Menurut
The Wall Street Journal, para analis
mengakui Indonesia adalah satu di antara pasar terbesar perusahaan media sosial
Twitter. Media sosial yang berpusat di San Fransisco ini, kian hari semakin
diminati oleh masyarakat Indonesia. Demikian berita yang dituliskan dalam
sebuah jejaring milik stasiun televisi swasta nasional.
Meski
pun tidak ada data statistik yang ditunjukkan terkait berapa persen dari 75%
pengguna yang ada di luar negara asal Amerika−di sana hanya 25% pengguna
Twitter, sisanya berada di luar Amerika−berita dari internal Twitter menyatakan
bahwa hampir 95juta tweet pada tahun 2014 ini membahas tentang Pemilihan
Presiden Indonesia. Maka tidak mengherankan kemudian jika pada akhir Agustus
tahun ini, Global President of Revenue
and Partnership Twitter, Adam Bain, mengumumkan bahwa Twitter akan segera
membuka kantor di Indonesia.
Saya
hampir yakin bahwa saat membuat akun, hampir tidak ada pengguna Twitter yang
membaca menu Kebijakan Privasinya yang menyatakan bahwa Twitter mengumpulkan
informasi pengguna selama mengaksesnya dan dapat membaginya dengan pihak
ketiga. Bahkan, Twitter berhak untuk menjual informasi−termasuk data pengguna−untuk
menjual informasi tersebut jika perusahaan Twitter berpindah tangan, atau
dibeli perusahaan lain. Jadi, menjadi aneh jika dalam bermedia-sosial sebangsa
twitter, masih ada juga yang merasa privasinya terganggu. Kok bisa? Memilih
menggunakan twitter berarti memilih menginformasikan informasi diri kepada
publik. Sepertinya itu logika sederhana yang cukup mudah dimengerti, bahkan
anak SD yang membuat akun Twitter sekali pun sepertinya bisa paham akan hal
ini.
Semua
orang bersuara dengan bebas di media sosial, nyaris tanpa batasan. Termasuk
heboh masalah apakah 4 x 6 sama atau tidak sama dengan 6 x 4. Hallo? Apakah
masalah seperti ini tidak cukup diselesaikan di sekolah oleh si murid bersama
gurunya?
Peran-peran
ganda bermunculan, semua orang boleh menjadi analis apa saja atas masalah apa
saja yang sedang heboh. Seolah tidak afdal jika tidak ikut membahas fenomena
yang sedang ramai orang diperbincangkan. Seseorang menjadi ada ketika ia sudah
muncul, dan berkomentar.
Fenomena
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah simulakra. Seseorang menjadi lebih
nyata dalam media sosial tinimbang orang itu sendiri di dunia nyata. Seseorang
lebih dirasakan kehadirannya saat berkomunikasi di media sosial tinimbang saat
bertemu langsung.
Saya
bisa mencontohkan seperti ini: antara laporan pertanggung jawaban sosial
perusahaan dengan kinerja sosialnya. Begini, laporan pertanggung jawaban sosial
perusahaan tentu melaporkan hal-hal yang ideal dan baik-baik atas kondisi
perusahaan sebagai alat legitimasinya. Tapi berbagai penelitian kritis di
bidang akuntansi menunjukkan bahwa apa yang dilaporkan pada kenyataannya tidak
terjadi di lapangan. Penelitian semiotika yang dilakukan oleh Ari Kamayanti dan
dua rekannya tentang CSR yang berjudul Mengeksplorasi Kepedulian Lingkungan dan
Sosial PT. AKR Corporindo Tbk. Melalui Laporan CSR, menyatakan bahwa aktivitas
sosial perusahaan kebanyakan hanya sebagai upaya pencitraan belaka.
Saya
semakin yakin, setelah seorang kawan saya yang meneliti laporan
pertanggungjawaban sosial sebuah perusahaan tambang besar di negara ini mengungkapkan
bahwa apa yang dinarasikan di laporan perusahaan jauh panggang dari api.
Sayangnya, pihak pemerintah sebagai pengawas nyatanya lebih percaya pada
kertas-kertas laporan perusahaan daripada suara-suara keluh masyarakat di
sekitar lokasi pertambangan. Masyarakat ini memang menjadi bagian tidak penting
kala urusan pembagian proyek dan pajak yang diterima negara dari perusahaan
besar ini menjadi tandingannya.
Dari
hulu ke hilir dalam struktur masyarakat negara ini sedang diciptakan dunia
perwakilan yang lebih nyata dari aslinya. Saat dunia ini semakin menjadi-jadi,
saat itu pula kita lebih peduli kulit ketimbang inti. Atau justru sedang atau
sudah terjadi ya?
Rubrik Opini, Koran Fajar (Senin, 29
September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar