Selasa, 30 September 2014

Dari Perusahaan Twitter Hingga Tambang




Menurut The Wall Street Journal, para analis mengakui Indonesia adalah satu di antara pasar terbesar perusahaan media sosial Twitter. Media sosial yang berpusat di San Fransisco ini, kian hari semakin diminati oleh masyarakat Indonesia. Demikian berita yang dituliskan dalam sebuah jejaring milik stasiun televisi swasta nasional.

Meski pun tidak ada data statistik yang ditunjukkan terkait berapa persen dari 75% pengguna yang ada di luar negara asal Amerika−di sana hanya 25% pengguna Twitter, sisanya berada di luar Amerika−berita dari internal Twitter menyatakan bahwa hampir 95juta tweet pada tahun 2014 ini membahas tentang Pemilihan Presiden Indonesia. Maka tidak mengherankan kemudian jika pada akhir Agustus tahun ini, Global President of Revenue and Partnership Twitter, Adam Bain, mengumumkan bahwa Twitter akan segera membuka kantor di Indonesia.

Saya hampir yakin bahwa saat membuat akun, hampir tidak ada pengguna Twitter yang membaca menu Kebijakan Privasinya yang menyatakan bahwa Twitter mengumpulkan informasi pengguna selama mengaksesnya dan dapat membaginya dengan pihak ketiga. Bahkan, Twitter berhak untuk menjual informasi−termasuk data pengguna−untuk menjual informasi tersebut jika perusahaan Twitter berpindah tangan, atau dibeli perusahaan lain. Jadi, menjadi aneh jika dalam bermedia-sosial sebangsa twitter, masih ada juga yang merasa privasinya terganggu. Kok bisa? Memilih menggunakan twitter berarti memilih menginformasikan informasi diri kepada publik. Sepertinya itu logika sederhana yang cukup mudah dimengerti, bahkan anak SD yang membuat akun Twitter sekali pun sepertinya bisa paham akan hal ini.

Semua orang bersuara dengan bebas di media sosial, nyaris tanpa batasan. Termasuk heboh masalah apakah 4 x 6 sama atau tidak sama dengan 6 x 4. Hallo? Apakah masalah seperti ini tidak cukup diselesaikan di sekolah oleh si murid bersama gurunya?

Peran-peran ganda bermunculan, semua orang boleh menjadi analis apa saja atas masalah apa saja yang sedang heboh. Seolah tidak afdal jika tidak ikut membahas fenomena yang sedang ramai orang diperbincangkan. Seseorang menjadi ada ketika ia sudah muncul, dan berkomentar.

Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah simulakra. Seseorang menjadi lebih nyata dalam media sosial tinimbang orang itu sendiri di dunia nyata. Seseorang lebih dirasakan kehadirannya saat berkomunikasi di media sosial tinimbang saat bertemu langsung.

Saya bisa mencontohkan seperti ini: antara laporan pertanggung jawaban sosial perusahaan dengan kinerja sosialnya. Begini, laporan pertanggung jawaban sosial perusahaan tentu melaporkan hal-hal yang ideal dan baik-baik atas kondisi perusahaan sebagai alat legitimasinya. Tapi berbagai penelitian kritis di bidang akuntansi menunjukkan bahwa apa yang dilaporkan pada kenyataannya tidak terjadi di lapangan. Penelitian semiotika yang dilakukan oleh Ari Kamayanti dan dua rekannya tentang CSR yang berjudul Mengeksplorasi Kepedulian Lingkungan dan Sosial PT. AKR Corporindo Tbk. Melalui Laporan CSR, menyatakan bahwa aktivitas sosial perusahaan kebanyakan hanya sebagai upaya pencitraan belaka.

Saya semakin yakin, setelah seorang kawan saya yang meneliti laporan pertanggungjawaban sosial sebuah perusahaan tambang besar di negara ini mengungkapkan bahwa apa yang dinarasikan di laporan perusahaan jauh panggang dari api. Sayangnya, pihak pemerintah sebagai pengawas nyatanya lebih percaya pada kertas-kertas laporan perusahaan daripada suara-suara keluh masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Masyarakat ini memang menjadi bagian tidak penting kala urusan pembagian proyek dan pajak yang diterima negara dari perusahaan besar ini menjadi tandingannya.

Dari hulu ke hilir dalam struktur masyarakat negara ini sedang diciptakan dunia perwakilan yang lebih nyata dari aslinya. Saat dunia ini semakin menjadi-jadi, saat itu pula kita lebih peduli kulit ketimbang inti. Atau justru sedang atau sudah terjadi ya?

Rubrik Opini, Koran Fajar (Senin, 29 September 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar