Sabtu, 19 Juli 2014

Klarifikasi Niat



 
Bertutur perkara niat ialah sesuatu yang sungguh dekat dengan subjektifitas. Setiap gerak manusia, baik pergerakan fisik maupun maknawi—yang dalam bahasa agama saya diistilahkan jihad—pada mulanya digerakkan oleh sebuah dorongan dari individu masing-masing. Mula dari suatu gerak yang sama, bisa saja dengan muara yang berbeda.

Ada banyak kisah dalam rentetan shirah perjalanan spiritiual orang-orang terdahulu. Semasa kanak, guru agama di sekolah saya pernah bertutur kisah tentang dua orang yang memiliki perangai terbalik misalnya. Si A dengan sifat-sifat terpujinya, dan si B dengan sifat-sifat tercelanya. Selama hidup keduanya, secara konsisten menjalankan rutinitas sesuai dengan laku masing-masing.

Hingga pada klimaks cerita, terjadi perubahan telak dari keduanya. Saat si A yang saleh tiba-tiba berbelok arah, hendak melakukan perbuatan maksiat. Demikian pula si B yang akan segera bertobat. Keduanya telah meniatkan perbuatan masing-masing.

Namun, belum sempat merealisasikan niat tersebut, keduanya meninggal dalam perjalanan. Guru saya menutup ceritanya dengan menyimpulkan bahwa si A akhirnya masuk neraka karena telah tebersit niat berbuat maksiat meski pun belum dilaksanakan, demikian halnya dengan si B yang akan masuk surga karena niat pertobatannya.

Cerita tersebut cukup membuat saya paham di masa itu, betapa niat begitu urgen diposisikan dalam sebuah ritus sehari-hari. Setitik kebaikan akan menjadi berbeda nilainya dengan titik mula yang berbeda pula. Hal ini kiranya sebahasa dengan wejangan kakak saya: perbuatan baik haruslah ditempuh dengan cara dan niat yang baik pula.

***

Jamak kita temukan sebuah kalimat, setiap amal tergantung niatnya. Meski pun beberapa orang memaknainya berbeda dan tak jarang saling menuduh bahwa pihak lainlah yang memaknainya secara bias. Kita memang telah terlanjur terbiasa bukan, merasa benar di antara yang lain—kadang ngotot dan bertahan dengan pikiran tertutup—saat berada di antara keberagaman?

Ada banyak orang yang jika ditanya, mengapa ia makan, jawabannya karena ingin beraktivitas, bukan karena ia lapar. Demikian halnya, jika ditanya mengapa belajar. Jawabannya karena ingin mendapat ijazah, bukan karena ingin menambah ilmu & pengetahuan. Maka jangan heran, jika ada sebuah lembaga atau pun institusi pendidikan yang bersedia menjual ijazah. Ini dalam rangka memenuhi niat orang-orang yang belajar untuk mendapat ijazah.

***

Dalam kisah yang lain, pada suatu waktu, tatkala Amirul Mukminin Ali bin abi Thalib as akan memenggal kepala musuh pada suatu perang. Tetiba musuh itu meludahi wajah Ali bin abi Thalib. Tebersit sedikit rasa marah dalam diri beliau. Ali segera bangkit dan berjalan beberapa langkah lantas mendekati musuh.

Si musuh bertanya, “apa yang engkau lakukan? Jika engkau hendak membunuhku, kenapa tidak dari tadi saja?” Ali as berkata, “engkau telah meludahi wajahku, dan aku merasa marah. Aku khawatir kemarahan itu akan merusak niat suciku, dan aku tidak ingin terdapat cacat walau sekecil apa pun dalam jihadku ini.”

Ali bin Abi Thalib berkesempatan untuk membunuh musuh tapi tidak diwujudkannya. Musabab ketakutan beliau membunuh itu bukan karena Allah tapi karena marah musuhnya tersebut telah menghina dirinya.

***

Perkara niat, selain kita perlu mereklasifikasi tujuan dalam melaksanakan sebuah ritus—terkhusus di bulan Ramadhan ini—kita pun perlu menjaga & merawatnya sedemikian rupa. Ada banyak niat yang layu sebelum sampai pada akhir Ramadhan ini. Terbukti dengan semakin menipisnya jamaah Shalat Tarwih di mesjid-mesjid, berkebalikan dengan semakin bertambahnya tanggal di bulan Ramadhan.

Lantas, apa sebenarnya yang kita niatkan untuk segala ritual di bulan Ramadhan ini? Benarkah kita menginginkan perjalanan untuk mendekati Tuhan, jika semakin hari ritual kita kian menggambarkan kerenggangan dengan-Nya? Sekali lagi, jawaban ini sungguh subjektif—ada untuk kita tanyakan pada diri masing-masing.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 18 Juli 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar