Bertutur perkara niat ialah sesuatu
yang sungguh dekat dengan subjektifitas. Setiap gerak manusia, baik pergerakan
fisik maupun maknawi—yang dalam bahasa agama saya diistilahkan jihad—pada
mulanya digerakkan oleh sebuah dorongan dari individu masing-masing. Mula dari
suatu gerak yang sama, bisa saja dengan muara yang berbeda.
Ada banyak kisah dalam rentetan shirah
perjalanan spiritiual orang-orang terdahulu. Semasa kanak, guru agama di
sekolah saya pernah bertutur kisah tentang dua orang yang memiliki perangai terbalik
misalnya. Si A dengan sifat-sifat terpujinya, dan si B dengan sifat-sifat
tercelanya. Selama hidup keduanya, secara konsisten menjalankan rutinitas
sesuai dengan laku masing-masing.
Hingga pada klimaks cerita, terjadi
perubahan telak dari keduanya. Saat si A yang saleh tiba-tiba berbelok arah,
hendak melakukan perbuatan maksiat. Demikian pula si B yang akan segera
bertobat. Keduanya telah meniatkan perbuatan masing-masing.
Namun, belum sempat merealisasikan niat
tersebut, keduanya meninggal dalam perjalanan. Guru saya menutup ceritanya
dengan menyimpulkan bahwa si A akhirnya masuk neraka karena telah tebersit niat
berbuat maksiat meski pun belum dilaksanakan, demikian halnya dengan si B yang
akan masuk surga karena niat pertobatannya.
Cerita tersebut cukup membuat saya
paham di masa itu, betapa niat begitu urgen diposisikan dalam sebuah ritus
sehari-hari. Setitik kebaikan akan menjadi berbeda nilainya dengan titik mula
yang berbeda pula. Hal ini kiranya sebahasa dengan wejangan kakak saya: perbuatan
baik haruslah ditempuh dengan cara dan niat yang baik pula.
***
Jamak kita temukan sebuah kalimat,
setiap amal tergantung niatnya. Meski pun beberapa orang memaknainya berbeda
dan tak jarang saling menuduh bahwa pihak lainlah yang memaknainya secara bias.
Kita memang telah terlanjur terbiasa bukan, merasa benar di antara yang
lain—kadang ngotot dan bertahan dengan pikiran tertutup—saat berada di antara
keberagaman?
Ada banyak orang yang jika ditanya,
mengapa ia makan, jawabannya karena ingin beraktivitas, bukan karena ia lapar.
Demikian halnya, jika ditanya mengapa belajar. Jawabannya karena ingin mendapat
ijazah, bukan karena ingin menambah ilmu & pengetahuan. Maka jangan heran,
jika ada sebuah lembaga atau pun institusi pendidikan yang bersedia menjual
ijazah. Ini dalam rangka memenuhi niat orang-orang yang belajar untuk mendapat
ijazah.
***
Dalam kisah yang lain, pada suatu
waktu, tatkala Amirul Mukminin Ali bin abi Thalib as akan memenggal kepala
musuh pada suatu perang. Tetiba musuh itu meludahi wajah Ali bin abi Thalib.
Tebersit sedikit rasa marah dalam diri beliau. Ali segera bangkit dan berjalan
beberapa langkah lantas mendekati musuh.
Si musuh bertanya, “apa yang engkau
lakukan? Jika engkau hendak membunuhku, kenapa tidak dari tadi saja?” Ali as
berkata, “engkau telah meludahi wajahku, dan aku merasa marah. Aku khawatir
kemarahan itu akan merusak niat suciku, dan aku tidak ingin terdapat cacat
walau sekecil apa pun dalam jihadku ini.”
Ali bin Abi Thalib
berkesempatan untuk membunuh musuh tapi tidak diwujudkannya. Musabab ketakutan
beliau membunuh itu bukan karena Allah tapi karena marah musuhnya tersebut
telah menghina dirinya.
***
Perkara niat, selain kita
perlu mereklasifikasi tujuan dalam melaksanakan sebuah ritus—terkhusus di bulan
Ramadhan ini—kita pun perlu menjaga & merawatnya sedemikian rupa. Ada
banyak niat yang layu sebelum sampai pada akhir Ramadhan ini. Terbukti dengan
semakin menipisnya jamaah Shalat Tarwih di mesjid-mesjid, berkebalikan dengan
semakin bertambahnya tanggal di bulan Ramadhan.
Lantas, apa sebenarnya yang
kita niatkan untuk segala ritual di bulan Ramadhan ini? Benarkah kita
menginginkan perjalanan untuk mendekati Tuhan, jika semakin hari ritual kita
kian menggambarkan kerenggangan dengan-Nya? Sekali lagi, jawaban ini sungguh
subjektif—ada untuk kita tanyakan pada diri masing-masing.
Rubrik Literasi, Koran Tempo
Makassar (Jumat, 18 Juli 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar