Sabtu, 20 September 2014

Menjadi Perempuan




Bagaimana seharusnya perempuan berlaku untuk menjadi sebenar-benarnya manusia? Ini adalah pertanyaan sama dari setiap zaman dengan pelbagai jawaban & sudut pandang berupa-rupa. Sehingga, sejak zaman asali hingga kini, menjadi perempuan seutuhnya terdefenisikan dalam makna & pemahaman yang berbeda-beda pula.

Perempuan pertama yang dicipta, Hawa, memiliki indikator kebaikan yang berbeda dengan perempuan yang lahir setelahnya. Sebab masa itu tempat ia berkhidmat hanya kepada suaminya, menyusul anak-anaknya. Indikator kebaikan Hawa diukur dari seberapa mampu ia memuliakan Adam.

Lain Hawa, lain Malahayati. Sosok Panglima Perang dari Aceh yang namanya tenggelam oleh ketenaran Cut Nyak Dien dan R.A.Kartini ini mampu meruntuhkan paradigma di zamannya bahwa perempuan hanya tahu melulu soal dapur dan kamar tidur. Ketangguhannya memimpin dua ribu janda-janda pahlawan melawan Belanda dan membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran di geladak kapal menyebabkan ia diberi gelar Laksamana.

Lain lagi cerita tentang Asiyah, satu dari empat perempuan yang dalam beberapa riwayat telah memiliki rumah di Surga. Kecintaan kepada Tuhannya memampukan ia melawan kedzaliman suaminya, Raja Fir’aun. Penuh bahagia ia tersakiti hingga terbunuh di tangan suaminya sendiri dalam balutan cinta demi untuk menemui Tuhannya.

Tiga sosok tersebut memiliki objek pengabdian yang berbeda. Sosok Hawa mengabdi kepada Adam, kekasih langsung dari Tuhannya. Malahayati menjadi pejuang bagi daerah dan negaranya. Sementara Asiyah menjadikan kecintaannya kepada Tuhan sebagai sebab menjadi pemberontak di mata suaminya.

Tiga bentuk pengabdian tersebut adalah tiga teladan yang barangkali membingungkan. Kebingungan untuk menjadi seutuhnya perempuan sebagai istri, ataukah menjadi perempuan yang mengatualkan diri di masyarakat.

Kebingungan ini pernah ditulis oleh Tagore, seorang penulis besar sekaligus pemimpin gerakan nasionalis di India, dalam sebuah novel yang ditokohi oleh perempuan bernama Bimala. Berlatar tempat di Benggala, Tagore menceritakan metamorfosis Bimala sebagai seorang wanita yang taat pada segala adat hingga menjadi wanita bebas dari kungkungan rumah suaminya.

Sebelum zaman Swadeshi tiba di Benggala, Bimala adalah istri yang setia memasang tanda merah di kening & setiap pagi mengusap debu di kaki suaminya sebagai simbol pengabdian. Namun zaman berubah. Bimala menjadi pejuang Swadeshi−gerakan memboikot barang-barang produksi Inggris untuk mengembangkan industri & kerajinan dalam negeri sendiri.

Bagi Bimala, untuk dapat merdeka, negara harus menghasilkan dan memproduksi di negeranya sendiri. Negara lain yang pernah menempuh strategi yang sama adalah Kuba, yang terpaksa menghasilkan pangan sendiri akibat diembargo Amerika. Namun justru karena keadaan tersebut, Kuba kini menjadi salah satu negeri yang makmur dari segi pangan.

Sayangnya, bagi suami Bimala, Nikhil, gerakan semacam itu hanyalah semata gerakan politis yang  merugikan rakyat kaum miskin. Pemboikotan barang-barang Inggris yang murah akan mendorong pertumbuhan barang-barang India yang tak hanya mahal, tapi juga berkualitas buruk. Belum lagi, Nikhil mendapati adanya oknum yang melakukan pemaksaan dan perampasan terhadap masyarakat India sendiri, atas nama Swadeshi.

Perbedaan pemikiran yang mencuat akhirnya mampu melunturkan kesetiaan Bimala pada Nikhil. Perbedaan diperparah dengan latar belakang Bimala sebagai wanita kampung & Nikhil yang menyelesaikan B.A. dan M.A-nya di Kalkutta sehingga tak jarang keduanya menuai adu dan cekcok.

Pada akhirnya, Bimala mengalami pendegradasian eksistensi sebagai seorang wanita yang patuh pada suaminya. Hingga ia kebingungan hendak mengabdi kepada siapa, suami ataukah negaranya? Inilah yang melatari Tagore menulis novel ini dengan judul “Rumah dan Dunia”. Rumah sebagai simbol pengabdian seorang wanita kepada suaminya, sementara dunia sebagai simbol pengabdian wanita menjadi milik negara dan semesta, membela masyarakatnya.


Adalah pilihan, perempuan hendak mengaktualisasikan diri di jalan kebaikan yang mana. Ada banyak jalan menyempurna dan berproses menjadi perempuan seutuhnya (Q.S. 16: 97). Asal tak abai saja pada tiga kewajiban utama: menjadi sebaik-baik putri bagi keluarga, sebaik-baik wanita bagi suami, dan sebaik-baik ibu bagi anak-anak. Sebab perempuan, kata kawan saya, sesungguhnya menjunjung separuh langit.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 19 September 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar