baik. Akibat hobi membaca, ia telah mampu menerbitkan
sebuah buku fiksi di usianya yang baru menginjak tahun ke-7.
Saking
cintanya dengan buku, maka saat Adora mendapatkan teman sebayanya yang merasa
terbebani dengan kegiatan membaca, ia pun seketika itu bersedih. Kesedihannya
ini membuat Adora berangkat ke berbagai penjuru kota dunia untuk mengajak
teman-teman sebayanya gemar membaca.
Tampaknya,
ada satu hal yang terlupa oleh Adora, bahwa tidak semua anak seusianya punya
kesadaran tinggi untuk membaca seperti dia. Ah,
andai semua anak bisa merasakan batapa lezatnya bacaan. Barangkali,
kelezatannya seperti melahap kue. Bahkan, kelezatannya lebih tahan lama
daripada kue yang sering mereka makan.
Saya
membayangkan, andai bacaan berupa buku, artikel dan jurnal seperti kue-kue yang
lezat, tentu bacaan akan laris manis dilahap oleh orang-orang. Andai bacaan
selezat kue, maka di mana-mana akan mudah kita temui orang-orang melahap buku
di angkutan umum, di pingir jalan, di halte dan di pasar. Kita akan menemukan
orang-orang yang antusias membaca di mana-mana. Andai bacaan selaris manis kue
digemari, pun dengan mudah dapat kita temukan para pedagang menjajakannya.
Andai bacaan selezat kue, maka segala usia akan melahapnya, mulai dari
anak-anak hingga manula.
Meski
sebenarnya, bacaan memang hampir mirip dengan kue. Keduanya enak dan lezat, kue
enak bagi jasmani, sementara bacaan bagi ruhani. Meskipun dibalik kelezatannya
itu, kue kadang seperti racun bagi tubuh yang membawa berbagai penyakit. Tidak
berbeda jauh dengan buku, beberapa buku dapat menjadi racun bagi pembacanya.
Maka sebelum melahap keduanya, dibutuhkan pengetahuan untuk memilih yang enak,
lezat dan bergizi.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Kamis, 03 Oktober 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar