Di tengah cuaca kampanye capres belakangan ini,
kebisingan para simpatisan yang saling menghujat seolah menjadi hujan tak
terbendung, membanjiri informasi di berbagai media. Berita yang tindih-menindih
antar dua kubu tak dapat dihindarkan. Di dunia maya, berita tentang kelebihan
salah satu capres yang kemudian disandingkan dengan keburukan capres lainnya
pun kian mengalir.
Ada banyak yang patut disesalkan dari sikap
fanatisme tersebut. Saya bukan orang yang ahli dalam politik, tapi saya selalu
mengingat wejangan kakak saya, “kurang bijak meninggikan diri sendiri dengan
menginjak kepala orang lain.” Entah, apakah mungkin wejangan ini tidak berguna
dalam arena perpolitikan kita. Bisa jadi ya, kalau kita sudah terlanjur
sepakat, orang bijak terlalu sulit kita temui di arena persalinan
manusia-manusia pembuat dan pengambil kebijakan tersebut.
Mental para pendukung yang senang mengungkap
keburukan rival ketimbang menunjukkan kebaikan calon yang didukung, setidaknya
cukup membuat kita bertanya, “apakah kebaikan calon yang diusung telah habis
untuk dipublikasikan hingga harus mengungkit keburukan rival untuk menaikkan
pamor calon dukungannya?”
Barangkali, inilah wajah-wajah kita. Senang
mencari-cari keburukan orang lain lantas alpa dan tutup telinga melihat
keburukan diri sendiri. Hampir mirip dengan orang-orang yang meneriakkan “black
campaign”.
Berteriak-teriak di dunia maya menolak kubu
berseberangan yang terang-terangan mengangkat isu SARA. Mengkritik kampanye
yang menyudutkan etnis, agama dan golongan tertentu dengan “black
campaign” namun tanpa sadar bahwa diri sendiri telah melakukan
penyinggungan terhadap kelompok tertentu. Pertanyaannya adalah kenapa hitam
selalu dikonotasikan dengan yang sesuatu yang buruk?
Penggunaan kata black tentu tidak
terlepas dari sejarah panjang pembentuknya. Sebagaimana kata Derrida, kita
hidup terbenam dalam bahasa. Pembentukan istilah black campaign jelas
punya sejarahnya sendiri.
Peggy McIntosh, seorang kulit putih aktivis anti
rasisme Amerika Serikat, dalam tulisannya yang berjudul White
Privilage: Unpacking the Invisible Knapsack, cukup merincikan kepada kita
26 daftar bagaimana orang kulit putih Amerika Serikat mendapatkan perlakuan
istimewa hanya karena warna kulit mereka—sesuatu yang tentu saja tidak bisa
dipilih ketika kita dilahirkan. Orang-orang berkulit putih selalu ditonjolkan
dan diidentikkan dengan sesuatu yang baik, berprestasi, dan ideal.
Hal ini membawa industri, politik, pendidikan dan
semua sistem serta pranata sosial yang ada di sana tidak berpihak kepada mereka
yang berkulit hitam. Maka di Amerika Serikat, istilah black dalam mindset dan
sistem sosial budayanya hampir semua bermakna negatif, demikian penjelasan
Peggy McIntosh dalam tulisannya.
Tulisan tersebut akhirnya memaksa saya mengingat
pula bacaan lama yang berjudul The Codex. Sebuah novel yang
ditulis oleh Rizky Ridyasmara yang menceritakan agenda tersembunyi pemusnahan
manusia. Dalam pendahuluannya, Rizky mengungkapkan bahwa meski pun merupakan
karya fiksi, data yang dimilikinya didapatkan melalui riset mendalam dan telah
dikaji bersama beberapa aktivis HAM dan anti rasis.
Salah satu program yang diusung oleh negara
adikuasa adalah depopulation program—penghancuran ras manusia
berkulit hitam karena mereka yang berkulit putih merasa lebih pantas untuk
hidup di bumi ini. Program tersebut ditempuh salah satunya melalui pelabelan
sesuatu yang buruk dengan kata “black”.
Anehnya, secara latah kita mengikuti analog
serupa. Justifikasi sosial kita sepakati dengan mengidentikkan hal-hal yang
baik dan ideal dengan putih, sementara hitam kita asosiasikan dengan hal-hal
buruk, seperti perdagangan gelap, ilmu hitam, dan tentu saja—kampanye hitam.
Dan saat ini, istilah “black campaign” dengan mudah kita temui
berceceran di mana-mana saat membuka media sosial.
Kalau kita telah sepakat mengistilahkan tindakan
mencari keburukan calon dengan ‘negative campaign’—dan masih kita
anggap wajar. Maka, yang terkait dengan isu SARA—agar tak menunjuk diri
sendiri—“bagaimana kalau kita menggunakan istilah ‘bad campaign’ saja?”
Tawar guru saya. Sebab kita harus telah adil sejak dalam pikiran, tambah
beliau.
Rubrik
Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 27 Juni 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar