Namanya Dani Quinn. Gadis ini masih saja cantik.
Berat badannya pun masih sama dengan sepuluh tahun silam. Ia tengah menghadiri
reuni SMA-nya. Reuni yang-seperti ia duga sebelumnya-mempertemukannya dengan
pria pertama dan satu-satunya yang ia cintai, Logan Webster.
Reuni malam itu tak hanya membawa keduanya pada
kisah nostalgia romantika silam. Siapa menyangka, mereka berkesempatan
meluruskan perkara yang serupa benang kusut yang pernah terjadi di antara
keduanya.
Sepuluh tahun silam, Dani meninggalkan Logan tanpa
penjelasan, saat cinta keduanya sedang mekar-mekarnya. Dan saat reuni itulah,
cerita mereka kembali dimulai.
***
Potongan kisah di atas berasal dari sebuah novel
terjemahan berjudul “Reuni”. Novel yang terbit persis di tanggal yang sama
dengan tanggal kelahiran saya namun dalam tahun berbeda (1984) tersebut adalah
karya salah seorang pemenang New York Times Bestselling Author. Dengan
judul asli, “In A Class by Itself” , si penulis, Sandra Brown memulai
ceritanya dari kegiatan reuni SMA. Sebuah agenda tahunan yang jamak dilakukan
masyarakat yang pernah bergabung dalam institusi formal bernama sekolah.
Seorang ahli Etnografi & Komunikasi bernama
Amalia Maulana menjelaskan bahwa agenda tahunan berupa reuni mampu merekatkan
kembali tali persahabatan. Penelitian yang dilakukan tim dari Brigham Young University & University of
North California pernah mengungkap bahwa ada hubungan antara kematian &
kesepian. Dari data 148 penelitian selama tiga dekade yang melibatkan 300.000
orang tersebut, disimpulkan bahwa dikelilingi banyak teman & saudara
kemungkinannya akan mengurangi risiko kematian 50 persen. Dari hasil penelitian
tersebut, Amalia lalu mengaitkan reuni sebagai kegiatan yang bisa membuat orang
berumur panjang karena dikelilingi banyak teman.
Awalnya, reuni merupakan kegiatan yang ramai kita
lakukan untuk melepas rindu dan menjalin kembali persahabatan. Namun kini,
kadang−atau lebih sering?−cerita perihal reuni hadir dalam wajah yang berbeda
dari cerita antara Dani & Logan dalam cuplikan singkat novel di awal
tulisan ini. Juga, reuni kadang memiliki dampak bertolak belakang dari
kesimpulan yang dibuat Amalia tadi.
***
Wajah berbeda tersebut saya jumpai saat suatu hari
selepas berlebaran di kampung halaman, saya bertemu dengan seorang kawan semasa
MTs−setara SMP. Padanya saya bertanya kabar seorang teman lama. Lalu dengan
nada prihatin dia katakan, “oh si dia, masih ada kok, sering saya berjumpa. Saya pernah mengajaknya kalau ada acara ngumpul.
Tapi dia menolak, katanya dia malu. Saat yang lain akan berbicara sekolah &
pekerjaan, dia tidak tahu mau bicara apa.” Pasalnya, dia tidak melanjutkan
sekolahnya lagi selepas SMA.
Wajah berbeda selanjutnya dilukiskan dengan narasi
curhatan oleh seseorang dalam situs kaskus dengan judul "Tak Kuhadiri
Reuni Sebab Aku Miskin”. Si penulis mengisahkan pernah mengajak kawannya yang
berprofesi sebagai tukang becak ke sebuah reuni. Sang kawan pun menolak
menghadiri undangan reuni di sebuah hotel berbintang tersebut. Ketimbang
menghadiri acara reuni yang membuatnya asing dengan kawan-kawannya yang berjas
dan berpakaian mewah, ia memilih mengayuh becak untuk membawa pulang uang makan
bagi anak-istrinya.
Dalam dua cerita tersebut, reuni telah berubah
wajah menjadi momok yang menakutkan untuk orang-orang tertentu. Reuni membuat
si tukang becak justru menjauh dari kawan-kawan lamanya. Kekhawatiran yang
muncul jika ditanya dengan rentetan pertanyaan tentang pekerjaan dan pendidikan
ketimbang memperbincangkan cerita-cerita yang akan membangun kembali
persahabatan.
Reuni, sebuah ajang temu yang di dalamnya kasta
menjadi kian jelas. Reuni pun tak luput oleh perbincangan yang mengamini sebuah
profesi yang lebih tinggi, sementara profesi lain yang lebih rendah. Sebuah
ajang yang di dalamnya tak lepas dari bangunan konstruksi sosial.
Pasca hari raya ini, begitu banyak undangan reuni
datang. Kita turut hadir, berjumpa dengan kawan-kawan lama. Atas nama rindu
& hendak menjalin silaturahmi kita pun hadir. Namun lebih sering yang
dibicarakan adalah kesuksesan satu, dua atau beberapa orang di antara kita.
Pamer berbalutkan silaturahmi.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 22
Agustus 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar