Selasa, 09 September 2014

Surga-surga Kecil di Makassar




I have always imagined that paradise will be a kind of library. (Jorge Luis Borges)


Seorang admin dalam sebuah situs yang diberi nama “Kehidupan di Jepang” membagikan sebuah video seorang bocah laki-laki yang sedang asyik membaca di sebuah perpustakaan. Dengan tutur bersemangat, diceritakan bagaimana kehidupan di Jepang menuntunnya gemar membaca. Hal ini dibuktikan lewat cerita kunjungannya ke perpustakaan bertepatan dengan hari libur. Tulisan kemudian ditutup dengan kalimat: “semoga anak2[-anak] di Indonesia juga bisa mencontoh kebiasaan membaca di sini [Jepang] untuk bangsa yang lebih maju karena buku adalah jendela dunia.”

Demikianlah sebuah harapan yang menggambarkan dominasi tanggapan masyarakat kita saat berkunjung ke luar negeri. Sesering kita membaca atau melihat foto kendaraan terparkir rapi di luar negeri yang dibagikan lewat media sosial. Seolah ingin berkata “lihat nih kesadaran masyarakat luar negeri!” Atau misalnya lagi tentang kebiasaan berjalan kaki masyarakat luar negeri yang diperbandingkan dengan masyarakat Indonesia yang [katanya] anti pedestrian. Pertanyaan penting sebenarnya, apakah tersedia tempat memadai untuk memarkir kendaraan dan trotoar yang cukup aman untuk berjalan kaki di kota-kota yang dipadati kendaraan seperti di Indonesia ini?

Dalam ilmu sosial, fenomena ini dikenal dengan nama inferiority complex−keinginan untuk menjadi seperti negara-negara superior. Akhirnya admin alpa mempertanyakan, apakah memang telah tersedia fasilitas-fasilitas memadai di Indonesia untuk bisa mencontoh kebiasaan membaca tersebut?

Mengharapkan anak-anak kita membaca dan mencintai buku tanpa dukungan fasilitas, hampir mirip dengan keinginan pemerintah menyuruh masyarakat miskin kota untuk berhenti meminta-minta di jalan tapi tak menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka. Atau serupa keinginan pemerintah yang memprotes kekumuhan pasar lokal tapi tak menyediakan bangunan layak untuk para pedagang kecil itu. Untuk menginginkan anak-anak kita dekat dengan buku, setidaknya keinginan pertama adalah menyediakan mereka fasilitas-fasilitas yang bisa mendekatkan mereka dengan buku.

Di Finlandia, terdapat program pemerintah yang menyediakan susu dan buku secara gratis kepada para ibu yang baru saja melahirkan. Di Jerman, pemerintah menyediakan dana sebesar €20 juta untuk proses digitalisasi bahan tua dan naskah yang disimpan di Perpustakaan Bayericshe Staatsbiblothek. Di Perancis, saat pemerintahan Louis XI, didirikan perpustakaan yang mewadahi komunitas ilmiah global dengan aset 30 juta item bacaan, termasuk 5.000 manuskrip Yunani. Maka diketiga negara ini, termasuk Jepang yang diceritakan di awal tulisan ini, minat membaca masyarakatnya telah cukup diwadahi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Meski pun tentu saja, kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara-negara yang telah mengalami revolusi industri dan aufklarung sejak bertahun-tahun lamanya tersebut. Namun setidaknya, cukup menjelaskan kepada kita bahwa di beberapa negara, dukungan dan fasilitas terhadap bacaan bukan hal yang muskil ada.

Harapan akan kesadaran untuk rajin membaca secara massif di negara kita, tanpa menghadirkan fasilitas yang memadai adalah sebuah “sesat pikir”. Logika “sesat pikir” digunakan oleh kaum penganut teori kritis atas pembangunan dan globalisasi. Salah satu teori yang dikritisi adalah teori motivasi McClelland—perbedaan negara maju dan negara dunia ketiga adalah perbedaan motivasi dari dalam individu. McClelland menegasikan faktor eksternal seperti struktur dan sistem. Pertanyaan yang dapat menyanggah logika McClelland ini adalah dapatkah seorang petani—yang memiliki motivasi besar menggarap sawah—hidup sejahtera jika ia tak memiliki tanah untuk bersawah?

Berpijak pada logika tersebut, harapan untuk menyadarkan masyarakat agar rajin membaca menjadi berfungsi ketika akses terhadap bacaan mudah didapatkan, termasuk bagi kaum marginal seperti anak-anak terlantar dan pengemis. Kita tidak berharap hanya anak-anak dari orang tua berduit saja bukan yang harusnya dekat dengan buku?

Sayangnya, di negara yang masih memikirkan urusan perut seperti Indonesia, masyarakat mungkin akan lebih memilih untuk memporsir waktunya bekerja tinimbang duduk di perpustakaan. Atau masalah lain yang acapkali terluput, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), masih terdapat 15% masyarakat Indonesia yang buta huruf di negeri ini.

Keinginan untuk membudayakan gerakan membaca memang memiliki akar masalah yang kompleks. Namun, tak kalah penting dari kesemuanya adalah ketersediaan fasilitas untuk membaca.

Meminjam jawaban dari golongan revolusioner, solusi yang ditawarkan memang tidak lagi dapat dicapai melalui sarana parlemen. Cara terbaik [sebagai alternatif] untuk menyelesaikan masalah masyarakat adalah dengan memobilisasi rakyat kaum miskin dan kaum intelektual progresif. Teori kesadaran massif yang datang dari kaum tertindas ini merupakan pula jawaban dari kritik logika “sesat pikir” yang disuguhkan oleh penganut teori kritis.

Sejak bertahun-tahun silam, solusi tersebut telah ditanam oleh para mahasiswa & budayawan di berbagai titik di Makassar. Solusi ini sekaligus menjadi antitesis atas pembingkaian media terhadap Makassar sebagai kota keras nan kasar, terutama ulah mahasiswanya.

Kata Kerja, Rumah Baca Philosophia, Kampung Buku dan Kedai Buku Jenny adalah empat dari sekian banyak rumah baca yang memanjakan masyarakat Kota Daeng ini dengan berbagai macam bacaan. Di Kampung Buku misalnya, mulai dari bacaan yang dianggap berat untuk mahasiswa hingga komik untuk anak-anak tersedia di rumah sederhana yang terletak di perumahan CV Dewi ini. Masyarakat cukup menyediakan diri dan waktu untuk datang ke sana membaca sepuas-puasnya. Semua buku dapat dibaca gratis, bahkan beberapa dapat dipinjam-baca pulang ke rumah.

Atau sesekali, cobalah berkunjung ke Rumah Baca Philosophia. Di rumah yang beralamat di Jalan Toddopuli XI nomor 4 ini, bukan hanya disediakan buku-buku tapi diskusi rutin diadakan di sana. Mereka, para penjaga surga-surga kecil di Makassar itu, akan menemani kita merawat semangat pengetahuan lewat bacaan dan diskusi.

Meminjam istilah Mei (2014) dalam tulisannya “To Create a Happy Reading at Library” yang diterbitkan Springer Economics Journal, mereka yang telah mewaqafkan diri membangun rumah baca adalah para pembangun “heaven on earth”. Kaum intelektual progresif ini adalah orang-orang yang setia berkhidmat, meski jauh dari gegap-gempita, puja dan hormat. Mereka sungguh jauh dari hiruk-pikuk popularitas, terus saja bekerja dengan menyediakan buku-buku demi merawat semangat membaca masyarakat Makassar.

Tulisan ini adalah salah satu bentuk pemuliaan saya kepada mereka. Selamat Hari Aksara Internasional dan teruslah merawat aksara!

Rubrik Opini, Koran Fajar (Senin, 08 September 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar