Berbincang
ihwal persepsi dari sebuah rupa tak lain merupakan perbincangan yang bermuara
pada pengkategorian indah dan jelek. Dalam pokok permasalahan pengetahuan,
beberapa pemikir memasukkannya ke dalam ranah estetika yang tidak dapat dikaji
secara rasional. Maka dalam banyak buku teks, estetika selalau dikaitkan dengan
seni.
Entah
dari mana muasal pastinya, rupa seseorang pun dihubungkan dengan seni dan
estetika: cantik dan jelek. Padahal seniman Mochtar Lubis dengan jelas
mendefenisikan seni sebagai produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia.
Manusia
sebagai kreator terbatas, maka wajar jika hasil ciptanya menimbulkan penilaian
relatif: indah atau jelek. Namun, bagaimana dengan wajah manusia sebagai hasil
cipta dari yang tak terbatas? Tepatkah memberikan penilaian, ini cantik dan ini
jelek, di saat bersamaan kita akui pula bahwa Tuhan adalah pencipta yang selalu
Maha Indah?
Sebelum
terlampau jauh membahas tentang ke-Mahaan-Nya—yang bukan maqam saya pula untuk
menjelaskannya—ada baiknya kita berfokus tentang definisi indah dan rupa. Wajah
manusia yang indah, secara khusus untuk perempuan, lazim kita sematkan padanya
kata “cantik”. Dalam banyak ruang, formal, pun informal, saat seorang lelaki
ditanya tentang definisi cantik, lazim pula terdengar jawaban berikut: putih,
hidung mancung, tinggi semampai, dan wajah mulus.
Sejarah
mencatat, pada rentetan masa yang panjang dimulai dari abad ke-15, cantik
didefinisikan dengan perut, pinggul dan dada yang montok sebagai lambang
kesuburan. Hingga kemudian pada abad ke-20, seorang model perempuan membentuk
definisi baru tentang cantik lewat tubuhnya yang langsing dan semampai. Ada
benang merah yang bisa ditarik dalam perubahan definisi keduanya, yakni perempuan
selalu dinilai dari tampilan visualnya. Faktor yang berperan besar dalam
mengkonstruksi definisi cantik ini, tak lain ialah pasar.
Konstruksi
pemikiran bahwa cantik harus seperti model iklan di berbagai media, oleh
generasi pertama Mazhab Frankfurt disebut sebagai spätkapitalismus. Para
pemikir dari Frankfurt School of
Thought ini tidak lagi berbicara tentang penindasan dan kapitalisme
seperti saat Marx masih hidup. Namun, kapitalisme abad ke-20 mengembang menjadi
eskploitasi psikis, menjadikan masyarakat semakin konsumtif tanpa sikap kritis.
Kapitalisme
lanjut menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru lewat rekayasa iklan dan pelemahan
kesadaran. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak perempuan menginginkan
kulit putih sebagai syarat untuk dapat disebut cantik sebagaimana model di
iklan-iklan. Konstruksi pemikiran seperti ini, dalam bahasa seorang pemikir
kebudayaan radikal bernama Gramsci, disebut sebagai hegemoni.
Hegemoni
tidak hanya menggunakan iklan-iklan ilusif yang menggiring pemikiran masyarakat
dalam mendefinisikan sesuatu, dapat juga melalui kegiatan-kegiatan yang sengaja
direkayasa untuk membangun kesadaran palsu terkait definisi cantik. Sampai di
sini, Anda mungkin dapat menarik kesimpulan kecil dari pertanyaan: mengapa
salah satu kontes kecantikan terbesar di negeri ini disponsori oleh sebuah
produk kecantikan dan pemutih kulit kenamaan? Dan dalam sejarahnya, tidak
pernah pula pemenang kontes kecantikan disabet oleh wanita dari golongan
berkulit hitam. Biasanya mereka ditempatkan sebagai pilihan favorit atau masuk
kategori sepuluh besar dan semacamnya—kemungkinan sekedar untuk melegitimasi
keberadaan mereka sebagai bagian dari negara kepulauan ini.
Kita
akhirnya harus berpikir ulang, jika demikian definisi cantik yang kian
mendominasi, lantas apakah semua perempuan berkulit hitam yang menghuni bumi
ini harus menggunakan produk pemutih untuk dapat dikatakan cantik? Atau apakah
semua wanita berhidung pesek harus membeli alat pemancung hidung untuk dapat
dikatakan cantik? Bisa jadi iya, dan memang demikianlah yang diinginkan
industri produk kecantikan.
Pengkotak-kotakan
antara yang cantik dan yang jelek berdasarkan warna kulit, mengingatkan saya
pada sebuah film yang diangkat dari kisah nyata perbudakan terhadap seorang
berkebangsaan Norwegia bernama Solomon. Film penyabet Oscar 2014, “Twelve Years a Slave”, yang disutradai
Steve McQueen ini menampilkan dua perempuan yang dibawa oleh bangsawan berkulit
putih ke rumahnya untuk dijadikan kekasih. Namun sayangnya, perlakuan
sehari-hari antara keduanya sungguh kontras. Perempuan berkulit putih dijadikan
sebagai seorang ratu di istananya, sementara perempuan berkulit hitam
diperlakukan sebagai budak pada siang hari dan dijadikan istri pada malam
hari—ditiduri.
Film
ini setidaknya mengirim sebuah pesan bahwa propaganda tentang ukuran kecantikan
ternyata juga menyinggung ras. Mereka yang berkulit putih diapresiasi lebih
dari pada mereka yang berkulit hitam.
Belum
lagi jika kita memperbincangkan perihal budaya patriarki yang bercokol dalam
pendefenisian cantik ini, di mana perempuan adalah sebuah objek yang
ditentukan, cantik itu harus seperti ini dan itu. Pendefenisian laki-laki
terhadap perempuan yang kemudian membuat perempuan tersebut berupaya untuk
menjadi seperti yang diinginkan para lelaki adalah—bagi Marx—bagian dari
penindasan kelas dalam relasi produksi.
Iklan
produk kecantikan, lagu-lagu populer yang menyebutkan perempuan cantik lewat
tampilan fisiknya, hingga aplikasi Camera
360 yang khusus menyediakan hasil potret wajah yang lebih putih adalah
media yang sengaja diciptakan untuk memenuhi hasrat dan aktualisasi diri kita
yang dangkal. Meminjam analisis diksursus Foucalt, media memang berfungsi
sebagai alat penetrasi dan kontrol terhadap suatu masyarakat untuk menerapkan
suatu pengetahuan dan kekuasaan hingga menjadi perilaku dan budaya dalam
masyarakat tersebut. Akhirnya, kita secara tidak sadar digiring pada cara
berpikir yang sungguh artifisial.
Penting
untuk diperjelas, perempuan memang harus merawat dirinya sebaik mungkin.
Misalnya saja merawat diri dari berbagai penyakit dan najis. Namun, menjadi
berbeda konteksnya ketika produk-produk kecantikan tidak lagi digunakan untuk
keperluan membersihkan dan merawat diri, akan tetapi dikonsumsi untuk menjadi
cantik seperti model-model yang terpampang di iklan-iklan.
Sebagai
penutup dari tulisan ini—dalam sudut pandang yang berbeda—kakak saya pernah
berkata, “semua perempuan sesungguhnya diciptakan dalam bentuk yang paling
indah oleh Tuhan. Semua perempuan itu sudah cantik dari sananya.”
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 07 Juni 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar