Sabtu, 28 Juni 2014

Kampanye Menunjuk Diri Sendiri




Di tengah cuaca kampanye capres belakangan ini, kebisingan para simpatisan yang saling menghujat seolah menjadi hujan tak terbendung, membanjiri informasi di berbagai media. Berita yang tindih-menindih antar dua kubu tak dapat dihindarkan. Di dunia maya, berita tentang kelebihan salah satu capres yang kemudian disandingkan dengan keburukan capres lainnya pun kian mengalir.

Ada banyak yang patut disesalkan dari sikap fanatisme tersebut. Saya bukan orang yang ahli dalam politik, tapi saya selalu mengingat wejangan kakak saya, “kurang bijak meninggikan diri sendiri dengan menginjak kepala orang lain.” Entah, apakah mungkin wejangan ini tidak berguna dalam arena perpolitikan kita. Bisa jadi ya, kalau kita sudah terlanjur sepakat, orang bijak terlalu sulit kita temui di arena persalinan manusia-manusia pembuat dan pengambil kebijakan tersebut.

Mental para pendukung yang senang mengungkap keburukan rival ketimbang menunjukkan kebaikan calon yang didukung, setidaknya cukup membuat kita bertanya, “apakah kebaikan calon yang diusung telah habis untuk dipublikasikan hingga harus mengungkit keburukan rival untuk menaikkan pamor calon dukungannya?”

Barangkali, inilah wajah-wajah kita. Senang mencari-cari keburukan orang lain lantas alpa dan tutup telinga melihat keburukan diri sendiri. Hampir mirip dengan orang-orang yang meneriakkan “black campaign”.

Berteriak-teriak di dunia maya menolak kubu berseberangan yang terang-terangan mengangkat isu SARA. Mengkritik kampanye yang menyudutkan etnis, agama dan golongan tertentu dengan “black campaign” namun tanpa sadar bahwa diri sendiri telah melakukan penyinggungan terhadap kelompok tertentu. Pertanyaannya adalah kenapa hitam selalu dikonotasikan dengan yang sesuatu yang buruk?

Penggunaan kata black tentu tidak terlepas dari sejarah panjang pembentuknya. Sebagaimana kata Derrida, kita hidup terbenam dalam bahasa. Pembentukan istilah black campaign jelas punya sejarahnya sendiri.

Peggy McIntosh, seorang kulit putih aktivis anti rasisme Amerika Serikat, dalam tulisannya yang berjudul White Privilage: Unpacking the Invisible Knapsack, cukup merincikan kepada kita 26 daftar bagaimana orang kulit putih Amerika Serikat mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena warna kulit mereka—sesuatu yang tentu saja tidak bisa dipilih ketika kita dilahirkan. Orang-orang berkulit putih selalu ditonjolkan dan diidentikkan dengan sesuatu yang baik, berprestasi, dan ideal.

Hal ini membawa industri, politik, pendidikan dan semua sistem serta pranata sosial yang ada di sana tidak berpihak kepada mereka yang berkulit hitam. Maka di Amerika Serikat, istilah black dalam mindset dan sistem sosial budayanya hampir semua bermakna negatif, demikian penjelasan Peggy McIntosh dalam tulisannya.

Tulisan tersebut akhirnya memaksa saya mengingat pula bacaan lama yang berjudul The Codex. Sebuah novel yang ditulis oleh Rizky Ridyasmara yang menceritakan agenda tersembunyi pemusnahan manusia. Dalam pendahuluannya, Rizky mengungkapkan bahwa meski pun merupakan karya fiksi, data yang dimilikinya didapatkan melalui riset mendalam dan telah dikaji bersama beberapa aktivis HAM dan anti rasis.

Salah satu program yang diusung oleh negara adikuasa adalah depopulation program—penghancuran ras manusia berkulit hitam karena mereka yang berkulit putih merasa lebih pantas untuk hidup di bumi ini. Program tersebut ditempuh salah satunya melalui pelabelan sesuatu yang buruk dengan kata “black”.

Anehnya, secara latah kita mengikuti analog serupa. Justifikasi sosial kita sepakati dengan mengidentikkan hal-hal yang baik dan ideal dengan putih, sementara hitam kita asosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti perdagangan gelap, ilmu hitam, dan tentu saja—kampanye hitam. Dan saat ini, istilah “black campaign” dengan mudah kita temui berceceran di mana-mana saat membuka media sosial.

Kalau kita telah sepakat mengistilahkan tindakan mencari keburukan calon dengan ‘negative campaign’—dan masih kita anggap wajar. Maka, yang terkait dengan isu SARA—agar tak menunjuk diri sendiri—“bagaimana kalau kita menggunakan istilah ‘bad campaign’ saja?” Tawar guru saya. Sebab kita harus telah adil sejak dalam pikiran, tambah beliau.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 27 Juni 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar