I have always imagined that paradise will be a kind of library. (Jorge Luis Borges)
Seorang
admin dalam sebuah situs yang diberi nama “Kehidupan di Jepang” membagikan
sebuah video seorang bocah laki-laki yang sedang asyik membaca di sebuah
perpustakaan. Dengan tutur bersemangat, diceritakan bagaimana kehidupan di
Jepang menuntunnya gemar membaca. Hal ini dibuktikan lewat cerita kunjungannya
ke perpustakaan bertepatan dengan hari libur. Tulisan kemudian ditutup dengan
kalimat: “semoga anak2[-anak] di Indonesia juga bisa mencontoh kebiasaan
membaca di sini [Jepang] untuk bangsa yang lebih maju karena buku adalah
jendela dunia.”
Demikianlah
sebuah harapan yang menggambarkan dominasi tanggapan masyarakat kita saat
berkunjung ke luar negeri. Sesering kita membaca atau melihat foto kendaraan
terparkir rapi di luar negeri yang dibagikan lewat media sosial. Seolah ingin
berkata “lihat nih kesadaran masyarakat luar negeri!” Atau misalnya lagi tentang
kebiasaan berjalan kaki masyarakat luar negeri yang diperbandingkan dengan
masyarakat Indonesia yang [katanya] anti pedestrian. Pertanyaan penting
sebenarnya, apakah tersedia tempat memadai untuk memarkir kendaraan dan trotoar
yang cukup aman untuk berjalan kaki di kota-kota yang dipadati kendaraan
seperti di Indonesia ini?
Dalam
ilmu sosial, fenomena ini dikenal dengan nama inferiority complex−keinginan untuk menjadi seperti negara-negara
superior. Akhirnya admin alpa mempertanyakan, apakah memang telah tersedia
fasilitas-fasilitas memadai di Indonesia untuk bisa mencontoh kebiasaan membaca
tersebut?
Mengharapkan
anak-anak kita membaca dan mencintai buku tanpa dukungan fasilitas, hampir
mirip dengan keinginan pemerintah menyuruh masyarakat miskin kota untuk
berhenti meminta-minta di jalan tapi tak menyediakan lapangan pekerjaan yang
layak bagi mereka. Atau serupa keinginan pemerintah yang memprotes kekumuhan
pasar lokal tapi tak menyediakan bangunan layak untuk para pedagang kecil itu.
Untuk menginginkan anak-anak kita dekat dengan buku, setidaknya keinginan
pertama adalah menyediakan mereka fasilitas-fasilitas yang bisa mendekatkan
mereka dengan buku.
Di
Finlandia, terdapat program pemerintah yang menyediakan susu dan buku secara
gratis kepada para ibu yang baru saja melahirkan. Di Jerman, pemerintah
menyediakan dana sebesar €20 juta untuk proses digitalisasi bahan tua dan
naskah yang disimpan di Perpustakaan Bayericshe
Staatsbiblothek. Di Perancis, saat pemerintahan Louis XI, didirikan
perpustakaan yang mewadahi komunitas ilmiah global dengan aset 30 juta item
bacaan, termasuk 5.000 manuskrip Yunani. Maka diketiga negara ini, termasuk
Jepang yang diceritakan di awal tulisan ini, minat membaca masyarakatnya telah
cukup diwadahi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Meski pun tentu saja, kita
tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara-negara yang telah mengalami
revolusi industri dan aufklarung
sejak bertahun-tahun lamanya tersebut. Namun setidaknya, cukup menjelaskan
kepada kita bahwa di beberapa negara, dukungan dan fasilitas terhadap bacaan
bukan hal yang muskil ada.
Harapan
akan kesadaran untuk rajin membaca secara massif di negara kita, tanpa
menghadirkan fasilitas yang memadai adalah sebuah “sesat pikir”. Logika “sesat
pikir” digunakan oleh kaum penganut teori kritis atas pembangunan dan
globalisasi. Salah satu teori yang dikritisi adalah teori motivasi
McClelland—perbedaan negara maju dan negara dunia ketiga adalah perbedaan
motivasi dari dalam individu. McClelland menegasikan faktor eksternal seperti
struktur dan sistem. Pertanyaan yang dapat menyanggah logika McClelland ini
adalah dapatkah seorang petani—yang memiliki motivasi besar menggarap
sawah—hidup sejahtera jika ia tak memiliki tanah untuk bersawah?
Berpijak
pada logika tersebut, harapan untuk menyadarkan masyarakat agar rajin membaca
menjadi berfungsi ketika akses terhadap bacaan mudah didapatkan, termasuk bagi
kaum marginal seperti anak-anak terlantar dan pengemis. Kita tidak berharap
hanya anak-anak dari orang tua berduit saja bukan yang harusnya dekat dengan
buku?
Sayangnya,
di negara yang masih memikirkan urusan perut seperti Indonesia, masyarakat
mungkin akan lebih memilih untuk memporsir waktunya bekerja tinimbang duduk di
perpustakaan. Atau masalah lain yang acapkali terluput, berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (2013), masih terdapat 15% masyarakat Indonesia yang buta huruf
di negeri ini.
Keinginan
untuk membudayakan gerakan membaca memang memiliki akar masalah yang kompleks.
Namun, tak kalah penting dari kesemuanya adalah ketersediaan fasilitas untuk
membaca.
Meminjam
jawaban dari golongan revolusioner, solusi yang ditawarkan memang tidak lagi
dapat dicapai melalui sarana parlemen. Cara terbaik [sebagai alternatif] untuk
menyelesaikan masalah masyarakat adalah dengan memobilisasi rakyat kaum miskin
dan kaum intelektual progresif. Teori kesadaran massif yang datang dari kaum
tertindas ini merupakan pula jawaban dari kritik logika “sesat pikir” yang
disuguhkan oleh penganut teori kritis.
Sejak
bertahun-tahun silam, solusi tersebut telah ditanam oleh para mahasiswa &
budayawan di berbagai titik di Makassar. Solusi ini sekaligus menjadi antitesis
atas pembingkaian media terhadap Makassar sebagai kota keras nan kasar,
terutama ulah mahasiswanya.
Kata
Kerja, Rumah Baca Philosophia, Kampung Buku dan Kedai Buku Jenny adalah empat
dari sekian banyak rumah baca yang memanjakan masyarakat Kota Daeng ini dengan
berbagai macam bacaan. Di Kampung Buku misalnya, mulai dari bacaan yang
dianggap berat untuk mahasiswa hingga komik untuk anak-anak tersedia di rumah
sederhana yang terletak di perumahan CV Dewi ini. Masyarakat cukup menyediakan
diri dan waktu untuk datang ke sana membaca sepuas-puasnya. Semua buku dapat
dibaca gratis, bahkan beberapa dapat dipinjam-baca pulang ke rumah.
Atau
sesekali, cobalah berkunjung ke Rumah Baca Philosophia. Di rumah yang beralamat
di Jalan Toddopuli XI nomor 4 ini, bukan hanya disediakan buku-buku tapi
diskusi rutin diadakan di sana. Mereka, para penjaga surga-surga kecil di
Makassar itu, akan menemani kita merawat semangat pengetahuan lewat bacaan dan
diskusi.
Meminjam
istilah Mei (2014) dalam tulisannya “To
Create a Happy Reading at Library” yang diterbitkan Springer Economics Journal, mereka yang telah mewaqafkan diri
membangun rumah baca adalah para pembangun “heaven
on earth”. Kaum intelektual progresif ini adalah orang-orang yang setia
berkhidmat, meski jauh dari gegap-gempita, puja dan hormat. Mereka sungguh jauh
dari hiruk-pikuk popularitas, terus saja bekerja dengan menyediakan buku-buku
demi merawat semangat membaca masyarakat Makassar.
Tulisan
ini adalah salah satu bentuk pemuliaan saya kepada mereka. Selamat Hari Aksara
Internasional dan teruslah merawat aksara!
Rubrik Opini, Koran Fajar (Senin, 08
September 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar