Bagaimana
seharusnya perempuan berlaku untuk menjadi sebenar-benarnya manusia? Ini adalah
pertanyaan sama dari setiap zaman dengan pelbagai jawaban & sudut pandang
berupa-rupa. Sehingga, sejak zaman asali hingga kini, menjadi perempuan
seutuhnya terdefenisikan dalam makna & pemahaman yang berbeda-beda pula.
Perempuan
pertama yang dicipta, Hawa, memiliki indikator kebaikan yang berbeda dengan
perempuan yang lahir setelahnya. Sebab masa itu tempat ia berkhidmat hanya
kepada suaminya, menyusul anak-anaknya. Indikator kebaikan Hawa diukur dari
seberapa mampu ia memuliakan Adam.
Lain
Hawa, lain Malahayati. Sosok Panglima Perang dari Aceh yang namanya tenggelam
oleh ketenaran Cut Nyak Dien dan R.A.Kartini ini mampu meruntuhkan paradigma di
zamannya bahwa perempuan hanya tahu melulu soal dapur dan kamar tidur.
Ketangguhannya memimpin dua ribu janda-janda pahlawan melawan Belanda dan
membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran di geladak kapal menyebabkan ia
diberi gelar Laksamana.
Lain
lagi cerita tentang Asiyah, satu dari empat perempuan yang dalam beberapa
riwayat telah memiliki rumah di Surga. Kecintaan kepada Tuhannya memampukan ia
melawan kedzaliman suaminya, Raja Fir’aun. Penuh bahagia ia tersakiti hingga terbunuh
di tangan suaminya sendiri dalam balutan cinta demi untuk menemui Tuhannya.
Tiga
sosok tersebut memiliki objek pengabdian yang berbeda. Sosok Hawa mengabdi
kepada Adam, kekasih langsung dari Tuhannya. Malahayati menjadi pejuang bagi
daerah dan negaranya. Sementara Asiyah menjadikan kecintaannya kepada Tuhan
sebagai sebab menjadi pemberontak di mata suaminya.
Tiga bentuk pengabdian tersebut adalah tiga teladan yang barangkali membingungkan. Kebingungan untuk menjadi seutuhnya perempuan sebagai istri, ataukah menjadi perempuan yang mengatualkan diri di masyarakat.
Kebingungan
ini pernah ditulis oleh Tagore, seorang penulis besar sekaligus pemimpin
gerakan nasionalis di India, dalam sebuah novel yang ditokohi oleh perempuan
bernama Bimala. Berlatar tempat di Benggala, Tagore menceritakan metamorfosis
Bimala sebagai seorang wanita yang taat pada segala adat hingga menjadi wanita
bebas dari kungkungan rumah suaminya.
Sebelum
zaman Swadeshi tiba di Benggala, Bimala adalah istri yang setia memasang tanda
merah di kening & setiap pagi mengusap debu di kaki suaminya sebagai simbol
pengabdian. Namun zaman berubah. Bimala menjadi pejuang Swadeshi−gerakan
memboikot barang-barang produksi Inggris untuk mengembangkan industri &
kerajinan dalam negeri sendiri.
Bagi
Bimala, untuk dapat merdeka, negara harus menghasilkan dan memproduksi di
negeranya sendiri. Negara lain yang pernah menempuh strategi yang sama adalah
Kuba, yang terpaksa menghasilkan pangan sendiri akibat diembargo Amerika. Namun
justru karena keadaan tersebut, Kuba kini menjadi salah satu negeri yang makmur
dari segi pangan.
Sayangnya,
bagi suami Bimala, Nikhil, gerakan semacam itu hanyalah semata gerakan politis
yang merugikan rakyat kaum miskin. Pemboikotan barang-barang Inggris yang
murah akan mendorong pertumbuhan barang-barang India yang tak hanya mahal, tapi
juga berkualitas buruk. Belum lagi, Nikhil mendapati adanya oknum yang
melakukan pemaksaan dan perampasan terhadap masyarakat India sendiri, atas nama
Swadeshi.
Perbedaan
pemikiran yang mencuat akhirnya mampu melunturkan kesetiaan Bimala pada Nikhil.
Perbedaan diperparah dengan latar belakang Bimala sebagai wanita kampung &
Nikhil yang menyelesaikan B.A. dan M.A-nya di Kalkutta sehingga tak jarang
keduanya menuai adu dan cekcok.
Pada
akhirnya, Bimala mengalami pendegradasian eksistensi sebagai seorang wanita
yang patuh pada suaminya. Hingga ia kebingungan hendak mengabdi kepada siapa,
suami ataukah negaranya? Inilah yang melatari Tagore menulis novel ini dengan
judul “Rumah dan Dunia”. Rumah sebagai simbol pengabdian seorang wanita kepada
suaminya, sementara dunia sebagai simbol pengabdian wanita menjadi milik negara
dan semesta, membela masyarakatnya.
Adalah
pilihan, perempuan hendak mengaktualisasikan diri di jalan kebaikan yang mana.
Ada banyak jalan menyempurna dan berproses menjadi perempuan seutuhnya (Q.S.
16: 97). Asal tak abai saja pada tiga kewajiban utama: menjadi sebaik-baik
putri bagi keluarga, sebaik-baik wanita bagi suami, dan sebaik-baik ibu bagi
anak-anak. Sebab perempuan, kata kawan saya, sesungguhnya menjunjung separuh
langit.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Jumat, 19 September 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar