Minggu, 08 Juni 2014

Cantik Itu Kamu



Berbincang ihwal persepsi dari sebuah rupa tak lain merupakan perbincangan yang bermuara pada pengkategorian indah dan jelek. Dalam pokok permasalahan pengetahuan, beberapa pemikir memasukkannya ke dalam ranah estetika yang tidak dapat dikaji secara rasional. Maka dalam banyak buku teks, estetika selalau dikaitkan dengan seni.

Entah dari mana muasal pastinya, rupa seseorang pun dihubungkan dengan seni dan estetika: cantik dan jelek. Padahal seniman Mochtar Lubis dengan jelas mendefenisikan seni sebagai produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia.

Manusia sebagai kreator terbatas, maka wajar jika hasil ciptanya menimbulkan penilaian relatif: indah atau jelek. Namun, bagaimana dengan wajah manusia sebagai hasil cipta dari yang tak terbatas? Tepatkah memberikan penilaian, ini cantik dan ini jelek, di saat bersamaan kita akui pula bahwa Tuhan adalah pencipta yang selalu Maha Indah?

Sebelum terlampau jauh membahas tentang ke-Mahaan-Nya—yang bukan maqam saya pula untuk menjelaskannya—ada baiknya kita berfokus tentang definisi indah dan rupa. Wajah manusia yang indah, secara khusus untuk perempuan, lazim kita sematkan padanya kata “cantik”. Dalam banyak ruang, formal, pun informal, saat seorang lelaki ditanya tentang definisi cantik, lazim pula terdengar jawaban berikut: putih, hidung mancung, tinggi semampai, dan wajah mulus.

Sejarah mencatat, pada rentetan masa yang panjang dimulai dari abad ke-15, cantik didefinisikan dengan perut, pinggul dan dada yang montok sebagai lambang kesuburan. Hingga kemudian pada abad ke-20, seorang model perempuan membentuk definisi baru tentang cantik lewat tubuhnya yang langsing dan semampai. Ada benang merah yang bisa ditarik dalam perubahan definisi keduanya, yakni perempuan selalu dinilai dari tampilan visualnya. Faktor yang berperan besar dalam mengkonstruksi definisi cantik ini, tak lain ialah pasar.

Konstruksi pemikiran bahwa cantik harus seperti model iklan di berbagai media, oleh generasi pertama Mazhab Frankfurt disebut sebagai spätkapitalismus. Para pemikir dari Frankfurt School of Thought ini tidak lagi berbicara tentang penindasan dan kapitalisme seperti saat Marx masih hidup. Namun, kapitalisme abad ke-20 mengembang menjadi eskploitasi psikis, menjadikan masyarakat semakin konsumtif tanpa sikap kritis.

Kapitalisme lanjut menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru lewat rekayasa iklan dan pelemahan kesadaran. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak perempuan menginginkan kulit putih sebagai syarat untuk dapat disebut cantik sebagaimana model di iklan-iklan. Konstruksi pemikiran seperti ini, dalam bahasa seorang pemikir kebudayaan radikal bernama Gramsci, disebut sebagai hegemoni.

Hegemoni tidak hanya menggunakan iklan-iklan ilusif yang menggiring pemikiran masyarakat dalam mendefinisikan sesuatu, dapat juga melalui kegiatan-kegiatan yang sengaja direkayasa untuk membangun kesadaran palsu terkait definisi cantik. Sampai di sini, Anda mungkin dapat menarik kesimpulan kecil dari pertanyaan: mengapa salah satu kontes kecantikan terbesar di negeri ini disponsori oleh sebuah produk kecantikan dan pemutih kulit kenamaan? Dan dalam sejarahnya, tidak pernah pula pemenang kontes kecantikan disabet oleh wanita dari golongan berkulit hitam. Biasanya mereka ditempatkan sebagai pilihan favorit atau masuk kategori sepuluh besar dan semacamnya—kemungkinan sekedar untuk melegitimasi keberadaan mereka sebagai bagian dari negara kepulauan ini.

Kita akhirnya harus berpikir ulang, jika demikian definisi cantik yang kian mendominasi, lantas apakah semua perempuan berkulit hitam yang menghuni bumi ini harus menggunakan produk pemutih untuk dapat dikatakan cantik? Atau apakah semua wanita berhidung pesek harus membeli alat pemancung hidung untuk dapat dikatakan cantik? Bisa jadi iya, dan memang demikianlah yang diinginkan industri produk kecantikan.

Pengkotak-kotakan antara yang cantik dan yang jelek berdasarkan warna kulit, mengingatkan saya pada sebuah film yang diangkat dari kisah nyata perbudakan terhadap seorang berkebangsaan Norwegia bernama Solomon. Film penyabet Oscar 2014, “Twelve Years a Slave”, yang disutradai Steve McQueen ini menampilkan dua perempuan yang dibawa oleh bangsawan berkulit putih ke rumahnya untuk dijadikan kekasih. Namun sayangnya, perlakuan sehari-hari antara keduanya sungguh kontras. Perempuan berkulit putih dijadikan sebagai seorang ratu di istananya, sementara perempuan berkulit hitam diperlakukan sebagai budak pada siang hari dan dijadikan istri pada malam hari—ditiduri.

Film ini setidaknya mengirim sebuah pesan bahwa propaganda tentang ukuran kecantikan ternyata juga menyinggung ras. Mereka yang berkulit putih diapresiasi lebih dari pada mereka yang berkulit hitam.

Belum lagi jika kita memperbincangkan perihal budaya patriarki yang bercokol dalam pendefenisian cantik ini, di mana perempuan adalah sebuah objek yang ditentukan, cantik itu harus seperti ini dan itu. Pendefenisian laki-laki terhadap perempuan yang kemudian membuat perempuan tersebut berupaya untuk menjadi seperti yang diinginkan para lelaki adalah—bagi Marx—bagian dari penindasan kelas dalam relasi produksi.

Iklan produk kecantikan, lagu-lagu populer yang menyebutkan perempuan cantik lewat tampilan fisiknya, hingga aplikasi Camera 360 yang khusus menyediakan hasil potret wajah yang lebih putih adalah media yang sengaja diciptakan untuk memenuhi hasrat dan aktualisasi diri kita yang dangkal. Meminjam analisis diksursus Foucalt, media memang berfungsi sebagai alat penetrasi dan kontrol terhadap suatu masyarakat untuk menerapkan suatu pengetahuan dan kekuasaan hingga menjadi perilaku dan budaya dalam masyarakat tersebut. Akhirnya, kita secara tidak sadar digiring pada cara berpikir yang sungguh artifisial.

Penting untuk diperjelas, perempuan memang harus merawat dirinya sebaik mungkin. Misalnya saja merawat diri dari berbagai penyakit dan najis. Namun, menjadi berbeda konteksnya ketika produk-produk kecantikan tidak lagi digunakan untuk keperluan membersihkan dan merawat diri, akan tetapi dikonsumsi untuk menjadi cantik seperti model-model yang terpampang di iklan-iklan.

Sebagai penutup dari tulisan ini—dalam sudut pandang yang berbeda—kakak saya pernah berkata, “semua perempuan sesungguhnya diciptakan dalam bentuk yang paling indah oleh Tuhan. Semua perempuan itu sudah cantik dari sananya.”

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu, 07 Juni 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar